Senin, 03 September 2012

LOPER KORAN DAN PUTERINYA

Sore itu saya terburu-buru menuruni lebih dari 30 anak tangga untuk akhirnya sampai ke jalan besar di mana kendaraan umum ke jurusan yang akan saya tuju lewat. Langkah kaki saya semakin cepat karena waktu saya untuk ‘on air’ tinggal beberapa menit lagi. Sebagaimana kebiasaan di kota ini, saya tidak terlalu peduli untuk menyapa orang-orang yang sedang berdiri dan atau duduk di sepanjang jalan. Sekedar berbasa-basi tidak terlalu penting di kota ini. Atau malah akan dianggap aneh jika berlaku lebih sopan dan atau bertegur sapa atau sekedar mengucapkan kata ‘permisi’ ketika akan lewat di depan mereka. Dalam-dalam saya kuburkan niat saya untuk berlaku sopan sebagaimana yang saya pernah dapat di negeri orang, lalu sayapun menyetop angkutan kota dan naik, lagi-lagi tanpa senyum dan basa-basi dengan siapapun di atas angkutan umum. Belum lagi seratus meter angkutan kota yang saya tumpangi berjalan, dan sekali lagi angkot berhenti. Seorang bapak bertubuh besar, tinggi, kekar, berkulit hitam pekat dan berkumis naik ke atas angkot. Di pundaknya tergantung sebuah tas lusuh bertuliskan nama sebuah koran terbitan kota Kupang. Tidak ada sedikitpun niat di dalam hati saya untuk menyapa bapak ini. Toh diapun malah akan super-duper cuek karena potongan tubuhnya, pikirku. Tapi segera saya sadar bahwa anggapan saya salah. Tiba-tiba bapak ini menganggukkan kepala kepada saya dan senyum serta bertanya, “baru berangkat?” Saya pun menjawabnya dan kemudian terjadilah percakapan hangat di antara kami. Ia bercerita kalau sudah lama ia menjadi loper koran. “Anak-anak saya masih kecil,” imbuhnya, “dan saya sekarang sudah memiliki banyak saingan loper koran yang menggunakan sepeda motor. Saya tidak.” Dia pun bercerita bahwa tujuannya adalah menuju sebuah agen koran nasional untuk menjemput koran Jawa Pos yang biasanya tiba sore hari di Kupang. Kami terus bercerita, hingga tiba-tiba besi pegangan di dalam angkot diketuknya sebagai tanda dia akan segera turun. Dia kemudian turun dan saya melanjutkan perjalanan menuju studio radio Suara Kupang. Sebelum pertemuan di angkot ini, saya pernah beberapa kali melihat bapak loper koran ini menawarkan korannya. Bahkan, hampir di beberapa titik di kota Kupang saya bertemu dengan dia. Dia seperti ‘maha hadir.’ Di ujung kota yang sini saya bertemu dia dan di ujung kota yang sana juga ada dia. Dia selalu memegang beberapa koran di tangannya dengan baju dan celana yang selalu sama dan selalu menggendong tas yang sama sambil berjalan kaki. Semangatnya seperti tidak pernah patah untuk menjalani hidup sebagai loper koran, bahkan sampai umur itu. Kembali, sore itu saya mendapat sebuah pelajaran dari pertemuan dan perenungan singkat saya terhadap loper koran tua itu. Hidup harus berjuang, bahkan sekalipun dengan fasilitas yang minim. Waktu berlalu, dan suatu malam – seingat saya itu malam minggu – ketika saya pulang dari pekerjaan, saya putuskan untuk menumpang angkutan kota dengan jalur yang tidak biasanya, walaupun tujuannya sama yakni pulang ke kontrakan. Ini saya lakukan untuk sekedar refreshing. Angkutan kota tiba di dekat tempat tinggal saya dan saya memutuskan untuk turun dan melanjutkan dengan berjalan kaki saja ke kontrakan saya. Ini saya lakukan sekedar untuk mengimbangi lebih kurang duabelas jam duduk pada tiap sabtu di tempat kerja. Sauasana malam minggu begitu ramai. Jalanan dipenuhi dengan sepeda motor yang berseliweran kian kemari. Beberapa orang berjalan kaki di trotoar sambil santai. Sekedar saya memandang sekeliling dan terus berjalan menuju kontrakan melewati trotoar di depan pertokoan yang juga ramai pengunjungnya. Namun, tiba-tiba mata saya seolah tidak beralih menatap. Di seberang sana, saya melihat sang bapak loper koran yang pernah saya temui itu sedang berjalan dan menawarkan korannya kepada beberapa orang. Namun, kali ini dia tidak sendiri. Ia ditemani seorang gadis. Gadis kecil ini saya duga berumur 12 tahun. Di tangannya juga ada beberapa lembar koran dan dipundaknya ada sebuah tas kecil. Gadis kecil ini nampak sangat ceria dan turut menawarkan koran kepada beberapa orang yang lewat. Sesekali, saya lihat ia mencandai ayahnya yang ‘low profile’ itu. Seolah mendapat sebuah pemandangan indah, mata saya terus menatap ke aktivitas ayah dan anak itu, sambil pikiran saya kembali diperhadapkan pada sebuah kenyataan hidup yang perlu direnungkan. Saya merenungkan, gadis kecil ini bersekolah pada pagi hari dan sore harinya ia membantu ayahnya untuk menjual koran. Gadis kecil yang tidak merasa malu jika dilihat teman-temannya yang lalu lalang. Dia juga menikmati pekerjaannya membantu ayahnya sebagai penjual koran. Kaki saya terus melangkah dan berdiri di depan mereka. Kembali bapaknya tersenyum dan mengangguk ke arah saya. Segera saya duduk di lantai emperan toko dekat mereka sambil berbasa-basi dengan ayahnya. Jika basa-basi merupakan salah satu cara untuk menunjukkan tatakrama, maka saya telah melakukannya. Saya bertanya apakah itu puterinya, dan ia mengiyakan. Sementara itu saya mengalihkan pandangan saya pada gadis kecil itu dan menanyakan tentang sekolahnya. Dan dengan sopan ia menjawab. Jawaban yang demikian jarang di dapat dari anak-anak seumurannya di kota ini. Sangat sopan. Sayapun membeli koran Jawa Pos yang ditawarkannya dan berlalu dari mereka. Sederhana sekali pertemuan ini. Namun pelajaran darinya terus membekas di benak saya. Pelajaran bahwa kerja keras harus dilakukan semua orang, bahkan kendatipun rasanya sulit untuk dijalani. Minimnya fasilitas seharusnya tidak menjadi hambatan untuk meraih kesuksesan. Memang, di zaman yang serba canggih ini, adalah sebuah kemustahilan untuk memperjuangkan hidup tanpa memiliki fasilitas yang memadai. Tapi orang-orang malas dan pesismis akan menjadikan alasan fasilitas untuk tidak maju dan berkembang. Bisa jadi, mereka malahan akan kehilangan sukacita mereka karena tidak memiliki fasilitas. Bapak loper koran ini tidak malu menjalani pekerjaan sebagai loper koran. Ia bahkan terus melakukannya sampai umurnya yang sudah tua. Ia tipe orang yang setia. Banyak pekerjaan mungkin ditawarkan padanya namun ia menikmati “karier”-nya, dan malahan masih bisa membagikan sukacitanya dengan puterinya. Ia juga tekun melakukannya sampai larut malam. Tekun, setia, tidak malu bekerja walau minim fasilitas dan tetap ramah. Lebih dari itu, saya rasa, ada sebuah “kekuatan” yang bekerja dalam batinnya untuk melakukannya. Dan bagian itu saya rasa adalah : “apapun yang kamu perbuat, perbuatlah seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia,” dan lagi “bersukacitalah, sekali lagi kukatakan bersukacitalah.” TUHAN MEMBERKATI BAPAK LOPER KORAN ITU DAN PUTERINYA. Lama sesudah mempersiapkan tulisan ini dan belum mempostingkannya ke Blog, suatu sore saya bertemu lagi dengan bapak Loper Koran ini berpapasan di Jalan. Kali ini, ia bukan bersama anak gadisnya. Tapi ia bersama seorang anak laki-laki kecil. Dengan setengah menunduk ia member salam kepada saya. Tatapan mata saya seolah tidak lepas dari anak laki-laki kecil yang digandengnya. Pikiran saya, betapa mulianya hati bapak ini. Dia memang giat bekerja, walaupun sebagai loper Koran, namun kasihnya untuk anak-anaknya tetap diberikan. Mungkin juga dalam hatinya ia sambil berdoa :”Tuhan, semoga masa depan anak saya cemerlang.” Dimanapun dia saat ini, semoga bapak Loper Koran ini meraih sukses untuk masa depan anaknya. (MT)