Minggu, 28 Desember 2008

DESEMBER KELABU


Desember 2008 ini adalah desember yang mengesankan bagi saya. Sebenarnya saya sendiri tidak begitu memahami jalan pikiran kenapa penulis lagu desember kelabu menuliskan lagu itu. Tetapi mungkin kata itu yang tepat menggambarkan suasana hati saya di bulan desember 2008 ini. Bagaimana tidak, awal Desember menyisakan persoalan di bulan November tentang persoalan uang praktikum beberapa orang adik yang kuliah di Jawa.Belum berlalu, masalah radio yang disegel masih menjadi persoalan yang memakan pemikiran saya juga. Penyelesaian mata kuliah Ibrani dua yang minim alat lebih menambah beban ini, ditambah lagi dengan berita bahwa saya juga tidak akan lagi menduduki posisi saya di kampus seperti dulu. Yang terakhir ini sebenarnya tidak terlalu berpengaruh bagi saya, tetapi desember ini diwarnai dengan peristiwa-peristiwa ini.

Tetapi Tuhan baik. Dia tidak pernah membiarkan anak-anaknya sampai tergeletak. Hari ini 28 Desember 2008, hari minggu terakhir 2008 satu persatu dari persoalan ini terjawab. Kami baru saja mensyukuri datangnya 200kilo pemancar baru kami dalam ibadah singkat di studio, dan malam ini akan mulai dikerjakan. Uang adik-adik untuk praktikum diselesaiakan. Dan satu lagi yang menyita pemikiran tentang adik yang bekerja di Surabaya yang tidak memberi khabar juga sudah terjawab lewat telpon dari salah satu keluarga di Bali bahwa Ia sekarang ada di Bali. Satu demi satu persoalan dapat terselesaikan berkat Tuhan. Syukurlah, Desember kelabu itu seharusnya mulai diganti dengan desember Ceria. Trimakasih Tuhan 2008 ini penuh dengan suka duka tapi Engkau membawa saya melewatinya.

Sabtu, 06 Desember 2008

“MANTAN DOULOS”


(Tulisan ini adalah salah satu tulisan yang saya posting di blog lama. Sebelum blog itu saya hapus, tulisan itu saya pindah ke sini.

Awalnya aku ingin kuliah di STT Doulos. Keinginan ini juga oleh karena dorongan dari Omku. Sebut saja Marthen Banfatin, Om yang menyayangi aku. Satu-satunya saudara laki-laki mamaku. Tuhan tidak memberi mereka anak, tetapi Tuhan memberi kami seorang Om yang luar biasa yang dapat memahami kami. Puji Tuhan. Suatu hari beliau meminta, kalau kamu ingin kuliah ke Jawa, saya dukung, katanya. Akupun memutuskan untuk ikut perekrutan STT Doulos ke Jakarta. Pikirku, STT Doulos akan sama dengan STT yang lain yang mencetak para pendeta di GMIT, gereja asalku. Setelah keputusanku bulat, aku diantar dengan air mata di pelabuhan Tenau kupang dan berangkatlah aku ke Jakarta. Membayangkan Jakarta dan kampus yang megah, akupun berangkat.
Beberapa hari berlayar, tibalah di Jakarta. Jujur, aku belum pernah membayangkan kota besar. Jangankan Jakarta. Aku bahkan belum pernah menginjakan kaki di kota propinsi kami yang bernama Kupang. Setiba di Tanjung priok, kami dijemput dengan mobil khusu dan diantar ke Cipayung, Jkarta Timur. Langsung hilang bayanganku tentang kuliah di tempat yang nyaman setelah aku melihat dengan mataku sendiri kampus STII Jakarta. Sampai di sana kami dibagi dalam dua rombongan. Sebagian tinggal di Jkaarta dan kami harus melanjutkan perjalanan ke Bandung. Keindahan pemandangan d Jalanan menuju Bandung sejenak membuat aku lupa akan tujuan utamaku kuliah. Sekitar Jam 11 malam, tibalah kami di satu desa yang sunyi dan gelap. Pada akhirnya aku tahu desa itu bernama Langensari dan kampung tempat kami dibawa bernama Cikidang di kecamatan Lembang, Bandung. Astaga, kami tidur malam itu di ruangan yang bau kotoran ayamnya masih menyengat hidung. Aku tidak tahu persis kalau itu kampus yang dimaksud. Maklum, kami tiba pada malam hari. Besoknya, betapa kagetnya diriku, kami ternyata berada di desa yang terpencil. Sepanjang mata memandang hanya ada gunung dan hutan. Astaga, aku baru sadar, keinginanku untuk melihat kampus yang mewah sirna. Aku tidak bisa pulang karena kemana aku harus pergi, akupun bingung.
Proses perkuliahan berjalan dan aku sadar bahwa ada banyak masukan dan ilmu yang kudapat dari para pengajar. Tetapi banyak keganjilan dalam hal manajemen membuatku bertanya-tanya tentang kejelasan masa depanku menjadi pendeta GMIT. Mungkinkah aku akan menjadi pendeta di GMIT? aH.. aku berusaha menjauhkan pikiran itu. Tapi kembali aku dihantui karena setiap alumni diminta hanya untuk melayani sebagai penginjil dan bahkan melayani di panti rehabilitasi. Aku semakin sadar bahwa keinginanku menjadi pendeta GMIT akan tidak tercapai.
Di tengah kebingunganku itu, STT Doulos kemudian diminta untuk tutup. Beritanya aku baca sendiri keluar di Koran Pikiran Rakyat. Aku kemudian semakin kuatir dengan masa depanku. Dari Bandung, kami dipindahkan ke Jakarta dan dari Jakarta, kami akan dipindah lagi. Aku memutuskan untuk pindah ke STII Jogja walaupun saat aku pamit, aku tidak direstui, bahkan nyaris dipermalukan. Tapi aku bersyukur pada Tuhan aku dapat pembekalan dan mengenal Yesus di sana. Aku kemudian hengkang ke STII Jogja yang membentukku sampai menjadi yang sekarang, walaupun belum tidak menjadi pendeta, aku enjoy melayani sukarela di GMIT. Demi pekerjaan dan kecintaanku pada Tuhan

PAPA . .


(Tulisan ini adalah salah satu tulisan yang saya posting di blog lama saya pada 29 September 2008).Sebelum blog itu saya hapus, tulisan itu saya pindah ke sini.

Ayahku seorang Petani. Papa Oktovianus Tanesib. Petani, di daerah lain mugkin bisa diandalkan. Tapi di Timor? Petani jauh dari bayangan. Papaku lahir dari sebuah keluarga Besar. Papaku anak pertama, disusul papa Yunus Tanesib, Tante Ully, Tante Koba, Tante Yanse, Bapak Yulius, Tanta Sin dan yang terakhir hampir seumuran aku namanya Nitanel. Sebagai anak pertama dalam keluarga, papaku harus berpikir tentang adik-adiknya. Tapi puji Tuhan, semua adiknya sampai sekarang “Takut Tuhan.”
Walaupun kondisi ekonomi keluarga kami sangat minim, satu hal yang menarik dari papaku, sejak muda, dia sudah melayani Tuhan. Awalnya dia hanya menjadi syamas, kemudian menjadi penatua,dan kemudian menjadi Penanggungjawab gereja. Tugas ini cukup berat. Maklum pendetanya hanya satu orang, sedangkan gerejanya ada sembilan dengan jumlah jemaat masing-masing gereja, ratusan bahkan ribuan. Papaku 18 tahun melayani Tuhan sebagai pelayan syamas, penatua bahkan Penanggungjawab.
Mungkin gara-gara itu, kami mulai di ajar sejak kecil untuk tertib secara rohani. Aku ingat, kamidibiasakan untuk bangun jam 5 pagi, duduk bersama-sama kemudian berdoa sebelum kami melakukan pekerjaan. Desa kami, Ajaobaki adalah satu desa di Kapan, kecamatan Mllo Utara yang sangat dingin. Bangun di jam itu sama dengan menyiksa diri. Tapi disiplin ini mengarahkan kami dan akhirnya kami juga belajar takut akan Tuhan. Walaupun sampe sekarang masih juga terus belajar. Tapi bagi aku, apaku adalah fondasi iman dan panggilanku sebagai pelayan Tuhan.
Aku ingat, papaku sungguh-sungguh berjuang untuk kami. Semasa kecil aku ingat, papaku berdagang buah-bahan dan hasil bumi. Hasil bumi yang dijualnya adalah ketumbar, bawang putih, dan buah unggulan Kapan, Apel. Dulu seingatku, buah Apel adalah produk di kapan. Sayang, sekrang sudah musnah… tanpa bekas bahkan. Dengan hasil berdagang, kami dibelikan pakaian ala kadarnya untuk bersekolah di SD. Menghidupi kami dengan sarapan bubur setiap pagi sebelum ke sekolah, dan biaya lain. Yang sangat membuat aku terharu, saat aku SMA, papakuyang tidak pernah mengena mengenakan celana panjang, berusaha membelikan sebuah celana panjang untuk aku. Aku malu-malu mengenakannya (maklum belum pernah bercelana panjang). Tapi astagaaaa… celana itu kebesaran dan kedodoran karena dibeli tanpa ukuran. Tapi syukurlah. Aku semakin sadar. Walaupun papaku seorang petani, ia menginginkan kami untuk menjadi lebih baik darinya. Aku ingat dulu papaku pernah berkata, kendatipun aku tidak pernah belajar Alkitab, anakku harus mengerti tentang Alkitab dengan belajar. Terimakasih Papa.
Sekarang aku belum bisa berbuat sesuatu untuk papaku. Tapi aku akan terus membuat dia tersenyum dan bangga punya anak seperti aku.

DAPATKAH ORANG PERCAYA BUNUH DIRI?


(Tulisan ini adalah salah satu tulisan yang saya posting di blog lama saya pada 2 Oktober 2008).Sebelum blog itu saya hapus, tulisan itu saya pindah ke sini.
Pertanyaan pada judul di atas menjadi sebuah pertanyaan yang mengganggu pikiran saya. Paling tidak selama studi di Jogjakarta. Paling tidak, pertanyaan ini muncul karena saya pernah tinggal dan mengabdi di satu daerah yang angka bunuh dirinya dibilang tinggi setiap tahunnya. Gunung Kidul. Di kabupaten yang terletak di selatan Jogjakarta itu, saya membantu melayani segelintir jemaat Kristen. Tepatnya di Dukuh Belang, Desa Terbah, Kecamatan Patuk. Syukurlah, di jemaat ini tidak pernah ada kasus bunuh diri. Tapi saya bertanya, dapatkah seorang percaya bunuh diri? Jawaban atas pertanyaan ini sedikit terungkap saat saya membaca buku karya Charles Caldwell Ryrie berjudul “You Mean the Bible Teaches That.” Ryrie mengatakan:
Dapatkah orang percaya bunuh diri? Tentu saja ia dapat melakukannya, tak pelak lagi orang percaya melakukannya. Tapi beberapa orang mungkin berkata apakah anda yakin bahwa mereka yang bunuh diri adalah sungguh-sungguh orang percaya? Beberapa orang yakin bahwa orang-orang Kristen yang sungguh-sungguh percaya tidak dapat melakukan bunuh diri, tetapi tidak ada fakta Alkitab yang mengklaim demikian. Beberapa orang yang mempertahankan bahwa seseorang dapat kehilangan keselamatannya berpendapat bahwa jika seorang Kristen mencabut nyawanya sendiri, ia kehilangan keselamatan dan tujuannya adalah lautan api. Bahwasannya orang yang sunggu-sungguh percaya tidak dapat melakukan bunuh diri nampaknya membuka sebuah pertanyaan serius namun hal ini dilakukan banyak orang. Lebih dahulu kita harus memahami bahwa pengalaman bukanlah sebuah tuntunan yang selalu aman. Karena kita tidak bisa memberikan sebuah penghakiman yang pasti tentang orang yang tidak percaya yang bunuh diri.
Adakah contoh-contoh di dalam Alkitab tentang orang percaya yag melakukan bunuh diri? Ryrie memberikan jawaban dengan mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada dalam Perjanjian Baru. Anggapan ini adalah didasarkan pada pendapat bahwa Yudas bukanlah orang percaya. Tetapi di dalam Perjanjian Lama, ada cerita tentang bunuh diri yang dilakukan oleh Raja Saul dengan menggunakan pedangnya sendiri. Apakah Saul adalah orang percaya atau tidak, masih merupakan sebuah perdebatan. Beberapa orang mengambil pernyataan Samuel dalam 1 Samuel 28:19 yang mengatakan bahwa Saul segera bersama dengan anak-anakNya sebagai pernyataan bahwa Saul masuk surga bersama-sama dengan Samuel. Yang lain memahami bahwa pernyataan ini semata-mata bahwa Saul akan segera mati dan pergi ke Sheol yang adalah tempat orang-orang jahat yang sudah mati. Jadi pernyataannya berarti ganda dan kita tidak bisa menyimpulkan bukti bahwa Saul adalah orang percaya yang bunuh diri.
Meskipun demikian, kita mengetahui bahwa orang-orang percaya tidak akan kehilangan keselamatannya karena jenis dosa tertentu. Tidak dapat disangkal bahwa bunuh diri adalah sebuah dosa (karena seseorang membunuh diri sendiri). Tetapi perzinahan dan membunuh orang lain adalah juga dosa yang sama besarnya dengan membunuh diri sendiri. Kita tahu bahwa raja Daud yang melakukan kedua dosa tadi yaitu perzinahan dan membunuh orang lain, tidak akan kehilangan keselamatannya hanya karena ia melakukan dua hal itu (Roma 4:7-8). Darah Yesus Kristus membersihkan kita dari seluruh dosa kita, termasuk bunuh diri.
Setelah membaca tulisan Ryrie, kesimpulannya kembali pada masing masing orang. Dapatkah orang percaya bunuh diri? Menurut aku, mungkin ya. Tapi masuk sorga dan masuk nerakanya orang yang bunuh diri bukanlah sebuah kepastian. Namun seharusnya satu hal yang tegas, Bunuh diri bukan sesuatu yang diizinkan oeh kekristenan.
Pertanyaannya masih menggantung? Komentari…..

AHLI KEPEMIMPINAN DAN KOMUNIKASI



(Tulisan ini adalah salah satu tulisan yang saya posting di blog lama saya pada 23 Oktober 2008).Sebelum blog itu saya hapus, tulisan itu saya pindah ke sini.

Salah satu aktivitas harian yang saya lakukan adalah ‘announcing’ pada radio Suara Kupang. Untuk kegiatan ini, saya membutuhkan stamina yang ekstra. Maklum, saya harus tidur lebih malam dari biasanya dan bangun lebih subuh. Setiap harinya kecuali hari week-end, saya baru akan bisa tidur jam 00.00. Ini karena program yang saya asuh adalah “Worship Line,” sebuah program doa online setiap malam di Radio. Program lain yang saya asuh adalah “Sambut Pagi,” yang dimulai jam 05.00. Artinya saya hanya tidur beberapa jam saja. Sebenarnya berat juga bagi fisik saya tapi syukurlah ada keceriaan yang saya peroleh setiap hari bersama dengan orang-orang yang saya temui dan menemui saya via telfon ke radio.

Dalam program yang aku asuh, ada satu sesi yang menjadi konsumsiku setiap hari yaitu paket renungan “bermimpi satu menit.” Program ini dihantarkan oleh Prof. Samuel Tirtamihardja. Radio kami mendapatnya dari kerjasama dengan YASKI. Dalam program ini, ada tips-tips yang diberian untuk dapat lebih efektif dalam hidup setiap hari. Prof. Samuel disebut punya keahlian dalam kepemimpinan dan komunikasi. Pagi ini Jumat 24 Oktober 2008 saat aku memutar program ini kepada pendengar, pikiran saya dibawa kepada kata-kata “kepemimpinan dan komunikasi.” Kedua kata ini membuat saya merenung. Sambil tetap memonitor jalannya lagu-lagu yang saya putarkan di raduga sebelum DJ Talk, saya berpikir, betapa bahagianya karyawan atau bawahan yang pimpinannya mampu berkomunikasi dengan baik kepada mereka. Pikiran ini muncul karena beberapa hari terakhir ini bahkan bulan dan tahun-tahun terakhir, pimpinan kami di tempat kerja lain (bukan radio) tidak punya komunikasi yang baik dengan kami karyawan di sana. Kehausan akan komunikasi yang normal, ramah dan bersahabat juga solutif seolah-olah memenuhi jiwa saya. Seandainya saja beliau mengerti tentang cara yang baik seperti Prof Samuel yang disebut ahli kepemimpinan dan komunikasi. Tapi bagaimanapun, kepemimpinan yang tidak disertai komunikasi yang bertatakrama akan menyebabkan banyak protes dan bahkan ketidaknyamanan.

Seorang pemimpin hanya akan menjadi pemimpin jika ada orang yang dipimpinnya. Karena dia berada di tengah orang lain maka ia harus membuka mulutnya, mengeluarkan suara dari sana dan berbicara dengan orang lain. Tapi dalam mengeluarkan suara, tatakrama dan aturan harus diketahuinya. Seorang pemimpin akan dianggap otoriter jika pada saat salah saja ia menegur dengan keras dan itupun dilakukan di hadapan orang lain. Dia tidk pernah memanggil dan mengkomunikasikan sesuatu secara intern sebelum publikasi. Ini membahayakan. Komunikasi ini juga dalam hal-hal biasa. Contoh sederhana, kalau ada tamu yang ingin mngantarkan sesuatu, saat tamu mengetuk pintu, bukakan pintu dan suruhlah masuk baru menanyakan apa maksudnya. Bukan berteriak dari dalam sementara tamunya di luar dan menyuruh meletakan benda yang diantar di depan pintu.

Tapi Kristus adalah kepala segala pimpinan. Dia tahu apa yang bisa dibuat.

JAMPI STRES



Jujur, beberapa hari ini saya sedang mengalami stress.Bagaimana tidak, sejumlah pekerjaan yang menumpuk, ditambah lagi dengan empat matakuliah yang harus saya asuh, ditambah lagi dengan hubungan dengan beberapa teman kerja yang kurang baik. Sungguh-sungguh membuat saya lelah memikirkannya.Apalagi, pemikiran tentang natal yang semakin mendekat, sementara persiapan untuk sekedar pulang kampung dan uang makan adik-adik yang kuliah di Jawa semakin memperburuk keadaan ini.

Ini bukan kali pertama rasa stress saya alami. Semasa kuliah di Jogja dulu, kondisi ini sering saya alami. Kalau bukan karena kiriman uang yang telat, pasti karena tugas-tugas kuliah yang harus saya kerjakan atau masalah pelayanan. Tapi saya selalu punya kiat sendiri untuk menghilangkan stress. Maklum, kami di asrama dan ada banyak hal yang bisa dilakukan. Salah satu hal yang saya biasa lakukan ialah dengan bersepeda "onthel" keliling-keliling. Atau keluar pada malam hari dan "jagingan" dengan teman-teman di warung kucing atau lesehan khas Jogja.

Lha itu kalau di Jogja. Ini di Kupang. Bagaimana jampi stress? Tanggal 5 Desember 2008 setelah pulang kuliah, beberapa mahasiswa sedang berdiri di depan ruangan. Saya mendekati mereka dan bercanda, dan salah satu hal yang kami bicarakan adalah apa kiat mengatasi stress. Ibu Rina Foeh, seorang mahasiswa yang mengambil matakuliah di kelas saya menyebut, kalau stress, hal yang sering dilakukannya adalah pergi dari rumah tanpa pamit kepada suami dan meninggalkan anak-anak. Ya sekedar jalan dan setelah itu pulang dengan kesegaran baru. Nampaknya itu juga obat jampi stress saya di Kupang. Beberapa hari lalu saya berjalan kaki sendirian di Jalan Palapa Kupang sore hari, tanpa teman. Setelah lama berjalan, saya rasa stress saya akhirnya hilang.
Okeszone pernah menuliskan pada Jumat,2 Juni 2006: Stres sudah menjadi sesuatu yang biasa dalam kehidupan dan biasanya terjadi karena aktivitas sehari-hari, entah itu karena pekerjaan, hubungan dengan kekasih atau masalah pribadi yang membuat Anda terpuruk. Untuk meminimalkan hal tersebut dan mengembalikan senyum di wajah Anda, berikut beberapa cara agar Anda dapat mengatasi dengan sumber stres Anda setiap harinya.

* Kurangi sumber stres. Sebagai contoh, jika berada dalam kerumunan sangat mengganggu Anda, pergilah ke supermarket di mana Anda tahu pasti antriannya tak akan terlalu panjang. Cobalah menyewa video atau DVD daripada menonton di bioskop yang penuh orang. Bereskan hunian Anda dengan memberikan atau menyingkirkan barang-barang yang sudha tak berguna, atau bisa jadi Anda membuka garage sale merupakan salah satu cara terbaik untuk ini.

* Jika Anda selalu terlambat, coba pikirkan bagaimana Anda membagi waktu. Dimulai dengan berangkat kerja, katakan saja butuh 40 menit untuk sampai ke kantor, sudahkah Anda berangkat tepat waktu? Anda dapat menyelesaikan masalah dan mengurangi tingkat stres dengan hanya menjadi lebih realistis. Jika Anda selalu tidak punya cukup waktu untuk seluruh aktifitas penting, mungkin ini sudah suatu pertanda kalau Anda mencoba melakukan terlalu banyak. Sekali lagi, coba buat daftar apa yang Anda lakukan seharian dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan. Kemudian coba sederhanakan.

* Hindari kemungkinan terjadinya stres yang masih bisa Anda prediksikan sebelumnya. Jika olahraga atau permainan tertentu bisa membuat Anda tegang (entah itu tenis atau bridge), tolak ajakan untuk bermain itu. Kesimpulannya, inti dari segala aktivitas haruslah menyenangkan. Jika Anda yakin itu tidak seperti itu, tidak ada alasan untuk ikut melakukannya.

* Jika stres terus tak bisa disingkirkan maka singkirkanlah diri Anda. Menghilanglah sebentar untuk waktu menyendiri. Momen yang tenang ini akan memberikan suatu perspektif baru untuk mengatasi masalah. Jauhi orang-orang yang berpotensi menimbulkan stres. Sebagai contoh, jika Anda tidak cocok dengan mertua, tetapi tidak ingin menjadikannya itu menjadi suatu masalah, undanglah ipar-ipar yang lain di waktu yang bersamaan, kamu mengundangnya. Adanya orang lain di sekitar Anda akan meredam beberapa tekanan yang akan Anda rasakan.

* Bersaing dengan orang lain, entah itu dalam keberhasilan, penampilan atau kekuasaan merupakan sumber stres yang tidak dapat dihindari. Anda mungkin tahu orang seringkali melakukan apa saja yang bisa menimbulkan keirian. Solusinya sebenarnya sangat sederhana, cobalah puas dengan apa yang Anda punya. Stres akibat keirian semacam ini hanya akan merugikan diri sendiri.

* Perangkat kerja seperti handphone atau jaringan komputer, seringkali membuat kita terlalu menjejalkan banyak aktivitas dalam setiap harinya. Sebelum membeli peralatan baru, pastikan itu sungguh-sungguh akan mengembangkan hidup Anda. Berhati-hatilah, karena merawat dan menyervis suatu peralatan dapat menjadi satu faktor pemicu timbulnya stres.

* Lakukan hanya satu macam pekerjaan saja dalam satu waktu. Sebagai contoh, ketika berlatih di sepeda statis, Anda tidak perlu untuk mendengarkan radio atau melihat TV.

* Ingatlah, terkadang tidak ada salahnya jika tidak melakukan apa-apa.

* Jika Anda mengalami insomnia, sakit kepala, demam yang tidak sembuh-sembuh atau gangguan perut, coba lihat apakah stres yang menjadi masalahnya. Terus menerus marah, frustasi atau gelisah akan menurunkan daya tahan fisik kita.

* Jika stres Anda menjadi semakin parah, carilah bantuan para ahli atau terapis. Tanda awal dari stres yang parah yaitu mulai hilangnya akal sehat dan keengganan bangun di pagi hari untuk menghadapi hari yang baru.

Benar juga kata okezone tadi. Mungkin karenannya insomnia saya kambuh lagi. Dan fisik saya sedikit terganggu. Tapi semoga stress ini segera pergi. Jika datangpun sudah ada penangkalnya. Jalan kaki.[MT]

Jumat, 05 Desember 2008

PERJALANAN PANJANG



Hidup hari ini betul-betul adalah anugerah. Anugerah oleh karena jalan-jalan hidup ini sudah dilalu hari ini. Tetapi hari ini sebenarnya adalah satu hari di atas hari-hari lainnya. Banyak jalan setapak yang pernah saya lalui. Banyak jalan berliku yang pernah saya lalui. Banyak jalan menurun bahkan menanjak yang mengeluarkan tenaga untuk bisa ditapaki.Demikianlah kehidupan rohani kita dalam mengarungi perjalanan panjang di dunia. Setiap saat ada berbagai pilihan yang seakan-akan lurus, tapi bisa membuat kita tersesat atau bahkan berujung pada maut. Ada banyak ajaran yang seolah-olah terlihat benar, tapi sebenarnya menyesatkan. Salah satu aliran baru menyatakan kita akan mendapatkan hasil sejauh perbuatan kita. Ini seolah-olah terlihat benar, tapi keyakinan itu bertumpu pada pernyataan bahwa manusia-lah pusat dari segala sesuatu, bukan Tuhan.

Sepanjang-panjangnya jalan yang saya lalui, saya selalu sadar bahwa di hadapan saya terbentang panjang jalan lain yang harus dilalui. Jadi berjalan di jalan-jalan yang kemarin adalah pengalaman untuk melihat kenyataan bahwa jalan masih panjang. Jika pemilik jalan itu masih mengizinkan saya untuk berjalan di jalan panjang itu, maka saya sadar jalan itu masih panjang. Mungkin ada belokan di depan. Namun Tuhan, kuatkan saya di jalan-Mu.

Seringkali saya berdiri, memandang ke depan. Ughh..Betapa jauhnya jalan itu. Di depanku terlihat jelas sebuah lubang kecil di jalan. Tapi lubang-lubang lain sepanjang jalanan ini tidak saya kenali dengan pasti. Kuatkan saya untuk menelusuri jalan ini dengan menghindari lubang berbahaya di perjalananku.[MT]

KURSI KOSONG


Foto di atas diambil di depan tempat saya mengabdikan diri saya. Tempatnya memang masih sangat sederhana karena masih merupakan rintisan sekolah para pelayan Tuhan di Kupang. Saya adalah yang duduk di urutan kedua dari samping kiri. Semua kami yang duduk adalah pengajar di tempat saya mengabdi, STII Kupang. Namun keunikan terjadi. Di tengah-tengah kami, ada satu kursi kosong. Pertanda apakah ini?

Saat melihat foto ini beberapa waktu lalu, teman-teman saya memiliki komentar tersendiri. Ada yang mengatakan bahwa ini ada pertanda kurang harmonis di antara kami yang duduk. Tapi bagi saya, foto ini bukan pertanda buruk. Hanya saja kebetulan saat itu pak Esra Soru yang seharusnya duduk di kursi itu sedang mengambil gambar. Itulah satu-satunya alasan yang masuk akal. Karena itu tidak ada alasan untuk menganggapnya sebagai suatu pertanda kurang baik di antara kami para pengajar. Seorang teman saya yang duduk di depan, sekarang telah menjadi pendeta di Sumba. Dialah Pdt. Yahya Keo,S.Th (orang ketiga yang duduk dari kiri).

Sebenarnya, apa makna "kursi kosong" selama ini?

Kompas 21 Juli 2006 menulis tentang kursi Kosong dalam kaitannya dengan pendidikan: "Ada banyak spekulasi tentang banyaknya kursi kosong pada seleksi PSB 2006 Surabaya. Ada yang menyatakan bahwa banyak calon murid yang tidak mendaftar ulang karena tidak punya uang, jarak sekolah terlalu jauh, mutu sekolah tidak lebih baik dari sekolah swasta, dan masih banyak lagi alasan."

Okezone,31 Maret 2008 menyebut: "Kursi kosong Wakil Ketua DPR yang ditinggalkan Zaenal Ma'arif ternyata sangat sulit diisi. Pasalnya sampai sekarang kursi tersebut masih kosong melompong.Menurut Ketua DPR Agung Laksono saat ini ada tiga formula pengisian yang masih diperdebatkan."

Jadi dari dua hal ini, paling tidak kursi kosong berarti ada usaha untuk meraihnya. Apa arti kursi kosong kami di foto ini? Ah... Lupakan saja.[MT]

Kamis, 04 Desember 2008

LAYANAN PUBLIK YANG MENGECEWAKAN


Peristiwa ini saya alami di salah-dua instansi pemerintah di Kota Kupang. Saat itu saya harus mengurus beberapa surat yang berhubungan dengan legalisasi diri saya sebagai penduduk asli Kupang. Maklum, saya lahir dan besar di sebuah desa di pinggiran kota kecamatan di Kapan. Studi SMA di kota kabupaten di So’e ibukota kabupaten. Tetapi saya belum pernah menginjakkan kaki di kota provinsi, Kupang. Setamat SMA di So’e, saya langsung melanjutkan studi di Lembang, Cipayung dan akhirnya tiba di Jogja. Karena seringnya berpindah, saya bahkan tidak punya KTP yang benar-benar paten. Saya pernah punya KTP sementara di Lembang, KTP local di desa Terbah, Gunung Kidul, tapi tidak di Kupang dan bukan KTP Nasional. Dalam petualangan mencari KTP itulah saya pernah bertemu dengan “tampang-tampang” galak para PNS di Kupang. Pelayanan publiknya memang tidak memuaskan. Paling tidak terhadap saya beberapa waktu lalu.

Waktu itu saya mengetuk pintu ruangan yang akan saya tuju di kantor tempat saya mengurus beberapa surat dengan ramah dan bersahabat. Maklum, keramahan Jogja masih membekas di benak saya. Saya merasa ketukan saya di pintu sudah cukup keras, dan bahkan para pegawai itu sudah sempat melihat saya dengan jelas di depan mereka. Tapi mereka malah dengan santainya mengurus riasan di wajah mereka. Sekali lagi saya bersuara agak keras menyapa dengan ramah’ “selamat pagi!” Tetapi malah dibalas dengan cibiran dan pertanyaan “sapa tuh?” (Dalam bahasa Kupang yang kental). Mungkin itu yang membuat seorang dosen kami dari Jogja Dr.Suroso ketika menginap di salah satu hotel di Kupang pernah berkesan, kalau hotel itu ada di Jogja, mungkin tidak ada yang menginap.

Kembali ke cerita saya di kantor tadi. Tanpa sedikitpun menghiraukan saya membuat saya naik darah. Ingin rasanya saya menmbentak. Tapi akh..biarkan saja. Toh saya ke sini dengan tujuan untuk meminta bantuan. Beberapa saat kemudian, seorang teman yang sekaligus sesepuh kami yang kebetulan bekerja di kantor itu bernama Ibu Erika Pandjaitan datang. Betapa kagetnya ibu-ibu yang duduk di depan saya karena ternyata saya mengenal ibu Erika. Dengan segera mereka berubah wajah dan meladeni saya dengan sopan karena saya mengenal ibu Erika. Segera surat saya diurus dan selesailah suratnya diurus.

Oh.. ternyata mereka hanya akan melayani orang-orang yang memiliki hubungan keluarga dengan mereka. Karena itu tidak salah kalau menyebut bahwa nepotisme di Kupang masih sangat kuat terasa. Kapan itu akan berakhir, saya juga tidak tahu. Tapi semoga nepotisme itu segera berakhir.[MT]

DITOLONG INA SABU


Ini sebenarnya bukan cerita mengenai diri saya, tapi cerita ini pernah diungkapkan adik saya saat kami berjuang untuk bisa berangkat ke Yogyakarta untuk kuliah. Namanya Merci Rosandi Tanesib. Sekarang dia sudah memasuki semester kedua perkuliahannya di FMIPA UKRIM Yogyakarta. Saya teringat kisah ini pasca menelepon mereka tadi pagi dan sekedar menanyakan kabarnya pasca makram FMIPA mereka di Wates. Saya teringat saat awal-awal kami bergumul untuk studinya.

Saat itu menurut om saya, semua peralatannya harus dipersiapkan dengan baik termasuk persiapan pembukaan rekeningnya. Kata Om, rekening harus segera diurus di Kupang karena pembukaan rekening akan terhambat jika sudah samapai di Jogja. Apalagi dia adalah penduduk baru yang tentu membutuhkan kartu identitas baru di tempat baru. Daripada ribet. Om meminta kami menyelesaikan semuanya di Kupang. Sambil menunggu pengurusan ATM-nya di BNI, saya menyuruh dia untuk menunggu sementara saya membeli beberapa peralatan termasuk trevel bag yang akan kami pakai.

Saat saya tinggal, petugas bank meminta dia untuk membayar beberapa rupiah karena kartunya sudah bias langsung dibawa pulang. Astaga… ternyata dia tidak membawa uang, sepeserpun. Dia baru saya bawa ke Kupang sekali. Teman juga belum punya. Tapi Erni tidak kehabisan akal. Di keluar, menyeberangi jalan dan meminjam uang pada seorang nenek penjual dari suku Sabu (Ina Sabu). Puji Tuhan, di Kupang yang kurang ramah ini, masih ada orang-orang yang baik hati yang mau mempercayai orang seperti adik saya dan meminjamkan uang. Ketika saya pulang, dia baru meminta saya untuk segera mengembalikan uang itu.

Pengalaman ini juga mungkin berguna untuk mereka yang akan mulai merantau, untuk mencari ilmu misalnya. Selesaikan dulu semua urusan rekening dengan apapun kerumitannya di tempat asal sehigga tidak direpotkan di tempat yang baru. Karena di tempat baru, tugas yang sesungguhnya adalah belajar dan bukan untuk mengurus kartu identitas. Syukur kalau petugasnya ramah.[MT]

Rabu, 03 Desember 2008

PROYEK IBRANI II YANG MINIM ALAT



Usaha untuk mengajar di STII Kupang membuat saya untuk kreatif. Semasa kuliah dulu di Jogja, teman-teman saya sering menyebut kata kreatif sebagai singkatan kere tapi aktif. Artinya walaupun miskin peralatan, tetapi harus aktif belajar dan berusaha. Mungkin itu juga yang memacu saya akhir-akhir ini. Untuk mendapat bahan dan alat-alat mengajar, kesulitan sering saya hadapi. Tetapi usaha untuk melakukan yang terbaik tidak pernah terhenti.

Beberapa semester terakhir ini saya dipercaya untuk mengajar beberapa mata kuliah yang rata-rata literaturnya berbahasa Inggris. Walaupun semasa SMU saya memilih kelas bahasa, pernah mengikuti kursus bahasa Inggris dan bahakan ToEFL Preparation, tapi nampaknya itu semua bukan jaminan bagi saya untuk memahami literatur-literatur teologi yang menggunakan bahasa ilmiah teologi.

Saya bersyukur, setelah melewati masa-masa persiapan dan mengajar Bahasa Ibrani I yang sulit, akhirnya saya menyelesaikan satu semester juga dengan mata kuliah itu. Hasilnya menurut saya cukup memuaskan. Paling tidak menurut saya. Sekarang, saya diminta untuk mengajar Bahasa Ibrani II. Bahasa Ibrani I memang tidak terlalu banyak memerlukan literatur, karena sekedar mengajar tulis dan baca juga beberapa aturan dasar kalimat Ibrani dan kosakata. Syukur juga, karena beberapa hal yang sebenarnya saya sebut "kebetulan" walaupun sebenarnya saya sadar di dalam Tuhan tidak ada yang kebetulan. "Kebetulan" yang saya maksud adalah semasa kuliah dulu adalah saya sempat memiliki diktat Ibrani lebih dari satu versi. Versi STII tempo doeloe, versi I3 Batu-Malang, versi Carl Reed,Ph.D dan yang betul-betul saya anggap sebagai "kebetulan" adalah saya pernah ditinggali versi Dallas Theological Seminary milik seorang pendeta yang akan pindah rumah ke Klaten kota. Waktu itu saya masih ada di Klaten. Karena membantu berbenah, buku itu akhirnya diwariskan ke saya, walaupun dalam bentuk copian dan agak lusuh. Syukur untuk semu "kebetulan" itu.

Bahas Ibrani II sekarang lebih rumit. Waktu diminta pertama kali untuk mengajar mata kuliah ini, saya sendiri belum punya panduan dan bahan ajar. Memang ada sedikit bayangan tentang matakuliah ini semasa kuliah dulu. Saya membongkar bahan-bahan saya yang sudah saya "kerduskan" dan akhirnya saya menemukan bahan parsing saya di Ibrani II dulu. Beberapa bahan Mas Samgar Setyabudhi, SKM juga masih saya simpan. Nama ini sekarang sudah menjadi dosen Ibrani setelah menyelesaikan Th.M-nya di STII. Saya kemudian meminta beliau lewat @mail diktat yang saya maksud. Kebaikan hatinya ditunjukan dengan arahan bahwa Ibrani II adalah penerapan sintaktikal dan leksikal Ibrani I. Atas usaha kedua adik saya yang kuliah di UKRIM Yogyakarta, bahan itupun tiba ke saya dan sekarang saya pakai sebagai bahan ajar.

Masalahnya sekarang adalah beberapa bahan yang saya rasa sangat penting tidak ada. Bahan-bahan itu seperti The Septuagint Version of the Old Testament with an Eanglish Translation, The Interlinear Bible: Hebrew - English, Analitical Key to The Old Testament. Satu buku yang penting yang tidak kami miliki adalah The New Brown-Driver-Biggs-Genesius Hebrew and English Lexicon.

Tak ada akar, rotan pun jadi. Begitu pikir saya. Bahan-bahan dari situs SABDA kami sikat habis. Bahkan bersama-sama dengan para mahasiswa, saya berusaha untuk mendorong mereka menggunakan apa yang ada. Parsing-parsing kecil kami lakukan, diskusi-diskusi sederhana kami buat dan saya sendiri bahkan merasa bahwa saya adalah bagian dari mereka yang sama-sama belajar. Mereka tidak sungkan-sungkan mengganggap saya sebagai teman studi. Trimakasih Tuhan. Bahasa Ibrani yang menakutkan bagi mereka dan bagi saya dulu kami buat lebih menyenangkan walaupun kami masih harus sama-sama belajar. Inilah Proyek Ibrani II kami yang minim alat.

Ketika saya menulis kisah ini, saya baru saja menyelesaikan pertemuan dengan mahasiswa untuk menyelesaikan parsing kata-kata tertentu. Semoga hasilnya menyenangkan dan dikenang.[MT]

Selasa, 18 November 2008

KETIKA RODA TIMBA RUSAK DI ATAS SUMUR



Ya, ingatlah akan Penciptamu selagi engkau muda, sebelum rantai perak (kehidupan) putus, dan mangkuk emas pecah, dan tempayan hancur pada mata air, dan roda timba rusak di atas sumur; (FAYH. Pkh. 12:6)

Ayat Alkitab ini langsung muncul di pikiran saya hari ini. Semalam saat saya siap-siap tidur, saya mendapat SMS dari seorang teman bahwa anak dari Pak Radja seorang teman sekaligus orangtua kami meninggal.Seakan tidak percaya, saya mencoba menghubungi beberapa orang teman pengajar dan menanyakan informasi yang sebenarnya. Sebagian mereka tidak tahu. Tetapi kepastian datang dari salah seorang senior yang menyebutkan betul, Cici (nama anak yang meninggal) telah berpulang karena diduga jantungan karena mennyaksikan tawuran di kampus Undana Kupang.

Cici, lengkapnya Cicilia adalah tipe anak periang. Itu sepintas yang saya ketahui. Baru saja beberapa bulan lalu kami bertamu ke rumah pak Radja dan sambil menyaksikan sinetron Indonesia di salah satu statiun TV swasta ia banyak berkomentar. Tapi disela-sela itu ia mempersilakan kami makan dan dengan rendah hati mengambilkan tissue untuk kami dan menyalakan kipas angin di tengah suhu udara kupang yang sangat panas waktu itu. Cici yang periang itu siang itu, ketika kami melayat terbaring kaku dengan pakaian putih panjang membalut jasadnya. Dia tidak bernyawa lagi. Setelah memberi salam pada ibunya yang kelihatan lemas di samping jasad ini, kami duduk. Pak Radja, ayah Cici tidak ada di tempat. Dia sedang mengurus peti untuk jasad Cici. Setelah kami menyalami ibunya, kami duduk di ruang dalam rumah keluarga itu. Sementara suara ibunya masih terus terdengar meriwayatkan tentang anaknya dalam tangisannya. Sesekali saya sengaja melihat ke plafon rumah hanya sekedar menahan air mata saya membayangkan tentang kesedihan yang dalam dari ibu Erika (mama Cici). Mata saya juga mengarah ke sudut ruangan di dekat bagian kepala, kakak lelaki Cici duduk dan memandang dalam-dalam wajah adiknya yang terbaring kaku. Pikiranku langsung tertuju kepada kedua adikku Elfi dan Erni yang kuliah jauh di Jogja. Adik-adik yang karena mereka aku berjuang untuk bisa mendapatkan sepeser untuk mengirimkan kepada mereka uang makan, sekalipun sering kurang. Oh.. Tuhan, kesedihan saya semakin mendalam karena membayangkan betapa dalamnya kesedihan seorang saudara laki terhadap adiknya. Dalam hatiku aku berpikir, "semoga keluarga duka dikuatkan."

Lamunan saya dikagetkan dengan tangisan yang bertambah karena beberapa pendeta masuk. Pendeta Tera Klaping dan Pendeta Hede serta istrinya memberi salam kepada keluarga duka. Setelah berjabatan tangan dengan keluarga duka, pandangan mata pak pendeta mengarah ke bagian dalam dan saya menganggu memberi salam dan teguran dengan isyarat kepada Pak Pendeta Klaping. Beberapa saat kami keluar dan duduk di halaman di tenda duka. Kami berkumpul dengan beberapa teman pengajar dan pendeta dan bercerita saat papa almarhum datang dan menyalami kami. Setelah itu kami masih duduk beberapa menit.
Beberapa orang melayat, tampak rombongan profesor dari Undana dipimpin Pembantu Rektor datang melayat. Teman-teman saya S2 juga berdatangan. Kami kemudian bercerita tentang nasib kuliah kami yang sampai sekarang belum juga rampung. Padahal proposal thesis kami sudah dimasukkan. Beberapa saat kemudian, mobil yang menjemput kami datang dan sayapun pulang dengan mahasiswa ke kampus sederhana kami di Fatufeto.

Dalam perjalanan pulang, beberapa mahasiswa ramai di belakang dengan obrolan mereka. Tetapi pikiran saya melayang kepada apa kata pengkhotbah. Kata-kata yang menarik bagi saya adalah "roda timba rusak di atas sumur." Saya kemudian tersentak dan memikirkan lagi tentang hidup. Ya. Sebelum roda timba rusak di atas sumur, saya harus berjuang. Berjuang demi hidup. Berjuang demi masa depan. Berjuang demi adik-adik saya. Berjuang sampai waktunya tiba.

Hari ini, kata-kata pengkhotbah betul-betul saya rasakan maknanya. Trimakasih Tuhan untuk kebenaran-Mu yang menjiwai saya hari ini. [MT]

Sabtu, 15 November 2008

PETUALANGAN BERBAHASA



Kegemaran saya mendalami bahasa sudah sejak SD dulu. Entah kenapa dulu zaman saya sekolah SD ada lomba bidang studi, dan saya selalu dipercaya mengikuti lomba itu dengan mata pelajaran bahasa Indonesia. Saya sendiri memang dilahirakan di desa yang pengenalan bahasa Indonesianya minim. Namun sejak kecil, orangtua saya yang berbahasa ibu Dawan, selalu membiasakan kami untuk berbahasa indonesia, tentu saja dalam versi Timor. Selain lomba bidang studi itu, saya juga sering mendapatkan nilai yang lumayan selama SD-SMA untuk mata pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Saat kuliah, theologi adalah pilihan saya. Tetselama kuliah, saya baru tahu kalau pelajaran Bahasa Ibrani dan Bahasa Yunani juga diajarkan.

Pindah dari Kupang ke Lembang Bandung juga menjadi tantangan tersewbdiri bagi saya. Selain harus menyesuaikan bahasa Indonesia Versi Kupang saya dengan bahas Indonesia teman yang lain, saya juga harus mulai memikirkan tentang bagaimana memahami bahasa lokal yaitu bahasa Sunda di Cikidang Lembang Bandung. Di kalangan teman-teman saya dari Timor, tersebar isu bahwa saya memiliki kemampuan bahasa Sunda yang cukup baik. Padahal saya sendiri tidak merasa demikian. Saya hanya merasa bahwa saya sanggup menjawab orang yang berbicara bahasa Sunda. Itu saja.

Dari Sunda menuju Jogja juga membuat kegoncangan tersendiri darisegi bahasa. Bahasa Jawa harus saya dalami. Awalnya saya stress dengan teman saya satu kamar di asrama karena dia selalu berbicara bahasa Jawa dengan saya. Tetapi lam-kelamaan hal itu menantang saya untuk belajar bahasa Jawa langsung kepada orang-orang desa dan membiasakan diri hidup bersama dengan mereka dalam budaya dan kebiasaan mereka di desa.

Tahun 2005, setelah delapan tahun di Jawa saya kembali ke Kupang. Logat saya tentu saja kembali harus disesuaikan dengan orang Kupang agar saya tidak dianggap sok. Setel;ah mengabdi beberapa saat di kampus tempat saya mengajar, pimpinan kemudian mempercayakan saya untuk mengasuh matakuliah Bahasa. Awalnya saya diminta untuk mengasuh matakuliah bahasa Ibrani bagi pemula.Hari ini, adalah kelas perdana saya untuk mengajar bahasa Ibrani II. Puji Tuhan, concern saya dengan bahasa ternyata berlanjut. Semoga Tuhan memberi kekuatan kepadaku untuk mendalami dan suatu saat nanti bisa seperti temanku Ira Mangililo yang mendalami Bahasa ini hingga ke Canada dengan S3nya. Atau Misray Tunliu yang mendalami bahasa Arabnya hingga ke Timur Tengah. Atau minimal seperti Pak Jhony Yahya Sedi,Th.M di STII Jakarta. Semoga.

Dalam kemurahan Tuhan, saya juga dipercaya melayani di suku yang berbeda bahasa dengan saya. Pariti, desa tempat saya melayani ditempati oleh oran Sabu dan Orang Rote dengan bahasa yang berbeda. Memahami mereka dengan bahasa dan budayanya memberi nilai tambah tersendiri dalam petualangan berbahasa saya. Syukur.[MT]

INILAH HIDUP ANAK KOST



Sepanjang hidup saya yang total sudah berjumlah 28 tahun hingga tahun ini, saya menghabiskan waktu saya hanya beberapa tahun untuk tinggal di rumah orangtua kandung dan hidup bersama mereka. Seingat saya, hanya ada sembilan tahun saya hidup bersama mereka. Sisanya hidup bersama dengan orang lain bahkan hidup sendiri di kost atau asrama. Baru pada saat duduk di kelas satu SD-lah saya tinggal bersama papa dan mama saya. Sebelumnya tinggal bersama dengan nenek dan kakek. Sesudah tamat SMP, artinya hanya sembilan tahun saya tinggal dengan orang tua saya, saya melanjutkan pendidikan SMA di kota kabupaten. Otomatis saya berpisah dari papa dan mama dan tinggal dengan teman-teman. Bahkan pernah tinggal dengan keluarga. Setamat SMA, Saya menghabiskan kurang lebih delapan tahun untuk tinggal di Asrama, tinggal di rumah orang (jemaat) yang kami layani, atau bahkan di kost dan bahkan pernah tinggal di pastori gereja. Dalam semuanya ini, kost adalah salah satu tempat yang cukup nyaman untuk ditempati. Kenapa saya sebut nyaman, oleh karena jika di rumah orang lain atau orang tua kita harus ber-ewuh pakewuh dalam melakukan segala sesuatu termasuk makan, maka di kost, kita bisa bebas untuk bersantai, makan, belajar atau apa saja (tentu yang positif). Tetapi bahanya jika nekat melakukan hal yang negatif. Saya bersyukur, walaupun harus bersusahpayah dengan uang kost dan ocehan mama kost tapi sampai saat ini saya masih merasa nyaman tinggal di kost.

Memang saya sangat merindukan suatu saat untuk memiliki tempat tinggal sendiri. Saya sering membayangkan tinggal di rumah yang sederhana yang rumah itu adalah hasil jerih payah sendiri. Walaupun sederhana. Semoga suatu saat kelak hal itu terwujud. [MT]

Jumat, 14 November 2008

UDARA KUPANG BEBAS GANGGUAN FREKUENSI RADIO



Sejak menjadi penyiar radio di Kupang, saya hampir setiap hari pasti mendengarkan radio. Ora kethang setengah jam setiap hari. Selain mendengarkan station tempat saya bekerja Suara Kupang, saya juga kadang mendengarkan station lain sekedar untuk menjadi pembanding untuk kecakapan siaran saya. Tetapi suatu sore, saat saya pulang mengajar, saya turn in di radio tempat saya bekerja. Beberapa menit kemudian, sama sekali tidak ada orang yang ber- DJ Talk ria. Sebagai penyiar, saya bertanya kepada head of Announcer tentang kekosongan itu. Beberapa menit kemudian, hp saya berdering dan itu dari kantor. Saya diberitahu bahwa radio kami di segel balai monitor. Kekagetan saya semakin menjadi karena ternyata direktur utama sedang di Jakarta. Apa alasannya? Beberapa teman melalui sms memberitahu kalau disegel karena kontrol dari Balmon (Balai Monitor) Frekuensi.

Sore itu juga saya ke studio dan saya baru tahu bahwa satu demi satu radio di kota Kupang mulai off dari udara. Termasuk radio Verbum, RRI Pro1 dan Suara Timor yang menurut saya mungkin akan bebas dari segel. Mulai dari saat itu, dalam hidup seolah ada sesuatu yang kurang. Karena selain tidak menyiar, tidak juga bisa mendengarkan radio kesenanganku dan station tempat saya bekerja. Saya baru sadar, menyiar di radio juga ternyata bermanfaat. Salahsatu manfaatnya adalah mengurangi stress karena dengan bercuap-cuap, segala sesuatu diikeluarkan dari batin dan pikiran (tentu harus dikontrol). Semoga kemelut ini segera selesai. Urusan dengan Balmon segera berakhir dan radioku bisa on air lagi. Tuhan, Tolong urusan ini agar segera diselesaikan dengan baik. Berkati Pak Morthon Lay dengan besarnya anugerah-Mu. Amin. [MT]

NAFIRI WARISAN



Gambar di samping ini adalah gambar tanduk rusa. Bahan dasar nafiri ala Timor. Benda ini memang asing bagi sebagian orang. Tetapi di tempat kelahiran saya di pedalaman Timor, nafiri bukanlah benda yang asing lagi. Di Mollo Utara, Timor Tengah Selatan, nafiri sangat berguna bagi pelaksanaan suatu ibadah rumah tangga. Bunyi nafiri akan menuntun orang untuk beribadah. Bunyi nafiri akan memiliki arti lain jika itu dibunyikan di luar hari-hari tertentu yang biasanya ditetapkan untuk ibadah rumah tangga. Bunyi nafiri di hari-hari lain menunjukkan bahwa ada orang yang meninggal. Nafiri di sini berfungsi mengumpulkan banyak orang. Benda yang di kampung halaman saya terbuat dari tanduk kerbau, di Kupang Barat, satu tempat yang pernah saya layani juga menggunakan kerang sebagai nafiri dengan fungsi sama untuk memanggil orang beribadah rumahtangga. Saya pernah membaca sebuah tulisan yang menyebutkan bahwa dalam ketentaraan pada saat penulisan Alkitab, nafiri digunakan untuk memberikan perintah kepada tentara. Nafiri itu bisa mengeluarkan bermacam-macam bunyi, dan setiap bunyi mempunyai arti tertentu. Kalau nafiri itu ternyata tidak bisa memberikan bunyi-bunyi seperti itu, sekalipun sebetulnya berita yang disampaikan itu penting (misalnya: ada musuh menyerang!), maka nafiri itu sama sekali tak berguna.

Sudah lazim, di desa tempat saya di lahirkan di Ajaobaki, pedalaman Timor, bunyi nafiri selalu akan dikaitkan dengan ibadah rumahtangga. Menjadi orang yang dipercayakan memegang nafiri dan menuipnya setiap beribadah menjadi sebuah kebanggan seseorang karena ia dipercaya melakukan pekerjaan kerajaan Sorga. Paling tidak itu yang aku tahu dari tradisi di kampung halamnku di pedalaman pulau Timor.

Selama bertahun-tahun sejak kami kecil, papa saya dipercaya menjadi majelis oleh gereja. Tugas pelayanan dilaksanakannya. Ia seringkali meniup nafiri untuk memanggil orang-orang berkumpul untuk melakukan ibadah-ibadah rumahtangga. Kadang saya juga hadir di dalam ibadah saya dan kadang saya mencoba meniup nafiri, tapi tidak berhasil. Meniup nafiri memerlukan kekuatan nafas yang tertampung dalam rongga mulut. Selain itu, bagian bawah telinga kadang sakit karena tiupan itu.

Meniup nafiri, pernah menyimpannya di rumah karena meminjam pernah dilakukan oleh papa saya bahkan saya pernah mencobanya saat kecil dulu; tetapi memiliki nafiri sendiri belum pernah dimiliki oleh papa saya sebagai pelayan Tuhan (penatua). Suatu hari, ada giliran memimpin ibadah di rumah seorang kakek. Istri dari kakek ini adalah kakak kandung nenek saya dari ibu. Kakek ini sudah tidak mampu berjalan jauh. Matanya sudah tidak dapat melihat. Namun mendengar papa saya datang, kakek yang pernah melayani Tuhan dengan tindakan yang sama untuk memanggil jemaat beribadah ini bangun. Menurut cerita papa saya dulu, dengan suara yang lantang kakek ini (kami memanggilnya Ba'i Banfatin) menyuruh papa saya masuk. Setelah masuk, ia mengambil nafiri kebanggaannya dan menyerahkannya kepada Papa saya sambil berpesan agar papa saya melanjutkan tanggungjawabnya memegang nafiri ini. Kalau aku tidak salah ingat, ia pernah berkata "Ini adalah nafiri milikku, aku serahkan kepadamu, sekarang setelah nafiri ini ada di tanganmu, kamu harus melanjutkan tugas pemberitaan Injil ini." Isyarat ini membuat papaku yakin bahwa dia harus terus melayani Tuhan karena sekarang nafiri itu telah menjadi miliknya. Setelah nafiri itu diserahkan, papa tetap melanjutkan tugas sebagai majelis. Beberapa tahun setelah jabatan tertinggi pelayaana majelis (penaggungjawab gereja) diemban, papa kemudian berhenti. Tetapi tidak lama sesudah itu saya lulus sarjana Theologia. Mungkin ini isyarat juga bahwa tugas ini harus saya lanjutkan. Tetapi setelah saya lulus, pulang dan melayani di Kupang walaupun tidak sebagai pendeta, beberapa tahun kemudian, papa dilantik kembali menjadi majelis.

Kini saya rasa papa cukup bangga dan menikmati pelayanannya sebagai majelis. Sya juga bahagia ternyata mendapat "cipratan" pemegangan nafiri itu. Saya walaupun tidak sebagai pendeta namun tugas mengajarkan Injil dan memberitakannya kepada orang lain masih terus saya lakukan hingga saat ini.

Tuhan, kuatkan kami untuk tetap memegang nafiri ini dalam keluarga kami. Sekarang saya tidak menganggap nafiri tanduk rusa itu sebagai jimat atau keramat, tapi saya senang, kebanyakan dari anggota keluarga kami adlaah pelayan dan setia dalam satu pekerjaan untuk kemuliaan Tuhan. Papaku majelis dan tua-tua jemaat. Mamaku anggota persekutuan do'a. Saya anak pertamanya tamat studi dari STII Yogyakarta dengan gelar S.Th. Sekarang melayani di STII Kupang sebagai pengajar dan pembawa program rohani di Radio Suara Kupang. Adiku bernama Elfi dan Erni yang sementara kuliah di UKRIM Yogyakarta setia menjadi tim Altar gereja di salah satu gereja desa di pinggiran Prambanan,Jogja . Inche adikku yang terakhir manjadi anggota Vocal Group Gereja. Wellem adikku di Surabaya pernah bekerja di rumah ret-reat di Malang. Puji Tuhan. Majelis gereja di kampung halamanku juga didominasi oleh saudara-saudara Papaku. Tuhan, kuatkan kami dalam ladang-Mu. [MT]

Senin, 10 November 2008

TUGAS BARUKU



Gara-gara kebiasaan bercuap-cuap di mikrofon radio, suatu hari aku dimintai tolong untuk menjadi Master of Ceremony (MC) dalam sebuh pesta nikah. Saya sbenarya bukan tipe orang yang gila tampil di depan publik.Kalaupun harus menjadi MC atau berbicara di depan orang, itupun saya lakukan dengan tujuan pelayanan. Misalnya memimpin ibadah di gereja, atau dalam kelompok, berkhotbah, atau sekedar mengajar. Tapi ini semua dengan alasan untuk pelayanan. Awalnya grogi juga. Demam panggung.Tapi kali itu dalam sebuah pesta nikah anggota keluarga majelis jemat, saya diminta menjadi MC. Yang jelas saya belum pernah MC di acara resepsi pernikahan. Saya tidak tahu harus memulai darimana dan mengakhiri di mana. Tapi beberapa acara pernikahan yang aku hadiri resepsinya memberi sedikit bayangan.

Dalam budaya Kupang, ada satu acara malam yang dilakukan sebelum hari H pernikahan. Entah kenapa acara ini disebut malam "Pica Bok." Malam itu ada pembagian tugas dan saya disebut sebagai pembawa acara dalam resepsi besok malam. Hal-hal yang berhubung dengan materi pembicaraan saya tanyakan. Termasuk beberapa pepatah Amarasi dan Rote. Maklum yang menikah adalah pria Timor Amarasi dan wanita Rote. Setelah 'investigasi' sederhana itu saya lakukan, saya baru tahu bahwa pengantin prianya bekerja di sekretariat DPRD Kabupaten. Dalam benak saya berkecamuk perasaan grogi karena pejabat-pejabat yang akan hadir. Malam itu kami pulang dan besok malam kami kembali ke resepsi. Catatan kecil saya selipkan di kantong sekedar jaga-jaga. Setelah sampai ke tempat resepsi saya diminta memakai pakaian adat Timor lengkap dester di kepala. Astaga saya seperti 'tiang listrik dibuntheti.' Saya baru sadar bahwa dalam acara itu, banyak pejabat kabupaten yang harir. Th. Naisanu yang istrinya pemandu pemotong kue pengantin, Jeri Manafe anggota DPRD, Welhelmina Tabais-Kefan ketua DPRD damn dalam ibadah siangnya juga hadir Ruben Funay yang waktu itu adalah wakil Bupati. Dadaku seperti akan copot. Tapi syukurlah, acara yang saya bawakan malam itu mendapat pujian dai banyak orang termasuk teman-temanku. Ini pertama kali saya MC di acara pernikahan. Dan sejak saat itu, setiap kali acara pernikahan di lingkungan pelayanan saya, saya selalu diminta MC di acara ernikahan.Jadilah saya perangkai kata-kata cinta.

Tapi saya harus jujur bahwa saya kurang menikmati tugas baruku ini. Demi kedekatanku terhadap objek pelayananku, aku terpaksa harus melakukannya.

MC yang profesional? Ya... mungkin. Maybe Yes, Maybe No.

Kamis, 06 November 2008

IMAGE & REALITY



Kata orang, dalam hidup ada dua tataran. Tataran yang pertama ada di dalam otak yang bisa kita sebut tataran idealis dan tataran kedua ada dalam kelakuan yang namanya tataran realistis. Semua manusia berhadapan selalu dengan dua hal ini. Dua tataran ini kadang tidak sejalan. Apa yang ada dalam otak kita kadang (kalau bukan selamanya) tidak berjalan bersamaan dengan apa yang kita lihat, kita alami dan kita rasakan.

Dalam bayangan saya, pendeta adalah orang yang sangat sempurna. Dalam istilah saya seorang pendeta adalah manusia yang punya tingkatan di atas manusia normal lain. Atau "sedikit di bawah malaikat." Image ini sudah terbangun sejak kecil. Papa saya yang dipercaya mengelola satu gereja kecil di desa selalu menjemput Pak Pendeta untuk melayani sakramen. Wibawa dan nada suara pak Pendeta, bahkan jubah hitam dan "dasi" putihnya membuat saya semakin mengagumi pendeta. Saat saya mulai sekolah teologi dengan harapan untuk menjadi pendeta, barulah saya tahu, gambaran saya tentang pendeta kelitu. Kenyataan mengatakan bahwa calon-calon pendeta di sekolah teologi mempraktekan berlawanan dengan image saya. Gambaran ini masih terus ada setelah saya tinggal serumah dengan para pendeta dan saya ternyata tahu bahwa memang gambaran saya terhadap pendeta sangat keliru. Jika rocker saja adalah manusia., pendeta jelas adalah manusia juga.

Dalam hal komunikasi, image dan reality juga harus diperhatikan. Dr. Donald K. Smith dalam sebuah bukunya yang saya baca berjudul Creating Understanding menyebutkan bahwa dalam komunikasi, terutama komunikasi lintas budaya dengan tujuan pekabaran Injil, hal terbaik bagi seorang komunikator adalah memperhatikan gaya presentasi. Walaupun isi dan essensi pembicaraan tidak berubah, namun gaya presentasi harus disesuaikan dengan gambaran mental audiens. Untuk dapat mempersiapkan secara cukup, seorang komunikator harus mengenal gambaran imageyang didapat dari audiensnya.

Demi pengenalan image dari audiens, hal-hal berikut perlu diperhatikan:
1. Apakah ketertarikan spiritual mereka?
2. Apakah merekan memiliki keingnan untuk terlibat dalam pekerjaan Kerajaan Allah?
3. Apakah mereka secara baik mendapatkan informasi atau edukasi? Apakah mereka
tertarik dalam urusan kekinian saja? Dunia? Nasional? Atau hanya komunikasi.
4. Apakah anda menganggap audiens anda atagonis atau bersahabat?
5. Apakah mereka tertarik dengan subjek yang anda bawakan?

Memang pertanyaan-pertanyaan ini tidak akan memberikan sebuah gambaran yang penuh dari audiens. Namun ini membatu saya untuk semakin mengerti bahwa audiens penting dalam komunikasi. Bagaimana dengan kasus image & reality kehidupan pendeta?

Semoga saja mereka (termasuk saya) yang bekerja di ladang Tuhan demi kerajaan-Nya tidak terjebak. Semoga.

Rabu, 05 November 2008

PAK DAN IBU CHRIS YANG KU KENAL



Ini kisah tentang seorang anak desa. Ia lahir dan dibesarkan di sebuah pulau yang tidak ada di peta Indonesia. Ia merantau ke Jawa, dibesarkan dengan terpaan kerasnya hidup, tetapi yang berhasil sukses dalam studi Doktornya di Amerika. Ia lahir di pulau yang tidak ada dalam peta Indonesia tapi ia memiliki pemikiran besar untuk Indonesia.

Saya tidak mengenal pria ini sebelumnya sebelum tahun 1999. Waktu itu ada brosur yang sampai ke tangan saya, sementara saya masih berada di sekolah teologi lain yang bukan berada di bawah asuhannya. Ketika pertama kali membaca nama Chris Marantika dalam brosur itu, keinginan saya semakin kuat untuk kuliah di sekolahnya. Sekolah Tinggi Theologia Injili Indonesia (STII) Yogyakarta. Hari-hari pertama kuliah di STIIpun saya belum mengerti dengan jelas siapa beliau. Sampai akhirnya suatu saat Beliau berkhotbah di Kapel STII dan kesan pertamaku adalah, "Pak Chris Luar Biasa." Suaranya yang menggetarkan kalbu, pembawaannya, dan ekspresinya yang menggugah pendengar dengan tatapan matanya yang tajam menerobos kacamata tebalnya menuntun untuk mengatakan, "Yes pak Chris, I'm your Vision follower." Beberapa kali saya mendengar beliau berkhotbah dan Puji Tuhan saya mengikuti kelas Manajemen Kepemimpinan yang diasuh beliau dan Eksposisi Wahyu. Banyak hal praktis yang diajarkan di sana selain materi yang diajarkannya. Dan hal-hal praktis itu berasal dari hidupnya.

Sekarang, walaupun mengalami banyak pergumulan setelah lulus dari STII dan membantu melayani di STII Kupang, namun ungkapan, "mundur selangkah maju dua langkah, dek" yang khas dari Pak Chris masih terpatri. Walaupun Juli 2008 yang lalu beliau sudah kelihatan lelah karena sakit yang dialaminya, namun semangatnya masih membara. Bahkan cerita unik dari sakitnya Dr. Chris Marantika adalah pada saat sakitnya sudah parah, ia sendiri menyetir dan masuk ke UGD untuk berobat.

Semangat lain saya dapat dari istri Beliau. Dr. Saria Marantika. Saat sebelum menyelesaikan skripsi saya dan menyelesaikan pelayanan saya, beliau datang ke desa tempat saya melayani dan masuk di rumah orang-orang desa, memeluk 'Mbok Karjo' yang baru pulang dari kebun dan menciumnya, membersihkan lantai desa yang kotor dengan menyeka sisa makanan yang jatuh dari meja dengan tissue, bahkan berjalan kaki mengunjungi beberapa jemaat desa di Belang, Terbah, Patuk Gunung Kidul. Saat kami keringatan sesudah berjalan kaki jauh, beliau menyuruh kami untuk bersiul-siul kecil. Konon kata bu Chris, angin akan segera berhembus. Bu Chris juga pernah mengajariku secara tidak langsung tentang kesabaran. Saat kami antri akan menghadap dosen pembimbing, Beliau yang adalah pimpinan, dan bahkan pemilik kampus itu ikut antri dengan kami untuk menghadap Pak Noor yang notabene adalah anak didiknya. Sambil antri beliau berseloroh. Kita harus mempraktekan filsafat "gareng-Petruk." Sabar Subur, ora sabar mlebu kubur utowo dhadi bubur. Mudah-mudahan tidak salah ejaanya. Sabar menanti sama dengan subur. Tidak sabar akan masuk kubur atau jadi bubur. Kesehatan Ibu Chris saat terakhir saya bicara dengan beliau pada makan siang rapat pimpinan STII Nasional di Jogjakarta sudah tidak sesehat dulu. Tapi semangatnya masih tetap semangat Ibu Chris dulu saat ke Gunung Kidul


Semoga saja api pak Chris tidak padam dan dipadamkan.

Selasa, 04 November 2008

INFORMASI YANG MULTITAFSIR



Ada dua orang yang mendengar berita tentang seorang sahabat yang baru saja melahirkan anak pertamanya. Orang pertama adalah seorang pria. Ia berpikir, bagaimana memberi support kepada anak yang baru lahir itu? bagaimana ia bisa memberikan kebutuhan yang diperlukan anak ini untuk masa depannya? Berbeda dengan orang kedua. Ia seorang perempuan. Ia kemudian berpikir, apa nama yang cocok untuk anak itu? Selucu dan seimut apakah anak itu?

Semua informasi selalu akan ditafsir berbeda oleh pribadi, kelompok, latarbelakang suku yang berbeda. Saya teringat sebuah cerita sewaktu masih kuliah di Doulos sesaat sebelum pindah ke STII. Kata kakak-kakak kelas, ada seorang dari kelompok anak Timor yang bersaksi tentang latarbelakang keluarganya. Dalam kesaksiannya itu disebutkan, "mama saya masih hidup, papa saya masih hidup, nenek saya masih hidup, tapi ba'i saya sudah mati." Pada saat menyebut ba'inya mati, beberapa anak Nias tertawa terbahak-bahak sehingga kesaksian yang tadinya haru berubah menjadi ramai. Setelah diselidiki, kata ba'i yang oleh orang Timor berarti kakek, dalam bahasa Nias konon berarti kemaluan laki-laki.

Ternyata informasi yang kita sampaikan bisa multitafsir jika dipengaruhi oleh latarbelakang pendengar. Karena itu, dalam kesempatan menyiar, saya mulai belajar untuk berhati-hati menyampaikan informasi bagi pendengar. Senin kemarin, peristiwa itu terjadi. Teman-teman saya yang menyiar sebelum saya mendapat SMS bertubi-tubi bahwa seorang fans radio kami telah meninggal. Beberapa panik dan informasi ini sempat tersiar di udara. Beberapa teman fans bahkan mengkonfirmasi ke radio. Tapi ternyata info itu salah. Fans yang bernama Haris di Fatukoa masih saja hidup.

Ini warning bagi semua orang yang mau menyampaikan informasi. Lihat dulu latar belakang audience, pastikan bahwa informasi kita tidak multitafsir. Selamat memberi informasi. [MT]

Senin, 03 November 2008

DID I SPENDING TOO MUCH TIME FOR THIS?




Judul di atas nampaknya terlalu berlebihan. Sok Inggris,gak? :) Tapi sebenarnya judul ini tercetus dari pemikiran sederhana saya dalam perjalanan pulang pelayanan week-end dari satu gereja desa di Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang. Ini kegiatan rutin saya setiap senn pagi. Bangun pada jam 4.30 pagi. Bersyukur karena malam yang sudah lalu. Dengan mengangkat hati sambil menundukkan kepala, saya juga meminta Tangan yang Kuat menuntun saya dalam perjalanan hidup saya, maupun perjalanan pulang saya ke kost saya di Kupang untuk aktivitas lainnya di Kupang. Sesudah saya membuka mata, saya belum melihat siapapun bangun dari tidurnya kecuali saya. Setelah membereskan tempat tidur, dua gelas air putih saya teguk (ini juga kebiasaan) dan kemudian saya membuka pintu, mempersiapkan diri dengan mandi dan aktivitas lain di kamar mandi dan kemudian mengambil tas saya dan duduk di depan rumah menunggu angkutan umum utuk pulang ke Kupang. Saat itulah mereka yang lain termasuk pak Pendeta bangun dan saya kemudian pamit untuk menunggu datangnya angkutan umum yang hanya beberapa unit untuk jurusan tempat saya melayani.

Ini angkutan pertama yang saya tumpangi hari ini. Biasanya harus berdesak-desakan dengan ibu-ibu dari desa yang akan berangkat ke pasar. Beberapa karung beras ditumpuk di dalam angkot. Selain itu kadang beberapa karung mangga juga ada, tidak jarang ada ayam yang juga dimasukkan ke dalam angkot. Bisa dibayangkan aroma di dalam angkot. Jujur saja, aroma itu seringkali ditambahi dengan bau yang sangat mengganggu, bau badan yang ikut bercampur menjadi satu. Perjalanan pertamaku di pagi itu dan biasanya di setiap senin pagi menghabiskan waktu satu jam setengah. Sesudah tiba di pasar, selain napas saya cukup lega saya juga semakin senang karena sudah mendekati tujuan saya walaupun harus dua kali lagi berganti angkot. Di angkot kedua yang cukup nyaman (paling tidak tanpau aroma aneh karena rata-rata ditumpangi oleh mahasiswa yang akan berangkat kuliah atau karyawan di kota Kupang)di sinilah saya memikirkan tentang berapa banyak waktu yang saya habiskan untuk berada di atas angkutan kota.

Maklum, setiap hari saya harus menghabiskan minimal beberapa menit untuk menumpang angkutan kota. Senin jam 7-9 pagi, dilanjutkan jam 13.00-13.30; Selasa, jam 20.00-20.30; Rabu, 07.15-7.35; Kamis,20.00-20.30; Jumat (hari paling melelahkan) 07.15-7.35; 14.00-14.20; 17.05-17.20; 20.05-20.25; Sabtu, 08.00-08.20, 13.00-17.00.


Syukurlah, hari minggu aku hormati sebagai hari Tuhan dan hari untuk melayani Tuhan, dan karenanya tidak ada aktivitas bepergian dengan angkot pada hari itu. Maklum, gerejanya dekat. Ini kegiatan transportasi rutin saya, belum ditambah lagi dengan kegiatan lain yang harus dilakukan di luar rumah dan karenanya membutuhkan transportasi. Jika ditotal, ternyata banyak jam yang saya habiskan untuk berada di atas angkutan kota.

Spend too much time? Maybe. But what about it's cost? [MT]

Jumat, 31 Oktober 2008

SELAMAT ULANG TAHUN GMIT




Hari ini 31 Oktober 2008. Terhitung sudah tiga tahun tiga bulan empat hari sudah, saya menyelesaikan studi saya di Sekolah Tinggi Theologia Injili Indonesia (STII) Yogyakarta. Sekolah ini adalah sekolah yang 'interdenominasi.' Artinya, denominasi apa saja bisa studi di sana dan setelah selesai studi, diharapkan kembali ke gerejanya dan menjadi berkat bagi gereja asalnya. Di Gereja Masehi Injili di Timor, STII dan sekolah Ijili lainnya dianggap tidak seasas sehingga tidak bisa melayani sebagai pendeta, kecuali kuliah ulang di Fakultas Theologi yang seasas dengan GMIT. Penyesuaian ini memakan waktu dua tahun minimal. Adapun sekolah yang alumninya diterima untuk divikariskan adalah STT Jakarta, Duta Wacana, Satya Wacana, STT INTIM dan Fak Teologi UKAW.

Oleh karena berbagai kendAla, sampai saat ini saya tidak mengikuti penyesuaian itu. Namun bukan berarti saya harus menyangkali gereja asalku dan mencari gereja lain sebagai tempat saya bernaung. Mungkin kelihatannya saya terlalu sok loyal dengan GMIT. Tapi saya tidak dapat menyangkali itu. Saya memang percaya bahwa gereja secara universal adalah tubuh kristus dengan berbagai denominasi yang ada. Tapi saya juga percaya bahwa gereja lokal penting artinya bagi saya. Karena itu walaupun saya pernah beribadah dan bahkan melayani di banyak gereja yang tidak seasas dengan GMIT misalnya GPdI, Gereja Siloam Injili, Gereja Baptis, namun dalam diri saya tetap merasa bahwa saya adalah anggota GMIT. Maklum, sejak kecil papa saya adalah seorang majelis di GMIT yang membiasakan kami untuk akrab dengan berbagai pelayana di GMIT.

Kini setelah tiga tahun lebih saya tamat dari sekolah teologi, saya masih belum menjadi pendeta, apalagi pendeta GMIT. Tetapi saya tidak mau menjadi pengecut. Pengecut yang hanya demi alasan mendapat jabatan pendeta baru mau melayani di GMIT. Walaupun sampai sekarang saya hanya melayani sebagai pelayan katekesasi di GMIT atas komunikasi dengan pendeta dan majelis jemaat lokal, tetapi saya tetap bangga menjadi warga GMIT.

Karena itu dengan bangga saya mau mengatakan kepada gereja asalku. Selamat Ulangtahun GMIT. Semoga pelayan-pelayanmu tetap loyal dengan Kristus kepala gereja. Semoga saya juga. Amin. [MT]

BHINEKA TUNGGAL IKA




Sore ini seperti biasa aku membuka acaraku "Mozaik Nusantara lagu Jawa" dengan senyuman yang tertahan. Maklum, kondisi tubuhku kurang sehat pasca pemulihan 'pusatku' yang terinfeksi. Mungkin karena pengaruh obat, saya merasa kondisiku kurang fit. Setelah DJ Talk opening, sebentar saya meninggalkan lagu berjalan di raduga sambil sekedar saya minum dan menarik napas sejenak. Oh.. Perutku terasa kosong. Maklum, saat selesai mengajar saya belum sempat makan siang. Sambil telingaku terus memonitor beberapa iklan yang terus jalan, saya mengisi perut dengan makanan yang tersedia di meja makan yang memang disediakan di studio. Siang ini lumayan istimewa karena ada beberapa potong daging yang belum disentuh teman lain. Sambil makan, pikiranku menuntun untuk segera menghabiskan nasi di piring dan masuk karena lagu pasca iklan sudah mulai berjalan.

Ini rutinitas saya setiap hari Jumat. Di studio, kami menyebutnya hari jumat sebagai hari paling melelahkan. Saya juga heran, karena beberapa waktu terakhir ini saya seolah menjadi bukan diriku sendiri. Paling tidak setiap hari Jumat jam 15.00-17.00. Tiba-tiba saya harus berbahasa Jawa di program ini. Beberapa pendengar pernah menelepon dan bertanya, dari Jawa mana asal saya? Mereka bahkan kadang protes karena saat membaca berita, marga saya Tanesib, sering saya sebutkan. Pada akhirnya toh mereka tahu bahwa saya asli Timor. Karena tidak mungkin ada orang Jawa yang bermarga Tanesib.

Hari terakhir di bulan Oktober ini, saya disadarkan oleh seorang penelepon. Ibu Eko dari Jogjakarta yang bersuami Timor dan sudah lama tinggal di Timor. Ketika bercakap-cakap tentang makanan kesenangannya, Apakah Jadah Tempe khas Kaliurang, Ibu Eko menjawab, ia lebih suka menikmati jagung bose makanan khas Timor. Apakah dia suka menggunakan jarig khas Jawa, ia menjawab ia lebih suka mengenakan kain khas timor. Ia justru heran dengan anak-anak muda di Timor sekarang yang selalu dengan busana "bertali satu" datang ke pesta.

Budaya yang diwakili oleh pakaian, makanan, dan bahasa dalam pengalaman hidup saya hari ini membuat saya merenung. Saya seorang Timor dari Bisnaen, sebuah kampung kecil di pertemuan dua sungai kecil di pedalaman Timor. Tapi puji Tuhan, saya sedikit mengenal bahasa dan makanan Jawa. Saya kemudian berpikir, betapa sulitnya memperjuangkan sesuatu yang namanya perbedaan dan menjadikannya satu. Betapa beratnya mereka yang merumuskan "Bhineka Tunggal Ika." Hari ini saya semakin menyadari bahwa perbedaan itu adalah sebuah seni. Untuk memahami orang lain diperlukan pengorbanan.

Semoga Mozaik Jawa ini menolong saya memulai memahami perbedaan sebagai sebuah seni hidup. [MT]

KUAT DALAM KELEMAHAN




Kelemahan sudah menjadi bagian hidup dari semua manusia. Hampir dapat dipastikan bahwa semua makhluk yang bernama manusia pasti pernah mengalami kelemahan. Jika tidak dalam bentuk fisik, kelemahan itu bisa saja datang dalam bentuk emosi, intelek atau rohani. Kekuatan dalam satu segi misalnya dalam hal intelek tidak selalu menjamin ketidaklemahan di sisi lain. Paulus seorang pelayan Tuhan yang luar biasa itu menyebut kelemahan dalam tubuhnya sebagai "duri di dalam daging."

Orang bisa saja menyimpulkan apa yang dimaksud dengan Paulus dengan "duri dalam daging." Misalnya saja dengan mengatakan bahwa duri dalam daging, yang dimaksud Paulus dapat menunjuk masa lalu Paulus. Mengapa masa lalu Paulus menjadi “duri dalam daging” baginya? Firman Tuhan dalam I Timotius 1:13 berkata,”aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihaniNya, karena semuanya itu telah kulakukan tanpa pengetahuan yaitu di luar iman.” Hal ini berkaitan dengan apa yang pernah dilakukan Paulus sebelum bertobat yaitu menganiaya orang Kristen (Kisah 8:1-3). Masa lalu itu begitu menghantui Paulus, sehingga ia merasa bahwa masa lalu itu seperti duri dalam dagingnya.

Ada juga yang mengatakan Duri dalam daging dapat juga berarti masalah kesehatan pada matanya. Ini merupakan tafsiran beberapa teolog yang menyatakan bahwa kesehatan pada mata Paulus yang tidak baik, sehingga sangat menggangu pelayanannya.

Hal lain yang duikatakan orang mengenai Duri dalam daging dapat juga berarti bahwa di dalam pelayanan Paulus, ada orang-orang yang tidak senang terhadap dia. Dan orang-orang ini selalu menentang dan berusaha menjatuhkan Paulus dalam pelayanannya.

Apapun pendapat orang terhadap duri dalam daging sebagaimana kata Paulus, tapi dalam refleksi pribadiku malam ini 30 Oktober 2008 aku merasa bahwa ada "duri dalam dagingku." Duri itu adalah peringatan dari dokter beberapa hari yang lalu bahwa aku kemungkinan harus menjalani operasi. Operasi? Sebenarnya kata itu saja telah membuat aku cukup merinding. Maklum aku sangat trauma dengan beberapa teman yang pernah operasi dan aku sempat menjaga mereka di rumahsakit. Pemicu dari kata dokter sebenarnya adalah pusarku. Orang Jawa menyebutnya "udhel." Betapa kagetnya aku karena di puserku ada rasa sakit dan setelah aku mencoba melihatnya, keluar nanah yang membuat aku sendiri minder dengan aromanya. Tidak terlalu banyak sih... Cuma membuat aku takut. Setelah diperiksa dokter memintaku meminum antibiotik yang diresepi oleh dokter dan kata dokter akan berakibat dioperasi jika dalam tiga hari tidak kering atau sembuh. Membayangkan operasi membuat bulu kudukku merinding meskipun dokter menghiburku dengan mengatakan biusnya adalah bius lokal. Moso gara-gara udhel kok operasi to, dok? Medheni tenan. Syukurlah, aku sekarang merasa sedikit nyaman dengan meminum obat itu. Imanku meyakinkan aku bahwa aku tidak harus dioperasi.

"Duri" ini bukanlah satu-satunya duri yang pernah kualami. Sebelumnya aku punya banyak keluhan dengan masalah kesehatan. Misalnya dengan masalah flu berkepanjangan, masalah sariawan yang muncul dua minggu sekali dan kondisi fisik yang rawan de el el de el el. Tetapi aku tetap melayani. Setiap pagi jam 05.00 pagi aku sudah harus mulai bercuap-cup di depan mikrofon radio, jam 08.00 sudah harus berada dengan sejumlah materi yang harus disajikan di depan mahasiswaku sampai jam 2 siang. Sesudah itu dalam kondisi kelelahan aku pulang, mempersiapkan makan siangku sendiri, beristirahat dan jam 7 malam aku sudah harus kembali ada di studio untuk bersiap-siap bercuap di mikrofon radio sampai jam 12 malam. Setiap sabtu, aku harus menempuh perjalanan berkilo-kilo dengan berganti tiga kali angkutan umum untuk menjangkau orang-orang yang harus kulayani di desa. Semua kulakukan untuk Tuhan karena program yang aku asuh di radio juga adalah program rohani. Bersama dengan Paulus, malam ini aku berkata ada 'duri dalam dagingku.'

Aku pernah bertanya kepada Tuhan, mengapa hal ini musti terjadi denganku? Kenapa masih ada kelemahan fisik yang aku alami. Aku khan sudah melayani Tuhan. Kenapa aku tidak diberi kesehatan terus. Tapi pertanyaan bodohku ini dijawab:


Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ”Cukuplah kasih karuniaKu bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasaKu menjadi sempurna."
[MT]

Kamis, 23 Oktober 2008

Ibadah di 'Pak Laru'



Melayani Tuhan memang memerlukan strategi. Kadangkala strategi-startegi itu ada di luar pelajaran yang pernah didapat di bangu kuliah. Jika mau menghitung, saya menghabiskan waktu delapan tahun untuk belajar melayani Tuhan. Delapan tahun dimaksud bukan untuk dua strata, tetapi hanya S1. Delapan tahun hanya untuk mendapat s1? Iya. Ini fakta dan mungkin jarang terjadi. Saya pernah mendengar cerita bahwa ada orang yang bahkan sampai tahun ke-13 hanya untuk menyelesaikan studi sarjananya. Mengenai ini, saya tidak perlu berbangga karena lebih awal enam tahun sebelum ke-13.

Sebenarnya syarat lulus Sarjana bagi seorang yang kuliah di Theologia ada tiga. Kemampuan akademis harus mumpuni, ketelatenan melayani harus teruji, dan pembuktian tentag kehidupan moral harus terasah. Dalam enam tahun dan berpindah dari Doulus ke STII sebagaimana kisahku di bagian lain blog ini, aku bersyukur karena kemampuan akademisku dianggap lumayan. Kesan ini saya dapat dari beberapa orang dosen dan teman sekelasku. Kemuliaan bagi Tuhan untuk itu. Mengenai masalah kelakuan dan tindakan, aku bersyukur aku belajar untuk mendisiplin diri dan puji Tuhan bisa mendapat penilaian yang cukup dari pihak sekolah. Tentu saja penilaian ini tidak sempurna. Menurut saya yang berhak menilaikita layak adalah Tuhan. Syukurlah, standar minimal sekolahku untuk moral aku bisa lewati. Aku juga bersyukur karena standar minimal ketrampilan pelayanan dapat aku lewati di sebuah desa di pinggiran Jogjakarta. Dari sana manfaat gandanya dapat saya nikmati sekarang dengan mengerti bahasa Jawa. Minimal "ngoko."

Mengasah diri dalam ketrampilan pelayanan masih terus saya lakukan. Maklumlah, konteks studi lapangan di Jawa berbeda dengan konteks pelayanan saya sekarang di GMIT di tengah-tengah orang suku Sabu dan Rote. Malamminggu yang lalu, aku mendapat sebuah ilmu ketrampilan melayani dari seorang muda gereja. Pemuda ini bernama Yap. Sejak beberapa tahun lalu ia dipercaya sebagai pemimpin umat di rayonnya. Walaupun Ia masih muda, ia diminta melayani sebagai penatua. Dalam perjalanan kami menuju sebuah rumah du kampung sebelah, dia bercerita tentang pengalamannya melayani. Ceritanya begini. Suatu hari ia mendapat kesempatan memimpin ibadah rumahtangga di sebuah rumah yang sekaligus dipakai sebagai tempat menjual minuman keras. Orang Kupang menyebutnya "Pak Laru." Setelah mempersiapkan diri, ia datang dengan membawa Alkitab dan buku nyanyian Kidung Jemaat. Setibanya di rumah itu, lampu kebetulan sedang padam. Oleh tuan rumah dia dipersilakan masuk dan duduk. Sampai beberapa menit lampu itu juga tidak kunjung menyala lagi. Tumben, rumah itu sepi, pikirnya. Karena biasanya tempat itu ramai dikunjungi penjaja minuman keras yang bernama laru. Dia masih terus menunggu dan menunggu, kapan kira-kira aggota jemaat yang lain akan datang untuk memulai ibadah. Ditengah-tengah menunggu, tiba-tiba suara ramai-ramai orang dari kejauhan terdengar. Ternyata mereka adalah orang-orang yang ingin minum malam itu. Sebagian mereka tidak berbaju alias bertelanjang dada. Mereka mungkin tidak tahu kalau malam itu jadwal ibadah di rumah itu. Mereka juga adalah anggota jemaat di gereja. Dengan santai mereka masuk dan meminta minum. Betapa kagetnya saat mereka duduk, sementara suasana ruangan gelap, mereka melihat Alkitab di meja dan pelayan juga sudah siap untuk memimpin ibadah. Dengn malu-malu mereka mulai duduk. Dan karena pemilik rumah adalah simpatisan sebuah partai yang memiliki banyak kaos partai, maka kaos itu dibagikan kepada para pengunjung pak laru yang kecele itu. Ibadahpun segera dimulai dengan peserta yang kebanyakan berseragam partai.

Ini ibadah yang jemaatnya kecele, ketakutan dan berpakaian partai. Ini ibadah atau kampanye?

Tapi saya bersyukur dan bangga dengan strategi pemuda ini. Syukurlah, malam itu aku mendapat ilmu baru. Ilmu itu adalah ilmu ibadah di Pak Laru. Sabar, tunggu mereka datang, berimereka pakaian yang sopan dan sesudah itu ajak mereka berdoa. [MT]

Jumat, 10 Oktober 2008

Jalan pikiranku dan Arahan TUHAN


Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya. (Amsal 16:9)

Pemikiran tentang jalan hidup adalah pekerjaan setiap manusia. Terutama mereka yang sudah lulus kuliah dan mulai menapaki pekerjaan. Apalagi mereka yang sudah memasuki usia dewasa. Seorang temanku pernah secara terbuka jujur bahwa dia kebingungan dengan usianya yang sudah hampir kepala empat dan dia belum berkeluarga. Sama dengan temanku, semua orang pasti memikirkn tentang jalan hidup, walaupun tidak semata-mata berhubungan dengan menikah dan berkeluarga. Bagi orang-orang yang belum memiliki pekerjaan yang "mapan," memikirkan jalan hidup karier adalah sesuatu yang normal. Apalagi jika diperhadapkan dengan beberapa pilihan yang masing-masing pilihan belum tentu pasti.

Peristiwa memikirkan jalan hidup pernah juga menjadi bagian hidupku. Saat itu aku masih duduk di tingkat tiga di bangku kuliah. Ketika masalah pelayanan menimpaku, aku berpikir apakah aku akan menyelesaikan studiku dengan baik dan akan berhasil diwisuda. Saat itu tidak ada pikiran apapun yang jelas tentang jalan hidupku. Memasuki tahun kelima dan keenam studiku (seharusnya hanya empat tahun), aku kembali berpikir dalam kebingunganku, apakah aku akan diwisuda? Menjelang aku diwisuda, aku bertanya lagi, apakah pelayanan panti, kampus, sekolah atau gereja yang menjadi pilihanku? Banyak pikiran tentang jalan hidup yang terpikirkan.

Tapi hari ini aku melihat bahwa jalan yang aku pikirkan berbeda dengan cara Tuhan menuntunku. Dalam masa "kritisku" aku justru melihan arahan Tuhan. Aku dapat memiliki sebuah ketrampilan yang tidak kusangka hari ini berguna bagiku. Dulu saat aku berada dalam peristiwa itu, aku tidak menyadarinya. Hampir-hampir aku putus asa. Tapi aku terus berjalan dan maju, dan sekarang aku sadari, arahan Tuhan memang di luar dugaanku.

Trimakasih Tuhan, engkau mengarahkan aku dan memberi aku kekuatan untuk terus melihat jalan-Mu semakin jelas. [MT]

Kamis, 09 Oktober 2008

Hikmat di Jalanan


Mencari hikmat. Mungkin kata-kata ini terlalu abstrak untuk dipahami. Pertanyaannya adalah, di mana hikmat harus dicari? Mungkin ada yang berkata, dengan menyelesaikan S1,S2 dan S3, seseorang telah memperoleh hikmat. Aku ingat temanku namanya pak Yanto dan Pak Iwan Tarigan. Dua-duanya adalah mahasiswa Pasca Sarjana yang tinggal seasrama dengan kami mahasiswa S1. Mereka sering bersendagurau. Salah satu candaan mereka adalah, "masa orang S2 pikirannya kayak SD?" Kamipun beramai-ramai tertawa. Dari candaan ini, sesuatu yang menarik dapat dipetik, hikmat tidak bisa hanya diperoleh dengan gelar yang dimiliki. Trus dimana hikmat dapat ditemukan?

Hikmat berseru kepada kita di manapun dan kapanpun. Bahkan dari tempat yang kita tidak duga-duga. Kitab Amsal menyebutkan bahwa hikmat berseru di jalan-jalan, di lapangan-lapangan, di atas-atas tembok (Ams. 1:20-21). Tafsiran apapun mungkin akan diberikan terhadap jalan, lapangan atau tembok. Tapi bagiku, penulis kitab Amsal ingin mengatakan bahwa dari tempat manapun, seseorang dapat memperoleh hikmat. Bahkan di tempat-tempat yang tidak dapat disangka ada hikmat yang dapat dipelajari di sana. Di desa yang terpencil, di bawah sinar lampu minyak tanah, di rumah gubuk yang ada di tepian sungai, bahkan di kampus juga aku belajar mengenal hikmat. Hikmat ada di tengah-tengah jemaat Rote dan Sabu di Pariti, di mahasiswa STII tingkat satu (aku banyak belajar dari mereka) dan bahkan anak-anak sekolah mingguku. Tolong aku Tuhan untuk terus melihat hikmat yang bersembunyi di mana-mana, tetapi juga yang dengan suara nyaring berseru kepadaku. Dimanapun dan kapanpun ajar aku belajar menemukan hikmat yang Kau selipkan bagiku agar aku tidak lalim suatu saat nanti. [MT]