Selasa, 09 Juli 2013

FILOSOFI AYAM BERKOKOK (versi saya)

Ujian untuk tugas akhir seringkali menjadi momok yang menakutkan bagi banyak orang. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tim penguji tesis seringkali di luar dugaan. Saat menulis tesis saya, tidak terpikirkan sama sekali satu pertanyaan yang pada ujian tesis dilontarkan oleh dosen penguji saya Prof. Dr. Gerrit Singgih, yang didampingi Dr. Suroso, M.Pd, M.Th. dan Dr. Samuel Handali. Pertanyaan ini disampaikan Prof. Gerrit Singgih. “Coba, tolong peragakan, bagaimana suara ayam berkokok di Timor. Apakah sama bunyinya dengan cara ayam berkokok di Jawa?” Sambil senyum, Prof. Gerrit menanti jawaban saya. Diluar dugaan saya, Dr. Suroso dengan fluently mulai bersuara laksana ayam jantan dan kemudian terkekeh-kekeh sambil menyuruh saya menirukan. Dr. Handali, dekan Pasca Sarjana Universitas Kristen Immanuel Yogyakarta, yang kala itu belum pulih pasca insiden kecil saat memperbaiki talang di rumahnya yang duduk sebagai penguji juga hanya tersenyum saja. Pendadaran yang tadinya menakutkan, tiba-tiba saja menjadi suasana yang penuh tawa dan kehangatan. Kendatipun saya sungguh-sungguh grogi, pertanyaan ini menjadi menarik saya renungkan. Sepulang dari ujian ini, bahkan sesudah wisuda dan bekerja, pertanyaan Prof. Gerrit Singgih ini terus terngiang. “Bagaimana suara ayam berkokok di Timor. Apakah sama bunyinya dengan cara ayam berkokok di Jawa?” Pertanyaan ini terus ada dalam pikiran saya. Lebih lanjut saya berpikir, apa pentingnya pertanyaan ini dalam sebuah ujian tesis Magister Pendidikan Kristen? Oh, mungkin karena judul tesis saya memang berhubungan dengan bagaimana bahasa Melayu Kupang dipakai untuk meningkatkan minat belajar murid Sekolah Minggu. Sampai suatu malam, saat akan pergi tidur, seperti biasa saya menyetel ke sana kemari radio butut saya, mencari program radio yang mungkin masih enak didengar sebagai pengantar tidur. Nyaris mendekati batas akhir gelombang FM, tiba-tiba saya mendengar suara seseorang dengan dialek Timor yang sangat kental. Entah berkhotbah, entah berceramah, saya tidak tahu, tapi sangat menarik untuk diikuti karena sedang membahas juga tentang ayam berkokok. Prof. Dr. Ayub Titu Eki, bupati Kupang, bicara dengan dialek Timornya yang kental bahwa orang tua zaman dahulu di Timor yang tidak berpaut pada jam dinding untuk menghitung datangnya pagi. Mereka hanya mendengar dan menghitung suara ayam jantan berkokok untuk memastikan bahwa matahari akan segera terbit dan hari beranjak pagi. Dalam kebiasaan orang Timor, sebagaimana yang saya sendiri juga pernah alami sebagai seorang anak yang lahir dan dibesarkan di pedalaman pulau Timor, orang-orang tua peka sekali dengan suara ayam berkokok setiap malam. Saat pergi tidur, orangtua akan berpesan kepada anak-anaknya untuk segera bangun saat ayam berkokok. Dalam terjemahan bebas, kira-kira nasehat itu berbunyi : “ingat, besok, saat ayam berkokok, segera bangun!” Apalagi jika akan ada sebuah pekerjaan besar yang akan dilakukan esok hari. Untuk lebih jelasnya, perihal ini saya tanyakan pada mama dan bapak saya. Sepanjang malam sampai menjelang pagi, katanya ayam akan berkokok tiga kali. Kokok ayam pertama kali diperkirakan sekitar jam satu dinihari. Kali kedua diperkirakan jam tiga dinihari, dan kokok ketiga diperkirakan akan terjadi jam lima dinihari. Para orangtua biasa akan membangunkan anak-anaknya pada saat kokok ayam kali kedua. Semua anak yang berumur di atas enam tahun harus segera dibangunkan. Dalam tradisi di kampung saya di Mollo Utara yang dingin sekali, atau mungkin ini kebiasaan dalam keluarga kecil Oktovianus Tanesib, ayah saya, sesudah bangun orang akan menyalakan api untuk dua fungsi yakni selain untuk memasak makanan bagi mereka untuk sarapan pagi, juga untuk menghangatkan badan. Sambil duduk mengelilingi api di dalam ‘ume kbubu’ rumah khas Timor, demi menghangatkan badan, orangtua akan menasehati anak-anaknya. Nasehat-nasehat utama biasanya adalah anak-anak harus rajin bekerja, bangun tidur lebih awal supaya bisa mempersiapkan diri agar bekerja dengan rajin dan esok lusa sesudah besar tidak hanya mengharapkan meminta-minta makanan dari orang lain bahkan mencuri. Nasehat-nasehat para orangtua biasanya juga mencakup kerja yang keras, santun pada orang lain, bahkan tidak boleh malas karena malas bekerja akan berpangkal pada mencuri. Nasehat lain adalah agar berbuat baik kepada orang lain. Anak-anak yang malas bangun atau sengaja mengacuhkan perintah orangtua untuk segera bangun biasanya akan menjadi sasaran kemarahan pagi-pagi buta. Kokok ayam ketiga adalah tanda untuk mulai keluar dari rumah untuk bekerja. Entah sekedar mencari air untuk kebutuhan sehari-hari di rumah, mencarikan pakan untuk sapi atau untuk mulai beraktivitas di kebun. Jelas bagi saya, dalam tradisi orang Timor, kokok ayam adalah tanda yang mengingatkan untuk bersegera, mempersiapkan diri, dan tidak bermalas-malasan. Mereka juga selalu diingatkan untuk santun kepada orang lain dan memegang adat istiadat. Waktu ini juga merupakan waktu komunikasi orangtua dengan anak-anaknya dan waktu bagi orangtua untuk membekali anak-anaknya dengan nasehat sebelum memasuki satu hari. Ini jarang dilakukan dalam zaman modern ini. Orangtua tidak memiliki waktu untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya dan bahkan untuk menasehati mereka. Akibatnya adalah, kecenderungan anak-anak sesudah besar tidak menganggap bersalah bila merampas hak orang lain, malas, mengharapkan untuk mendapatkan uang atau makanan secara gampang dan tabiat-tabiat tak terpuji lainnya. Anak-anak itu tidak punya tatakrama, tidak santun pada sesama dan tidak menghargai orang lain. Hemat saya, salah satu faktor yang menyebabkan orang tidak merasa bersalah saat korupsi adalah karena tidak ada pendidikan dari rumah tangga yang dilakukan orangtuanya terhadapnya.
Perihal ini menarik jika dikaitkan dengan tradisi dalam gereja. Seingat saya, beberapa gereja GPIB di Jawa yang pernah saya lihat memasang tanda ayam di ujung atas menara gerejanya sebagai lambang. Saya tidak tahu persis makna lambang itu, tapi saya menginterpretasi lambang itu sesuai dengan latarbelakang bahwa Yesus pernah mengingatkan Petrus akan pengingkarannya “sebelum ayam berkokok.” Dugaan saya, lambang itu mengingatkan bahwa orang Kristen dan warga gereja tidak boleh mengingkari atau menyangkal Kristus setiap kali melihat pada lambang itu. Bagian-bagian Alkitab dalam kitab Injil-injil menceritakan tentang ayam berkokok. Matius, Markus, Lukas yang disebut Injil sinoptik karena memiliki “pandangan yang sama,” mencatat peristiwa ayam berkokok. Bahkan Injil Yohanes juga mencatatnya. Ada beberapa catatan menarik mengenai kokok ayam. Matius 26: 34, Lukas 22:34,60, dan Yohanes 13:38 dan 18:27 mencatat “sebelum ayam berkokok,” tanpa menyebutkan perihal berapa kali ayam berkokok. Berbeda dengan itu, Markus 14:30 menyebutkan bahwa penyangkalan Petrus akan dilakukan sebelum ayam berkokok “dua kali.” Setelah Petrus menyangkal, maka berkokoklah ayam untuk “kedua kalinya.” Inti bagian ini memang terletak pada bagian penyangkalan Petrus kepada Yesus. Namun refleksi saya yang berakar dari pertanyaan Prof. Gerrit Singgih saat menguji tesis saya, menemukan bahwa jika waktu kokok ayam di kota Yerusalem sama dengan waktu kokok ayam di desa Ajaobaki-Mollo Utara, di pedalaman pulau Timor, maka penyangkalan Petrus yang dilakukan sebelum ayam berkokok untuk kedua kalinya justru dilakukan sebelum jam tiga dini hari. Wow, sebelum jam tiga dinihari, Petrus telah menyangkal Yesus tiga kali. Hal-hal yang dapat dikaitkan dengan ayam berkokok adalah sebagai berikut. Secara tradisional di Timor, refleksi tentang kokok ayam seharusnya mengingatkan anak-anak muda untuk terus berjaga-jaga, tidak malas bekerja, dan waspada selalu agar masa depannya tidak menjadi suram. Masa depan yang menjanjikan dan terhormat akan menjumpai mereka yang dengan tekun, rajin dan tidak bermalas-malasan. Sebaliknya “mentari tidak akan pernah terbit” bagi mereka yang hanya mau bermalas-malasan. Mereka hanya akan merampas hak orang lain dan makan dari piring orang lain. Dalam tradisi kitab suci, kokok ayam seharusnya mengingatkan orang Kristen untuk tidak menyangkal Kristus. Petrus, walalupun menyangkal Kristus sampai tiga kali sebelum ayam berkokok dua kali, namun akhirnya ia menyesali perbuatannya. Setiap kali melihat pada menara beberapa gereja yang bergambar ayam jantan, seharusnya orang Kristen diingatkan untuk tidak menyangkal Yesus seperti Petrus. Hingga kapanpun. ( MST)