Sabtu, 06 Desember 2008

“MANTAN DOULOS”


(Tulisan ini adalah salah satu tulisan yang saya posting di blog lama. Sebelum blog itu saya hapus, tulisan itu saya pindah ke sini.

Awalnya aku ingin kuliah di STT Doulos. Keinginan ini juga oleh karena dorongan dari Omku. Sebut saja Marthen Banfatin, Om yang menyayangi aku. Satu-satunya saudara laki-laki mamaku. Tuhan tidak memberi mereka anak, tetapi Tuhan memberi kami seorang Om yang luar biasa yang dapat memahami kami. Puji Tuhan. Suatu hari beliau meminta, kalau kamu ingin kuliah ke Jawa, saya dukung, katanya. Akupun memutuskan untuk ikut perekrutan STT Doulos ke Jakarta. Pikirku, STT Doulos akan sama dengan STT yang lain yang mencetak para pendeta di GMIT, gereja asalku. Setelah keputusanku bulat, aku diantar dengan air mata di pelabuhan Tenau kupang dan berangkatlah aku ke Jakarta. Membayangkan Jakarta dan kampus yang megah, akupun berangkat.
Beberapa hari berlayar, tibalah di Jakarta. Jujur, aku belum pernah membayangkan kota besar. Jangankan Jakarta. Aku bahkan belum pernah menginjakan kaki di kota propinsi kami yang bernama Kupang. Setiba di Tanjung priok, kami dijemput dengan mobil khusu dan diantar ke Cipayung, Jkarta Timur. Langsung hilang bayanganku tentang kuliah di tempat yang nyaman setelah aku melihat dengan mataku sendiri kampus STII Jakarta. Sampai di sana kami dibagi dalam dua rombongan. Sebagian tinggal di Jkaarta dan kami harus melanjutkan perjalanan ke Bandung. Keindahan pemandangan d Jalanan menuju Bandung sejenak membuat aku lupa akan tujuan utamaku kuliah. Sekitar Jam 11 malam, tibalah kami di satu desa yang sunyi dan gelap. Pada akhirnya aku tahu desa itu bernama Langensari dan kampung tempat kami dibawa bernama Cikidang di kecamatan Lembang, Bandung. Astaga, kami tidur malam itu di ruangan yang bau kotoran ayamnya masih menyengat hidung. Aku tidak tahu persis kalau itu kampus yang dimaksud. Maklum, kami tiba pada malam hari. Besoknya, betapa kagetnya diriku, kami ternyata berada di desa yang terpencil. Sepanjang mata memandang hanya ada gunung dan hutan. Astaga, aku baru sadar, keinginanku untuk melihat kampus yang mewah sirna. Aku tidak bisa pulang karena kemana aku harus pergi, akupun bingung.
Proses perkuliahan berjalan dan aku sadar bahwa ada banyak masukan dan ilmu yang kudapat dari para pengajar. Tetapi banyak keganjilan dalam hal manajemen membuatku bertanya-tanya tentang kejelasan masa depanku menjadi pendeta GMIT. Mungkinkah aku akan menjadi pendeta di GMIT? aH.. aku berusaha menjauhkan pikiran itu. Tapi kembali aku dihantui karena setiap alumni diminta hanya untuk melayani sebagai penginjil dan bahkan melayani di panti rehabilitasi. Aku semakin sadar bahwa keinginanku menjadi pendeta GMIT akan tidak tercapai.
Di tengah kebingunganku itu, STT Doulos kemudian diminta untuk tutup. Beritanya aku baca sendiri keluar di Koran Pikiran Rakyat. Aku kemudian semakin kuatir dengan masa depanku. Dari Bandung, kami dipindahkan ke Jakarta dan dari Jakarta, kami akan dipindah lagi. Aku memutuskan untuk pindah ke STII Jogja walaupun saat aku pamit, aku tidak direstui, bahkan nyaris dipermalukan. Tapi aku bersyukur pada Tuhan aku dapat pembekalan dan mengenal Yesus di sana. Aku kemudian hengkang ke STII Jogja yang membentukku sampai menjadi yang sekarang, walaupun belum tidak menjadi pendeta, aku enjoy melayani sukarela di GMIT. Demi pekerjaan dan kecintaanku pada Tuhan

Tidak ada komentar: