Minggu, 24 Juli 2011
MEMBUNUH KAMBING HITAM BERNAMA "AKTA MENGAJAR"
Ketika musim penerimaan siswa baru sudah datang, sekolah-sekolah mulai berdandan dengan spanduk-spanduk selamat datang untuk siswa-siswi baru. Tidak terkecuali, guru-gurupun mulai berbenah karena masa liburan rupanya tidak lama lagi akan berakhir. Angka kelulusan tahun 2011 ini cukup memacu semangat para guru untuk berjuang dan terus berjuang lagi. Seandainya angka kelulusan 2011 tidak seperti tahun ini, akan ada banyak komentar. Syukurlah, tahun ini nyaris tidak ada komentar dan kambing hitam karena angka kelulusan NTT memuaskan. Bila tidak, akan banyak komentar yang ditemui. Bisa jadi, komentar-komentar itu menyangkut kegagalan sekolah mempersiapkan siswa-siswanya menuju Ujian Nasional, tingkat kesukaran soal ujian Nasional, sampai masalah alokasi anggaran untuk pendidikan. Ini alasan-alasan yang cukup rasional. Alasan lain yang tidak kalah rasionalnya adalah karena faktor guru. Kualitas guru yang mempersiapkan siswa di sekolah acapkali divonis sebagai faktor penentu keberhasilan. Akan banyak kebahagiaan jika seluruh siswanya naik kelas dan lulus Ujian Nasional. Namun, tidak sedikit yang merasa kecewa, marah dan bahkan berusaha melempar kesalahan jika pencapaian target kelulusan Ujian Nasional tidak seperti yang ditargetkan. Siswa yang dinilai kurang mempersiapkan diri, orangtua yang tidak mendorong anak belajar, bahkan faktor geografis dan gizi juga adalah faktor-faktor yang kerap mendapat dakwaan yang sama. Terus terang, tidak ada seorang guru pun yang mau dianggap sebagai penyebab merosotnya mutu pendidikan di sekolah. Guru honor sekalipun.
Mendengarkan percakapan di antara para guru bab keberhasilan siswa atau saat diskusi-diskusi tentang mutu guru dalam seminar-seminar pendidikan yang belakangan menjamur, menghasilkan beragam tanggapan. Di antara tanggapan-tanggapan itu, satu yang menarik adalah usaha untuk berspekulasi dan menyelamatkan diri dan bahkan cenderung mencari “kambing hitam.” Salah satu di antara “kambing hitam” itu adalah mereka yang mengajar dengan bermodalkan ijazah akta mengajar. Tudingan terhadap sarjana-sarjana non-kependidikan yang banting stir ke arah pendidikan ini rata-rata dibangun atas beberapa alasan.
Pertama, mereka tidak memiliki latar belakang kependidikan. Sarjana non-kependidikan yang memilih menjadi guru mungkin saja menyelesaikan studinya selama empat tahun atau lima tahun. Sepintar-pintarnya seorang calon sarjana non-kependidikan, ia pasti akan lulus minimal tiga tahun setengah ke atas. Walaupun demikian, landasan ilmu yang dimilikinya bukan tentang pendidikan. Para sarjana pendidikan, juga menyelesaikan kuliah mereka dalam kurun waktu yang relatif sama dengan mereka yang non-kependidikan. Tetapi karena sejak mulai kuliah mereka telah belajar tentang pendidikan, maka mereka memahami teori tentang pendidikan, dan bahkan setidak-tidaknya memiliki kesempatan enam bulan untuk melakukan Program Pengalaman Lapangan (PPL), walaupun seringkali tidak betul-betul utuh enam bulan persis. Dalam hal ini, perlu diakui bahwa landasan teori dan ilmu-ilmu pendidikan para sarjana kependidikan adalah bekal yang cukup besar untuk terjun dalam pekerjaan mereka sebagai guru. Kendatipun tidak dapat dipungkiri kerapkali ada juga sarjana pendidikan yang tidak memilih guru sebagai pekerjaan yang perlu ditekuninya.
Kedua, mereka hanya orang-orang yang bimbang. Ini adalah tudingan yang paling banyak dialamatkan kepada para sarjana non kependidkan. Diduga, mereka sudah “tidak laku” dengan gelar dan latarbelakang ilmu yang dimilikinya. Pasca menamatkan sarjana non-kependidikan, mereka mereka telah berusaha mencari pekerjaan kesana- kemari. Sayangnya, mungkin saja mereka tidak diterima dimana-mana. Namun saat melihat bahwa pekerjaan guru adalah pekerjaan yang menjanjikan secara finansial akhir-akhir ini, maka merekapun ramai-ramai ingin menjadi guru. Padahal dulu, cita-cita menjadi guru yang dimiliki oleh teman-teman mereka ditertawakan dan dihina. FKIP dulu katanya kurang diminati. Tetapi tidak untuk akhir-akhir ini. Bahkan bagian sarana prasarana di FKIP di kampus-kampus swasta pun terpaksa harus menambah budget untuk kursi dan ruangan serta fasilitas-fasilitas tambahan untuk calon-calon guru itu. Demikian pula, yayasan-yayasan yang dulunya membangun Sekolah Tinggi non-kependidikan, sekarang secara sadar telah membaca pasaran itu dan mulai merintis Sekolah Tinggi Ilmu Kependidikan. Di mana sarjana-sarjana non-kependidikan itu saat dulu orang lain berusaha untuk kuliah di FKIP? Kalau seandainya mereka memang berniat menjadi guru sejak awalnya, mengapa mereka tidak memilih FKIP sejak semula? Mengapa mereka malah memilih Pertanian, Peternakan, Hukum, Sains, Tehnik, Sosial, Agama atau yang lainnya? Mengapa mereka baru ramai-ramai menyerbu LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan) saat sertifikasi guru begitu menggiurkan, saat kesra guru mulai diperhitungkan, saat dana BOS mulai digulirkan, dan saat tunjangan untuk daerah terpencil dan perbatasan untuk para guru digiatkan? Kalau sekarang sarjana-sarjana non-kependidikan itu mengambil akta, maka tudingan kepada mereka adalah tepat jika disebut bahwa merekalah orang-orang bimbang yang tidak konsisten dengan pilihan studi mereka sejak semula. Bahkan kalau benar dugaan bahwa para sarjana non-kependidikan ini adalah orang yang mau menjadi guru karena tertarik dana sertifikasi, kesra, BOS, dan tunjangan-tunjangan, maka tidak salah kalau mereka dituduh sebagai orang yang hanya mau mencari uang tanpa memikirkan tentang proses pembelajaran yang diajarkan pada para calon guru.
Dua landasan ini setidaknya membuka pemikiran terhadap output dari hasil pendidikan jika dibina oleh orang-orang yang non-kependidikan dan hanya ingin mencari akta mengajar. Karena itu semakin tegas tuduhan kepada sarjana non-kependidikan yang menjadi guru yang dapat dikristalkan dengan beberapa pernyataan berikut. Sarjana non-kependidikan yang mengajar dengan modal akta akan menghasilkan siswa-siswa yang tidak menguasai materi dengan baik. Mereka tidak mengerti kurikulum, tidak memahami silabus, tidak bisa menyusun prota dan promes, apalagi menulis RPP dan memberikan evaluasi yang bermutu. Sesudah evaluasi, mereka tidak mengerti bagaimana melakukan analisa butir tes. Mereka bahkan buta dengan SKL. Bahkan terhadap MBS mereka harus bertanya, apa itu? Kalau saja di sekolah ada orang-orang model ini, bagaimana outputnya. Toh mereka hanya mengharapkan sampai waktunya mereka memperoleh gaji dua kali lipat gaji pokok, tunjangan karena kondisi geografis tertentu atau dana BOS cair. Stigmatisasi model ini telah diterima oleh sarjana-sarjana non-kependidikan yang menjadi guru. Bahkan kuping panas, muka yang memerah dan detak jantung yang berdenyut kencang menahan emosi saat menerima stigma itu terpaksa harus dilakukan.
Mengapa stigma terhadap sarjana non-kependidikan dengan akta mengajar di tangan mereka begitu negatif? Publik bisa saja melakukan stigmatisasi pada para guru dengan latarbelakang non-kependidikan dengan akta mengajar. Bahkan sesama guru di sekolah dengan friksi non-kependidikan dan kependidikan sah-sah saja saling menjatuhkan. Namun, rasionalitas harus diutamakan. Bukankah logika harus dipakai untuk menemukan sebuah solusi dan bukannya menuduh membabi buta?
Sarjana non-Kependidikan dangan akta mengajar di tangannya seringkali menerima citra negatif atas diri mereka. Setidaknya hal pertama adalah ternodanya citra akta mengajar oleh ulah oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Mereka hanya menginginkan akta mengajar demi alasan mencari dan mendapatkan pekerjaan. Mereka ingin memperoleh akta mengajar bukan karena motivasi mendapatkan SIM (Surat Izin Mengajar) tapi karena motivasi ingin mendapat pekerjaan semata. Padahal pada LPTK yang betul-betul mengutamakan mutu, calon penerima ijazah akta mengajar adalah mereka yang betul-betul telah bekerja sebagai pengajar namun secara legalitas belum dimiliki. Kecuali, LPTK yang hanya menginginkan uang dari calon penerima ijazah akta yang tanpa tedeng aling-aling menerima serampangan mahasiswa tanpa seleski apakah ada rekomendasi bahwa calon mahasiswa itu telah bekerja sebagai guru atau tidak. Jika hal ini terjadi, outputnya adalah kualitas pendidikan di sekolah akan semakin memburuk. Stigma akan semakin jelek diberi kepada mereka karena mereka ternyata sama sekali tidak mengerti tentang bagaimana mempersiapkan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran.
Selain itu, organisasi tertentu yang mengeluarkan akta mengajar turut menodai citra guru sarjana non-kependidikan yang berakta. Seharusnya, akta mengajar hanya diberikan oleh LPTK. Lebih baik lagi LPTK yang terakreditasi dan resmi serta berproses jelas dan bukan semata berorientasi hasil (Ijazah akta) di tangan. Tetapi, rupanya ada ijazah akta yang bisa didapat dengan cara instan dan murah, cenderung juga murahan. Bahkan dalam waktu empat belas hari, satu bulan, atau tiga bulan, seseorang sudah memiliki ijazah akta mengajar di tangannya. Bahkan ada yang hanya membayar dan mendapat ijazah akta tanpa tatap muka sama sekali. Kalau ini terjadi, hanya Tuhan, Setan dan penerima akta model itu saja yang akan tahu, siapa dirinya sesungguhnya. Organisasi-organisasi ini telah turut membuat pelecehan dan bahkan perkosaan terhadap martabat profesi guru yang mulia. Bahkan mereka telah turut menodai niat luhur orang-orang yang dengan tulus mengabdikan dirinya untuk pendidikan. Organisasi-organisasi ini bahkan tidak tahu atau mungkin pura-pura tutup telinga bahwa akta mengajar sudah tidak dibuka lagi. Mereka masih saja gencar mempromosikan diri dan bahkan mengiklankan pemberian akta mengajar di iklan-iklan baris surat kabar. Bagaimana publik mau menghargai para penerima akta mengajar kalau masih ada kesan bahwa akta mengajar itu dapat diperoleh dengan cara murahan dan tanpa membekali penerimanya sedikitpun dengan ilmu-ilmu kependidikan.
Hemat saya, dualisme antara guru yang sarjana non-kependidikan dan sarjana kependidikan sebaiknya dihilangkan. Paling tidak dengan alasan yang lebih manusiawi. Bukankah kebutuhan guru hingga saat ini masih cukup besar. Dibukanya banyak sekolah hingga ke desa-desa membutuhkan tambahan tenaga guru. Jika motivasi utama seorang guru sarjana kependidikan sama dengan seorang guru sarjana non-kependidikan yakni melibatkan diri untuk mengajar, mendidik dan membimbing, apa yang dapat dipersoalkan? Adalah setali tiga uang, jika guru yang sarjana pendidikan memiliki motivasi semata-mata demi sertifikasi, tunjangan, atau insentif lain dan tidak mempersiapkan diri dengan baik untuk mengajar. Mereka tidak dapat dibedakan dengan guru non-kependidikan yang bermotivasi mendapat bayaran semata. Ini memang persoalan pelik.
Guru sarjana non-kependidikan yang secara serius mengambil akta mengajar di LPTK terakreditasi mendapat perlakuan yang mirip dengan mereka yang sarjana kependidikan. Mereka harus memasuki kelas-kelas regular selama satu setengah tahun, mengikuti tatap muka hingga minimal 13 kali, mengikuti Program Pengalaman Lapangan (PPL) dan menulis laporan. Memang, jika diakui, ini tidak sampai sama persis dengan sarjana non Kependidikan yang menyelesaikan empat tahun untuk S.Pd mereka. Sangat na’if jika mereka dilecehkan sama dengan mereka yang hanya berakta ‘ecek-ecek.’ Di satu sisi, seorang guru dengan latar belakang sarjana non-kependidikan akan menjadi sangat sombong bahkan cenderung tidak tahu diri jika ia berhenti belajar dan menganggap diri bahwa ia sudah mengetahui segalanya “hanya” karena ia telah mengantongi akta mengajar. Panggilan itu kerapkali berproses. Ada panggilan yang disadari saat dijalani. Karena itu berhenti mencari kambing hitam adalah tindakan bijak. Keistimewaan seorang guru toh tidak terletak semata pada ijazahnya, tapi sejauhmana ia menjalani dan menghidupi kompetensinya sebagai guru.
Langganan:
Postingan (Atom)