Rabu, 05 November 2008

PAK DAN IBU CHRIS YANG KU KENAL



Ini kisah tentang seorang anak desa. Ia lahir dan dibesarkan di sebuah pulau yang tidak ada di peta Indonesia. Ia merantau ke Jawa, dibesarkan dengan terpaan kerasnya hidup, tetapi yang berhasil sukses dalam studi Doktornya di Amerika. Ia lahir di pulau yang tidak ada dalam peta Indonesia tapi ia memiliki pemikiran besar untuk Indonesia.

Saya tidak mengenal pria ini sebelumnya sebelum tahun 1999. Waktu itu ada brosur yang sampai ke tangan saya, sementara saya masih berada di sekolah teologi lain yang bukan berada di bawah asuhannya. Ketika pertama kali membaca nama Chris Marantika dalam brosur itu, keinginan saya semakin kuat untuk kuliah di sekolahnya. Sekolah Tinggi Theologia Injili Indonesia (STII) Yogyakarta. Hari-hari pertama kuliah di STIIpun saya belum mengerti dengan jelas siapa beliau. Sampai akhirnya suatu saat Beliau berkhotbah di Kapel STII dan kesan pertamaku adalah, "Pak Chris Luar Biasa." Suaranya yang menggetarkan kalbu, pembawaannya, dan ekspresinya yang menggugah pendengar dengan tatapan matanya yang tajam menerobos kacamata tebalnya menuntun untuk mengatakan, "Yes pak Chris, I'm your Vision follower." Beberapa kali saya mendengar beliau berkhotbah dan Puji Tuhan saya mengikuti kelas Manajemen Kepemimpinan yang diasuh beliau dan Eksposisi Wahyu. Banyak hal praktis yang diajarkan di sana selain materi yang diajarkannya. Dan hal-hal praktis itu berasal dari hidupnya.

Sekarang, walaupun mengalami banyak pergumulan setelah lulus dari STII dan membantu melayani di STII Kupang, namun ungkapan, "mundur selangkah maju dua langkah, dek" yang khas dari Pak Chris masih terpatri. Walaupun Juli 2008 yang lalu beliau sudah kelihatan lelah karena sakit yang dialaminya, namun semangatnya masih membara. Bahkan cerita unik dari sakitnya Dr. Chris Marantika adalah pada saat sakitnya sudah parah, ia sendiri menyetir dan masuk ke UGD untuk berobat.

Semangat lain saya dapat dari istri Beliau. Dr. Saria Marantika. Saat sebelum menyelesaikan skripsi saya dan menyelesaikan pelayanan saya, beliau datang ke desa tempat saya melayani dan masuk di rumah orang-orang desa, memeluk 'Mbok Karjo' yang baru pulang dari kebun dan menciumnya, membersihkan lantai desa yang kotor dengan menyeka sisa makanan yang jatuh dari meja dengan tissue, bahkan berjalan kaki mengunjungi beberapa jemaat desa di Belang, Terbah, Patuk Gunung Kidul. Saat kami keringatan sesudah berjalan kaki jauh, beliau menyuruh kami untuk bersiul-siul kecil. Konon kata bu Chris, angin akan segera berhembus. Bu Chris juga pernah mengajariku secara tidak langsung tentang kesabaran. Saat kami antri akan menghadap dosen pembimbing, Beliau yang adalah pimpinan, dan bahkan pemilik kampus itu ikut antri dengan kami untuk menghadap Pak Noor yang notabene adalah anak didiknya. Sambil antri beliau berseloroh. Kita harus mempraktekan filsafat "gareng-Petruk." Sabar Subur, ora sabar mlebu kubur utowo dhadi bubur. Mudah-mudahan tidak salah ejaanya. Sabar menanti sama dengan subur. Tidak sabar akan masuk kubur atau jadi bubur. Kesehatan Ibu Chris saat terakhir saya bicara dengan beliau pada makan siang rapat pimpinan STII Nasional di Jogjakarta sudah tidak sesehat dulu. Tapi semangatnya masih tetap semangat Ibu Chris dulu saat ke Gunung Kidul


Semoga saja api pak Chris tidak padam dan dipadamkan.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Bung..Anda salah mengenal Sdr pendeta Christ Marantika,beliau pemimpin Kristen yg tidak bisa diteladani, porno, umur sudah uzur,stroke,masih doyan perempuan,sampaikan ke Pak Christ ,masak ama orang dekatnya mau diajak tidur di kamarnya, org ini sukanya menginap di Hotel Quality Yogyakarta,padahal punya rumah di Yogyakarta, kesempatan ini selama ini dipakai untuk mengumbar hawa nafsunya, kasihan istrinya yang menderita sampai stroke duluan, orang ini bangsat , menodai agama Kristen, apa setiap perempuannya di organisasinya untuk bisa memunculkan ide baru harus tidur tidupran dengannya? Wah..berita ini sebaiknya Bung beritahu ke pengurus wanita,jgn2 yg bujang bujang sudah menjadi korbannya di sekolah tinggi teologi!!!

Anonim mengatakan...

Pak. anda tidak punya cukup fakta untuk menuduh Dr. Chris Marantika dengan tuduhan-tuduhan demikian. trimakasih.