Selasa, 18 November 2008

KETIKA RODA TIMBA RUSAK DI ATAS SUMUR



Ya, ingatlah akan Penciptamu selagi engkau muda, sebelum rantai perak (kehidupan) putus, dan mangkuk emas pecah, dan tempayan hancur pada mata air, dan roda timba rusak di atas sumur; (FAYH. Pkh. 12:6)

Ayat Alkitab ini langsung muncul di pikiran saya hari ini. Semalam saat saya siap-siap tidur, saya mendapat SMS dari seorang teman bahwa anak dari Pak Radja seorang teman sekaligus orangtua kami meninggal.Seakan tidak percaya, saya mencoba menghubungi beberapa orang teman pengajar dan menanyakan informasi yang sebenarnya. Sebagian mereka tidak tahu. Tetapi kepastian datang dari salah seorang senior yang menyebutkan betul, Cici (nama anak yang meninggal) telah berpulang karena diduga jantungan karena mennyaksikan tawuran di kampus Undana Kupang.

Cici, lengkapnya Cicilia adalah tipe anak periang. Itu sepintas yang saya ketahui. Baru saja beberapa bulan lalu kami bertamu ke rumah pak Radja dan sambil menyaksikan sinetron Indonesia di salah satu statiun TV swasta ia banyak berkomentar. Tapi disela-sela itu ia mempersilakan kami makan dan dengan rendah hati mengambilkan tissue untuk kami dan menyalakan kipas angin di tengah suhu udara kupang yang sangat panas waktu itu. Cici yang periang itu siang itu, ketika kami melayat terbaring kaku dengan pakaian putih panjang membalut jasadnya. Dia tidak bernyawa lagi. Setelah memberi salam pada ibunya yang kelihatan lemas di samping jasad ini, kami duduk. Pak Radja, ayah Cici tidak ada di tempat. Dia sedang mengurus peti untuk jasad Cici. Setelah kami menyalami ibunya, kami duduk di ruang dalam rumah keluarga itu. Sementara suara ibunya masih terus terdengar meriwayatkan tentang anaknya dalam tangisannya. Sesekali saya sengaja melihat ke plafon rumah hanya sekedar menahan air mata saya membayangkan tentang kesedihan yang dalam dari ibu Erika (mama Cici). Mata saya juga mengarah ke sudut ruangan di dekat bagian kepala, kakak lelaki Cici duduk dan memandang dalam-dalam wajah adiknya yang terbaring kaku. Pikiranku langsung tertuju kepada kedua adikku Elfi dan Erni yang kuliah jauh di Jogja. Adik-adik yang karena mereka aku berjuang untuk bisa mendapatkan sepeser untuk mengirimkan kepada mereka uang makan, sekalipun sering kurang. Oh.. Tuhan, kesedihan saya semakin mendalam karena membayangkan betapa dalamnya kesedihan seorang saudara laki terhadap adiknya. Dalam hatiku aku berpikir, "semoga keluarga duka dikuatkan."

Lamunan saya dikagetkan dengan tangisan yang bertambah karena beberapa pendeta masuk. Pendeta Tera Klaping dan Pendeta Hede serta istrinya memberi salam kepada keluarga duka. Setelah berjabatan tangan dengan keluarga duka, pandangan mata pak pendeta mengarah ke bagian dalam dan saya menganggu memberi salam dan teguran dengan isyarat kepada Pak Pendeta Klaping. Beberapa saat kami keluar dan duduk di halaman di tenda duka. Kami berkumpul dengan beberapa teman pengajar dan pendeta dan bercerita saat papa almarhum datang dan menyalami kami. Setelah itu kami masih duduk beberapa menit.
Beberapa orang melayat, tampak rombongan profesor dari Undana dipimpin Pembantu Rektor datang melayat. Teman-teman saya S2 juga berdatangan. Kami kemudian bercerita tentang nasib kuliah kami yang sampai sekarang belum juga rampung. Padahal proposal thesis kami sudah dimasukkan. Beberapa saat kemudian, mobil yang menjemput kami datang dan sayapun pulang dengan mahasiswa ke kampus sederhana kami di Fatufeto.

Dalam perjalanan pulang, beberapa mahasiswa ramai di belakang dengan obrolan mereka. Tetapi pikiran saya melayang kepada apa kata pengkhotbah. Kata-kata yang menarik bagi saya adalah "roda timba rusak di atas sumur." Saya kemudian tersentak dan memikirkan lagi tentang hidup. Ya. Sebelum roda timba rusak di atas sumur, saya harus berjuang. Berjuang demi hidup. Berjuang demi masa depan. Berjuang demi adik-adik saya. Berjuang sampai waktunya tiba.

Hari ini, kata-kata pengkhotbah betul-betul saya rasakan maknanya. Trimakasih Tuhan untuk kebenaran-Mu yang menjiwai saya hari ini. [MT]

Tidak ada komentar: