Selasa, 18 November 2008

KETIKA RODA TIMBA RUSAK DI ATAS SUMUR



Ya, ingatlah akan Penciptamu selagi engkau muda, sebelum rantai perak (kehidupan) putus, dan mangkuk emas pecah, dan tempayan hancur pada mata air, dan roda timba rusak di atas sumur; (FAYH. Pkh. 12:6)

Ayat Alkitab ini langsung muncul di pikiran saya hari ini. Semalam saat saya siap-siap tidur, saya mendapat SMS dari seorang teman bahwa anak dari Pak Radja seorang teman sekaligus orangtua kami meninggal.Seakan tidak percaya, saya mencoba menghubungi beberapa orang teman pengajar dan menanyakan informasi yang sebenarnya. Sebagian mereka tidak tahu. Tetapi kepastian datang dari salah seorang senior yang menyebutkan betul, Cici (nama anak yang meninggal) telah berpulang karena diduga jantungan karena mennyaksikan tawuran di kampus Undana Kupang.

Cici, lengkapnya Cicilia adalah tipe anak periang. Itu sepintas yang saya ketahui. Baru saja beberapa bulan lalu kami bertamu ke rumah pak Radja dan sambil menyaksikan sinetron Indonesia di salah satu statiun TV swasta ia banyak berkomentar. Tapi disela-sela itu ia mempersilakan kami makan dan dengan rendah hati mengambilkan tissue untuk kami dan menyalakan kipas angin di tengah suhu udara kupang yang sangat panas waktu itu. Cici yang periang itu siang itu, ketika kami melayat terbaring kaku dengan pakaian putih panjang membalut jasadnya. Dia tidak bernyawa lagi. Setelah memberi salam pada ibunya yang kelihatan lemas di samping jasad ini, kami duduk. Pak Radja, ayah Cici tidak ada di tempat. Dia sedang mengurus peti untuk jasad Cici. Setelah kami menyalami ibunya, kami duduk di ruang dalam rumah keluarga itu. Sementara suara ibunya masih terus terdengar meriwayatkan tentang anaknya dalam tangisannya. Sesekali saya sengaja melihat ke plafon rumah hanya sekedar menahan air mata saya membayangkan tentang kesedihan yang dalam dari ibu Erika (mama Cici). Mata saya juga mengarah ke sudut ruangan di dekat bagian kepala, kakak lelaki Cici duduk dan memandang dalam-dalam wajah adiknya yang terbaring kaku. Pikiranku langsung tertuju kepada kedua adikku Elfi dan Erni yang kuliah jauh di Jogja. Adik-adik yang karena mereka aku berjuang untuk bisa mendapatkan sepeser untuk mengirimkan kepada mereka uang makan, sekalipun sering kurang. Oh.. Tuhan, kesedihan saya semakin mendalam karena membayangkan betapa dalamnya kesedihan seorang saudara laki terhadap adiknya. Dalam hatiku aku berpikir, "semoga keluarga duka dikuatkan."

Lamunan saya dikagetkan dengan tangisan yang bertambah karena beberapa pendeta masuk. Pendeta Tera Klaping dan Pendeta Hede serta istrinya memberi salam kepada keluarga duka. Setelah berjabatan tangan dengan keluarga duka, pandangan mata pak pendeta mengarah ke bagian dalam dan saya menganggu memberi salam dan teguran dengan isyarat kepada Pak Pendeta Klaping. Beberapa saat kami keluar dan duduk di halaman di tenda duka. Kami berkumpul dengan beberapa teman pengajar dan pendeta dan bercerita saat papa almarhum datang dan menyalami kami. Setelah itu kami masih duduk beberapa menit.
Beberapa orang melayat, tampak rombongan profesor dari Undana dipimpin Pembantu Rektor datang melayat. Teman-teman saya S2 juga berdatangan. Kami kemudian bercerita tentang nasib kuliah kami yang sampai sekarang belum juga rampung. Padahal proposal thesis kami sudah dimasukkan. Beberapa saat kemudian, mobil yang menjemput kami datang dan sayapun pulang dengan mahasiswa ke kampus sederhana kami di Fatufeto.

Dalam perjalanan pulang, beberapa mahasiswa ramai di belakang dengan obrolan mereka. Tetapi pikiran saya melayang kepada apa kata pengkhotbah. Kata-kata yang menarik bagi saya adalah "roda timba rusak di atas sumur." Saya kemudian tersentak dan memikirkan lagi tentang hidup. Ya. Sebelum roda timba rusak di atas sumur, saya harus berjuang. Berjuang demi hidup. Berjuang demi masa depan. Berjuang demi adik-adik saya. Berjuang sampai waktunya tiba.

Hari ini, kata-kata pengkhotbah betul-betul saya rasakan maknanya. Trimakasih Tuhan untuk kebenaran-Mu yang menjiwai saya hari ini. [MT]

Sabtu, 15 November 2008

PETUALANGAN BERBAHASA



Kegemaran saya mendalami bahasa sudah sejak SD dulu. Entah kenapa dulu zaman saya sekolah SD ada lomba bidang studi, dan saya selalu dipercaya mengikuti lomba itu dengan mata pelajaran bahasa Indonesia. Saya sendiri memang dilahirakan di desa yang pengenalan bahasa Indonesianya minim. Namun sejak kecil, orangtua saya yang berbahasa ibu Dawan, selalu membiasakan kami untuk berbahasa indonesia, tentu saja dalam versi Timor. Selain lomba bidang studi itu, saya juga sering mendapatkan nilai yang lumayan selama SD-SMA untuk mata pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Saat kuliah, theologi adalah pilihan saya. Tetselama kuliah, saya baru tahu kalau pelajaran Bahasa Ibrani dan Bahasa Yunani juga diajarkan.

Pindah dari Kupang ke Lembang Bandung juga menjadi tantangan tersewbdiri bagi saya. Selain harus menyesuaikan bahasa Indonesia Versi Kupang saya dengan bahas Indonesia teman yang lain, saya juga harus mulai memikirkan tentang bagaimana memahami bahasa lokal yaitu bahasa Sunda di Cikidang Lembang Bandung. Di kalangan teman-teman saya dari Timor, tersebar isu bahwa saya memiliki kemampuan bahasa Sunda yang cukup baik. Padahal saya sendiri tidak merasa demikian. Saya hanya merasa bahwa saya sanggup menjawab orang yang berbicara bahasa Sunda. Itu saja.

Dari Sunda menuju Jogja juga membuat kegoncangan tersendiri darisegi bahasa. Bahasa Jawa harus saya dalami. Awalnya saya stress dengan teman saya satu kamar di asrama karena dia selalu berbicara bahasa Jawa dengan saya. Tetapi lam-kelamaan hal itu menantang saya untuk belajar bahasa Jawa langsung kepada orang-orang desa dan membiasakan diri hidup bersama dengan mereka dalam budaya dan kebiasaan mereka di desa.

Tahun 2005, setelah delapan tahun di Jawa saya kembali ke Kupang. Logat saya tentu saja kembali harus disesuaikan dengan orang Kupang agar saya tidak dianggap sok. Setel;ah mengabdi beberapa saat di kampus tempat saya mengajar, pimpinan kemudian mempercayakan saya untuk mengasuh matakuliah Bahasa. Awalnya saya diminta untuk mengasuh matakuliah bahasa Ibrani bagi pemula.Hari ini, adalah kelas perdana saya untuk mengajar bahasa Ibrani II. Puji Tuhan, concern saya dengan bahasa ternyata berlanjut. Semoga Tuhan memberi kekuatan kepadaku untuk mendalami dan suatu saat nanti bisa seperti temanku Ira Mangililo yang mendalami Bahasa ini hingga ke Canada dengan S3nya. Atau Misray Tunliu yang mendalami bahasa Arabnya hingga ke Timur Tengah. Atau minimal seperti Pak Jhony Yahya Sedi,Th.M di STII Jakarta. Semoga.

Dalam kemurahan Tuhan, saya juga dipercaya melayani di suku yang berbeda bahasa dengan saya. Pariti, desa tempat saya melayani ditempati oleh oran Sabu dan Orang Rote dengan bahasa yang berbeda. Memahami mereka dengan bahasa dan budayanya memberi nilai tambah tersendiri dalam petualangan berbahasa saya. Syukur.[MT]

INILAH HIDUP ANAK KOST



Sepanjang hidup saya yang total sudah berjumlah 28 tahun hingga tahun ini, saya menghabiskan waktu saya hanya beberapa tahun untuk tinggal di rumah orangtua kandung dan hidup bersama mereka. Seingat saya, hanya ada sembilan tahun saya hidup bersama mereka. Sisanya hidup bersama dengan orang lain bahkan hidup sendiri di kost atau asrama. Baru pada saat duduk di kelas satu SD-lah saya tinggal bersama papa dan mama saya. Sebelumnya tinggal bersama dengan nenek dan kakek. Sesudah tamat SMP, artinya hanya sembilan tahun saya tinggal dengan orang tua saya, saya melanjutkan pendidikan SMA di kota kabupaten. Otomatis saya berpisah dari papa dan mama dan tinggal dengan teman-teman. Bahkan pernah tinggal dengan keluarga. Setamat SMA, Saya menghabiskan kurang lebih delapan tahun untuk tinggal di Asrama, tinggal di rumah orang (jemaat) yang kami layani, atau bahkan di kost dan bahkan pernah tinggal di pastori gereja. Dalam semuanya ini, kost adalah salah satu tempat yang cukup nyaman untuk ditempati. Kenapa saya sebut nyaman, oleh karena jika di rumah orang lain atau orang tua kita harus ber-ewuh pakewuh dalam melakukan segala sesuatu termasuk makan, maka di kost, kita bisa bebas untuk bersantai, makan, belajar atau apa saja (tentu yang positif). Tetapi bahanya jika nekat melakukan hal yang negatif. Saya bersyukur, walaupun harus bersusahpayah dengan uang kost dan ocehan mama kost tapi sampai saat ini saya masih merasa nyaman tinggal di kost.

Memang saya sangat merindukan suatu saat untuk memiliki tempat tinggal sendiri. Saya sering membayangkan tinggal di rumah yang sederhana yang rumah itu adalah hasil jerih payah sendiri. Walaupun sederhana. Semoga suatu saat kelak hal itu terwujud. [MT]

Jumat, 14 November 2008

UDARA KUPANG BEBAS GANGGUAN FREKUENSI RADIO



Sejak menjadi penyiar radio di Kupang, saya hampir setiap hari pasti mendengarkan radio. Ora kethang setengah jam setiap hari. Selain mendengarkan station tempat saya bekerja Suara Kupang, saya juga kadang mendengarkan station lain sekedar untuk menjadi pembanding untuk kecakapan siaran saya. Tetapi suatu sore, saat saya pulang mengajar, saya turn in di radio tempat saya bekerja. Beberapa menit kemudian, sama sekali tidak ada orang yang ber- DJ Talk ria. Sebagai penyiar, saya bertanya kepada head of Announcer tentang kekosongan itu. Beberapa menit kemudian, hp saya berdering dan itu dari kantor. Saya diberitahu bahwa radio kami di segel balai monitor. Kekagetan saya semakin menjadi karena ternyata direktur utama sedang di Jakarta. Apa alasannya? Beberapa teman melalui sms memberitahu kalau disegel karena kontrol dari Balmon (Balai Monitor) Frekuensi.

Sore itu juga saya ke studio dan saya baru tahu bahwa satu demi satu radio di kota Kupang mulai off dari udara. Termasuk radio Verbum, RRI Pro1 dan Suara Timor yang menurut saya mungkin akan bebas dari segel. Mulai dari saat itu, dalam hidup seolah ada sesuatu yang kurang. Karena selain tidak menyiar, tidak juga bisa mendengarkan radio kesenanganku dan station tempat saya bekerja. Saya baru sadar, menyiar di radio juga ternyata bermanfaat. Salahsatu manfaatnya adalah mengurangi stress karena dengan bercuap-cuap, segala sesuatu diikeluarkan dari batin dan pikiran (tentu harus dikontrol). Semoga kemelut ini segera selesai. Urusan dengan Balmon segera berakhir dan radioku bisa on air lagi. Tuhan, Tolong urusan ini agar segera diselesaikan dengan baik. Berkati Pak Morthon Lay dengan besarnya anugerah-Mu. Amin. [MT]

NAFIRI WARISAN



Gambar di samping ini adalah gambar tanduk rusa. Bahan dasar nafiri ala Timor. Benda ini memang asing bagi sebagian orang. Tetapi di tempat kelahiran saya di pedalaman Timor, nafiri bukanlah benda yang asing lagi. Di Mollo Utara, Timor Tengah Selatan, nafiri sangat berguna bagi pelaksanaan suatu ibadah rumah tangga. Bunyi nafiri akan menuntun orang untuk beribadah. Bunyi nafiri akan memiliki arti lain jika itu dibunyikan di luar hari-hari tertentu yang biasanya ditetapkan untuk ibadah rumah tangga. Bunyi nafiri di hari-hari lain menunjukkan bahwa ada orang yang meninggal. Nafiri di sini berfungsi mengumpulkan banyak orang. Benda yang di kampung halaman saya terbuat dari tanduk kerbau, di Kupang Barat, satu tempat yang pernah saya layani juga menggunakan kerang sebagai nafiri dengan fungsi sama untuk memanggil orang beribadah rumahtangga. Saya pernah membaca sebuah tulisan yang menyebutkan bahwa dalam ketentaraan pada saat penulisan Alkitab, nafiri digunakan untuk memberikan perintah kepada tentara. Nafiri itu bisa mengeluarkan bermacam-macam bunyi, dan setiap bunyi mempunyai arti tertentu. Kalau nafiri itu ternyata tidak bisa memberikan bunyi-bunyi seperti itu, sekalipun sebetulnya berita yang disampaikan itu penting (misalnya: ada musuh menyerang!), maka nafiri itu sama sekali tak berguna.

Sudah lazim, di desa tempat saya di lahirkan di Ajaobaki, pedalaman Timor, bunyi nafiri selalu akan dikaitkan dengan ibadah rumahtangga. Menjadi orang yang dipercayakan memegang nafiri dan menuipnya setiap beribadah menjadi sebuah kebanggan seseorang karena ia dipercaya melakukan pekerjaan kerajaan Sorga. Paling tidak itu yang aku tahu dari tradisi di kampung halamnku di pedalaman pulau Timor.

Selama bertahun-tahun sejak kami kecil, papa saya dipercaya menjadi majelis oleh gereja. Tugas pelayanan dilaksanakannya. Ia seringkali meniup nafiri untuk memanggil orang-orang berkumpul untuk melakukan ibadah-ibadah rumahtangga. Kadang saya juga hadir di dalam ibadah saya dan kadang saya mencoba meniup nafiri, tapi tidak berhasil. Meniup nafiri memerlukan kekuatan nafas yang tertampung dalam rongga mulut. Selain itu, bagian bawah telinga kadang sakit karena tiupan itu.

Meniup nafiri, pernah menyimpannya di rumah karena meminjam pernah dilakukan oleh papa saya bahkan saya pernah mencobanya saat kecil dulu; tetapi memiliki nafiri sendiri belum pernah dimiliki oleh papa saya sebagai pelayan Tuhan (penatua). Suatu hari, ada giliran memimpin ibadah di rumah seorang kakek. Istri dari kakek ini adalah kakak kandung nenek saya dari ibu. Kakek ini sudah tidak mampu berjalan jauh. Matanya sudah tidak dapat melihat. Namun mendengar papa saya datang, kakek yang pernah melayani Tuhan dengan tindakan yang sama untuk memanggil jemaat beribadah ini bangun. Menurut cerita papa saya dulu, dengan suara yang lantang kakek ini (kami memanggilnya Ba'i Banfatin) menyuruh papa saya masuk. Setelah masuk, ia mengambil nafiri kebanggaannya dan menyerahkannya kepada Papa saya sambil berpesan agar papa saya melanjutkan tanggungjawabnya memegang nafiri ini. Kalau aku tidak salah ingat, ia pernah berkata "Ini adalah nafiri milikku, aku serahkan kepadamu, sekarang setelah nafiri ini ada di tanganmu, kamu harus melanjutkan tugas pemberitaan Injil ini." Isyarat ini membuat papaku yakin bahwa dia harus terus melayani Tuhan karena sekarang nafiri itu telah menjadi miliknya. Setelah nafiri itu diserahkan, papa tetap melanjutkan tugas sebagai majelis. Beberapa tahun setelah jabatan tertinggi pelayaana majelis (penaggungjawab gereja) diemban, papa kemudian berhenti. Tetapi tidak lama sesudah itu saya lulus sarjana Theologia. Mungkin ini isyarat juga bahwa tugas ini harus saya lanjutkan. Tetapi setelah saya lulus, pulang dan melayani di Kupang walaupun tidak sebagai pendeta, beberapa tahun kemudian, papa dilantik kembali menjadi majelis.

Kini saya rasa papa cukup bangga dan menikmati pelayanannya sebagai majelis. Sya juga bahagia ternyata mendapat "cipratan" pemegangan nafiri itu. Saya walaupun tidak sebagai pendeta namun tugas mengajarkan Injil dan memberitakannya kepada orang lain masih terus saya lakukan hingga saat ini.

Tuhan, kuatkan kami untuk tetap memegang nafiri ini dalam keluarga kami. Sekarang saya tidak menganggap nafiri tanduk rusa itu sebagai jimat atau keramat, tapi saya senang, kebanyakan dari anggota keluarga kami adlaah pelayan dan setia dalam satu pekerjaan untuk kemuliaan Tuhan. Papaku majelis dan tua-tua jemaat. Mamaku anggota persekutuan do'a. Saya anak pertamanya tamat studi dari STII Yogyakarta dengan gelar S.Th. Sekarang melayani di STII Kupang sebagai pengajar dan pembawa program rohani di Radio Suara Kupang. Adiku bernama Elfi dan Erni yang sementara kuliah di UKRIM Yogyakarta setia menjadi tim Altar gereja di salah satu gereja desa di pinggiran Prambanan,Jogja . Inche adikku yang terakhir manjadi anggota Vocal Group Gereja. Wellem adikku di Surabaya pernah bekerja di rumah ret-reat di Malang. Puji Tuhan. Majelis gereja di kampung halamanku juga didominasi oleh saudara-saudara Papaku. Tuhan, kuatkan kami dalam ladang-Mu. [MT]

Senin, 10 November 2008

TUGAS BARUKU



Gara-gara kebiasaan bercuap-cuap di mikrofon radio, suatu hari aku dimintai tolong untuk menjadi Master of Ceremony (MC) dalam sebuh pesta nikah. Saya sbenarya bukan tipe orang yang gila tampil di depan publik.Kalaupun harus menjadi MC atau berbicara di depan orang, itupun saya lakukan dengan tujuan pelayanan. Misalnya memimpin ibadah di gereja, atau dalam kelompok, berkhotbah, atau sekedar mengajar. Tapi ini semua dengan alasan untuk pelayanan. Awalnya grogi juga. Demam panggung.Tapi kali itu dalam sebuah pesta nikah anggota keluarga majelis jemat, saya diminta menjadi MC. Yang jelas saya belum pernah MC di acara resepsi pernikahan. Saya tidak tahu harus memulai darimana dan mengakhiri di mana. Tapi beberapa acara pernikahan yang aku hadiri resepsinya memberi sedikit bayangan.

Dalam budaya Kupang, ada satu acara malam yang dilakukan sebelum hari H pernikahan. Entah kenapa acara ini disebut malam "Pica Bok." Malam itu ada pembagian tugas dan saya disebut sebagai pembawa acara dalam resepsi besok malam. Hal-hal yang berhubung dengan materi pembicaraan saya tanyakan. Termasuk beberapa pepatah Amarasi dan Rote. Maklum yang menikah adalah pria Timor Amarasi dan wanita Rote. Setelah 'investigasi' sederhana itu saya lakukan, saya baru tahu bahwa pengantin prianya bekerja di sekretariat DPRD Kabupaten. Dalam benak saya berkecamuk perasaan grogi karena pejabat-pejabat yang akan hadir. Malam itu kami pulang dan besok malam kami kembali ke resepsi. Catatan kecil saya selipkan di kantong sekedar jaga-jaga. Setelah sampai ke tempat resepsi saya diminta memakai pakaian adat Timor lengkap dester di kepala. Astaga saya seperti 'tiang listrik dibuntheti.' Saya baru sadar bahwa dalam acara itu, banyak pejabat kabupaten yang harir. Th. Naisanu yang istrinya pemandu pemotong kue pengantin, Jeri Manafe anggota DPRD, Welhelmina Tabais-Kefan ketua DPRD damn dalam ibadah siangnya juga hadir Ruben Funay yang waktu itu adalah wakil Bupati. Dadaku seperti akan copot. Tapi syukurlah, acara yang saya bawakan malam itu mendapat pujian dai banyak orang termasuk teman-temanku. Ini pertama kali saya MC di acara pernikahan. Dan sejak saat itu, setiap kali acara pernikahan di lingkungan pelayanan saya, saya selalu diminta MC di acara ernikahan.Jadilah saya perangkai kata-kata cinta.

Tapi saya harus jujur bahwa saya kurang menikmati tugas baruku ini. Demi kedekatanku terhadap objek pelayananku, aku terpaksa harus melakukannya.

MC yang profesional? Ya... mungkin. Maybe Yes, Maybe No.

Kamis, 06 November 2008

IMAGE & REALITY



Kata orang, dalam hidup ada dua tataran. Tataran yang pertama ada di dalam otak yang bisa kita sebut tataran idealis dan tataran kedua ada dalam kelakuan yang namanya tataran realistis. Semua manusia berhadapan selalu dengan dua hal ini. Dua tataran ini kadang tidak sejalan. Apa yang ada dalam otak kita kadang (kalau bukan selamanya) tidak berjalan bersamaan dengan apa yang kita lihat, kita alami dan kita rasakan.

Dalam bayangan saya, pendeta adalah orang yang sangat sempurna. Dalam istilah saya seorang pendeta adalah manusia yang punya tingkatan di atas manusia normal lain. Atau "sedikit di bawah malaikat." Image ini sudah terbangun sejak kecil. Papa saya yang dipercaya mengelola satu gereja kecil di desa selalu menjemput Pak Pendeta untuk melayani sakramen. Wibawa dan nada suara pak Pendeta, bahkan jubah hitam dan "dasi" putihnya membuat saya semakin mengagumi pendeta. Saat saya mulai sekolah teologi dengan harapan untuk menjadi pendeta, barulah saya tahu, gambaran saya tentang pendeta kelitu. Kenyataan mengatakan bahwa calon-calon pendeta di sekolah teologi mempraktekan berlawanan dengan image saya. Gambaran ini masih terus ada setelah saya tinggal serumah dengan para pendeta dan saya ternyata tahu bahwa memang gambaran saya terhadap pendeta sangat keliru. Jika rocker saja adalah manusia., pendeta jelas adalah manusia juga.

Dalam hal komunikasi, image dan reality juga harus diperhatikan. Dr. Donald K. Smith dalam sebuah bukunya yang saya baca berjudul Creating Understanding menyebutkan bahwa dalam komunikasi, terutama komunikasi lintas budaya dengan tujuan pekabaran Injil, hal terbaik bagi seorang komunikator adalah memperhatikan gaya presentasi. Walaupun isi dan essensi pembicaraan tidak berubah, namun gaya presentasi harus disesuaikan dengan gambaran mental audiens. Untuk dapat mempersiapkan secara cukup, seorang komunikator harus mengenal gambaran imageyang didapat dari audiensnya.

Demi pengenalan image dari audiens, hal-hal berikut perlu diperhatikan:
1. Apakah ketertarikan spiritual mereka?
2. Apakah merekan memiliki keingnan untuk terlibat dalam pekerjaan Kerajaan Allah?
3. Apakah mereka secara baik mendapatkan informasi atau edukasi? Apakah mereka
tertarik dalam urusan kekinian saja? Dunia? Nasional? Atau hanya komunikasi.
4. Apakah anda menganggap audiens anda atagonis atau bersahabat?
5. Apakah mereka tertarik dengan subjek yang anda bawakan?

Memang pertanyaan-pertanyaan ini tidak akan memberikan sebuah gambaran yang penuh dari audiens. Namun ini membatu saya untuk semakin mengerti bahwa audiens penting dalam komunikasi. Bagaimana dengan kasus image & reality kehidupan pendeta?

Semoga saja mereka (termasuk saya) yang bekerja di ladang Tuhan demi kerajaan-Nya tidak terjebak. Semoga.

Rabu, 05 November 2008

PAK DAN IBU CHRIS YANG KU KENAL



Ini kisah tentang seorang anak desa. Ia lahir dan dibesarkan di sebuah pulau yang tidak ada di peta Indonesia. Ia merantau ke Jawa, dibesarkan dengan terpaan kerasnya hidup, tetapi yang berhasil sukses dalam studi Doktornya di Amerika. Ia lahir di pulau yang tidak ada dalam peta Indonesia tapi ia memiliki pemikiran besar untuk Indonesia.

Saya tidak mengenal pria ini sebelumnya sebelum tahun 1999. Waktu itu ada brosur yang sampai ke tangan saya, sementara saya masih berada di sekolah teologi lain yang bukan berada di bawah asuhannya. Ketika pertama kali membaca nama Chris Marantika dalam brosur itu, keinginan saya semakin kuat untuk kuliah di sekolahnya. Sekolah Tinggi Theologia Injili Indonesia (STII) Yogyakarta. Hari-hari pertama kuliah di STIIpun saya belum mengerti dengan jelas siapa beliau. Sampai akhirnya suatu saat Beliau berkhotbah di Kapel STII dan kesan pertamaku adalah, "Pak Chris Luar Biasa." Suaranya yang menggetarkan kalbu, pembawaannya, dan ekspresinya yang menggugah pendengar dengan tatapan matanya yang tajam menerobos kacamata tebalnya menuntun untuk mengatakan, "Yes pak Chris, I'm your Vision follower." Beberapa kali saya mendengar beliau berkhotbah dan Puji Tuhan saya mengikuti kelas Manajemen Kepemimpinan yang diasuh beliau dan Eksposisi Wahyu. Banyak hal praktis yang diajarkan di sana selain materi yang diajarkannya. Dan hal-hal praktis itu berasal dari hidupnya.

Sekarang, walaupun mengalami banyak pergumulan setelah lulus dari STII dan membantu melayani di STII Kupang, namun ungkapan, "mundur selangkah maju dua langkah, dek" yang khas dari Pak Chris masih terpatri. Walaupun Juli 2008 yang lalu beliau sudah kelihatan lelah karena sakit yang dialaminya, namun semangatnya masih membara. Bahkan cerita unik dari sakitnya Dr. Chris Marantika adalah pada saat sakitnya sudah parah, ia sendiri menyetir dan masuk ke UGD untuk berobat.

Semangat lain saya dapat dari istri Beliau. Dr. Saria Marantika. Saat sebelum menyelesaikan skripsi saya dan menyelesaikan pelayanan saya, beliau datang ke desa tempat saya melayani dan masuk di rumah orang-orang desa, memeluk 'Mbok Karjo' yang baru pulang dari kebun dan menciumnya, membersihkan lantai desa yang kotor dengan menyeka sisa makanan yang jatuh dari meja dengan tissue, bahkan berjalan kaki mengunjungi beberapa jemaat desa di Belang, Terbah, Patuk Gunung Kidul. Saat kami keringatan sesudah berjalan kaki jauh, beliau menyuruh kami untuk bersiul-siul kecil. Konon kata bu Chris, angin akan segera berhembus. Bu Chris juga pernah mengajariku secara tidak langsung tentang kesabaran. Saat kami antri akan menghadap dosen pembimbing, Beliau yang adalah pimpinan, dan bahkan pemilik kampus itu ikut antri dengan kami untuk menghadap Pak Noor yang notabene adalah anak didiknya. Sambil antri beliau berseloroh. Kita harus mempraktekan filsafat "gareng-Petruk." Sabar Subur, ora sabar mlebu kubur utowo dhadi bubur. Mudah-mudahan tidak salah ejaanya. Sabar menanti sama dengan subur. Tidak sabar akan masuk kubur atau jadi bubur. Kesehatan Ibu Chris saat terakhir saya bicara dengan beliau pada makan siang rapat pimpinan STII Nasional di Jogjakarta sudah tidak sesehat dulu. Tapi semangatnya masih tetap semangat Ibu Chris dulu saat ke Gunung Kidul


Semoga saja api pak Chris tidak padam dan dipadamkan.

Selasa, 04 November 2008

INFORMASI YANG MULTITAFSIR



Ada dua orang yang mendengar berita tentang seorang sahabat yang baru saja melahirkan anak pertamanya. Orang pertama adalah seorang pria. Ia berpikir, bagaimana memberi support kepada anak yang baru lahir itu? bagaimana ia bisa memberikan kebutuhan yang diperlukan anak ini untuk masa depannya? Berbeda dengan orang kedua. Ia seorang perempuan. Ia kemudian berpikir, apa nama yang cocok untuk anak itu? Selucu dan seimut apakah anak itu?

Semua informasi selalu akan ditafsir berbeda oleh pribadi, kelompok, latarbelakang suku yang berbeda. Saya teringat sebuah cerita sewaktu masih kuliah di Doulos sesaat sebelum pindah ke STII. Kata kakak-kakak kelas, ada seorang dari kelompok anak Timor yang bersaksi tentang latarbelakang keluarganya. Dalam kesaksiannya itu disebutkan, "mama saya masih hidup, papa saya masih hidup, nenek saya masih hidup, tapi ba'i saya sudah mati." Pada saat menyebut ba'inya mati, beberapa anak Nias tertawa terbahak-bahak sehingga kesaksian yang tadinya haru berubah menjadi ramai. Setelah diselidiki, kata ba'i yang oleh orang Timor berarti kakek, dalam bahasa Nias konon berarti kemaluan laki-laki.

Ternyata informasi yang kita sampaikan bisa multitafsir jika dipengaruhi oleh latarbelakang pendengar. Karena itu, dalam kesempatan menyiar, saya mulai belajar untuk berhati-hati menyampaikan informasi bagi pendengar. Senin kemarin, peristiwa itu terjadi. Teman-teman saya yang menyiar sebelum saya mendapat SMS bertubi-tubi bahwa seorang fans radio kami telah meninggal. Beberapa panik dan informasi ini sempat tersiar di udara. Beberapa teman fans bahkan mengkonfirmasi ke radio. Tapi ternyata info itu salah. Fans yang bernama Haris di Fatukoa masih saja hidup.

Ini warning bagi semua orang yang mau menyampaikan informasi. Lihat dulu latar belakang audience, pastikan bahwa informasi kita tidak multitafsir. Selamat memberi informasi. [MT]

Senin, 03 November 2008

DID I SPENDING TOO MUCH TIME FOR THIS?




Judul di atas nampaknya terlalu berlebihan. Sok Inggris,gak? :) Tapi sebenarnya judul ini tercetus dari pemikiran sederhana saya dalam perjalanan pulang pelayanan week-end dari satu gereja desa di Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang. Ini kegiatan rutin saya setiap senn pagi. Bangun pada jam 4.30 pagi. Bersyukur karena malam yang sudah lalu. Dengan mengangkat hati sambil menundukkan kepala, saya juga meminta Tangan yang Kuat menuntun saya dalam perjalanan hidup saya, maupun perjalanan pulang saya ke kost saya di Kupang untuk aktivitas lainnya di Kupang. Sesudah saya membuka mata, saya belum melihat siapapun bangun dari tidurnya kecuali saya. Setelah membereskan tempat tidur, dua gelas air putih saya teguk (ini juga kebiasaan) dan kemudian saya membuka pintu, mempersiapkan diri dengan mandi dan aktivitas lain di kamar mandi dan kemudian mengambil tas saya dan duduk di depan rumah menunggu angkutan umum utuk pulang ke Kupang. Saat itulah mereka yang lain termasuk pak Pendeta bangun dan saya kemudian pamit untuk menunggu datangnya angkutan umum yang hanya beberapa unit untuk jurusan tempat saya melayani.

Ini angkutan pertama yang saya tumpangi hari ini. Biasanya harus berdesak-desakan dengan ibu-ibu dari desa yang akan berangkat ke pasar. Beberapa karung beras ditumpuk di dalam angkot. Selain itu kadang beberapa karung mangga juga ada, tidak jarang ada ayam yang juga dimasukkan ke dalam angkot. Bisa dibayangkan aroma di dalam angkot. Jujur saja, aroma itu seringkali ditambahi dengan bau yang sangat mengganggu, bau badan yang ikut bercampur menjadi satu. Perjalanan pertamaku di pagi itu dan biasanya di setiap senin pagi menghabiskan waktu satu jam setengah. Sesudah tiba di pasar, selain napas saya cukup lega saya juga semakin senang karena sudah mendekati tujuan saya walaupun harus dua kali lagi berganti angkot. Di angkot kedua yang cukup nyaman (paling tidak tanpau aroma aneh karena rata-rata ditumpangi oleh mahasiswa yang akan berangkat kuliah atau karyawan di kota Kupang)di sinilah saya memikirkan tentang berapa banyak waktu yang saya habiskan untuk berada di atas angkutan kota.

Maklum, setiap hari saya harus menghabiskan minimal beberapa menit untuk menumpang angkutan kota. Senin jam 7-9 pagi, dilanjutkan jam 13.00-13.30; Selasa, jam 20.00-20.30; Rabu, 07.15-7.35; Kamis,20.00-20.30; Jumat (hari paling melelahkan) 07.15-7.35; 14.00-14.20; 17.05-17.20; 20.05-20.25; Sabtu, 08.00-08.20, 13.00-17.00.


Syukurlah, hari minggu aku hormati sebagai hari Tuhan dan hari untuk melayani Tuhan, dan karenanya tidak ada aktivitas bepergian dengan angkot pada hari itu. Maklum, gerejanya dekat. Ini kegiatan transportasi rutin saya, belum ditambah lagi dengan kegiatan lain yang harus dilakukan di luar rumah dan karenanya membutuhkan transportasi. Jika ditotal, ternyata banyak jam yang saya habiskan untuk berada di atas angkutan kota.

Spend too much time? Maybe. But what about it's cost? [MT]