Jumat, 14 November 2008

NAFIRI WARISAN



Gambar di samping ini adalah gambar tanduk rusa. Bahan dasar nafiri ala Timor. Benda ini memang asing bagi sebagian orang. Tetapi di tempat kelahiran saya di pedalaman Timor, nafiri bukanlah benda yang asing lagi. Di Mollo Utara, Timor Tengah Selatan, nafiri sangat berguna bagi pelaksanaan suatu ibadah rumah tangga. Bunyi nafiri akan menuntun orang untuk beribadah. Bunyi nafiri akan memiliki arti lain jika itu dibunyikan di luar hari-hari tertentu yang biasanya ditetapkan untuk ibadah rumah tangga. Bunyi nafiri di hari-hari lain menunjukkan bahwa ada orang yang meninggal. Nafiri di sini berfungsi mengumpulkan banyak orang. Benda yang di kampung halaman saya terbuat dari tanduk kerbau, di Kupang Barat, satu tempat yang pernah saya layani juga menggunakan kerang sebagai nafiri dengan fungsi sama untuk memanggil orang beribadah rumahtangga. Saya pernah membaca sebuah tulisan yang menyebutkan bahwa dalam ketentaraan pada saat penulisan Alkitab, nafiri digunakan untuk memberikan perintah kepada tentara. Nafiri itu bisa mengeluarkan bermacam-macam bunyi, dan setiap bunyi mempunyai arti tertentu. Kalau nafiri itu ternyata tidak bisa memberikan bunyi-bunyi seperti itu, sekalipun sebetulnya berita yang disampaikan itu penting (misalnya: ada musuh menyerang!), maka nafiri itu sama sekali tak berguna.

Sudah lazim, di desa tempat saya di lahirkan di Ajaobaki, pedalaman Timor, bunyi nafiri selalu akan dikaitkan dengan ibadah rumahtangga. Menjadi orang yang dipercayakan memegang nafiri dan menuipnya setiap beribadah menjadi sebuah kebanggan seseorang karena ia dipercaya melakukan pekerjaan kerajaan Sorga. Paling tidak itu yang aku tahu dari tradisi di kampung halamnku di pedalaman pulau Timor.

Selama bertahun-tahun sejak kami kecil, papa saya dipercaya menjadi majelis oleh gereja. Tugas pelayanan dilaksanakannya. Ia seringkali meniup nafiri untuk memanggil orang-orang berkumpul untuk melakukan ibadah-ibadah rumahtangga. Kadang saya juga hadir di dalam ibadah saya dan kadang saya mencoba meniup nafiri, tapi tidak berhasil. Meniup nafiri memerlukan kekuatan nafas yang tertampung dalam rongga mulut. Selain itu, bagian bawah telinga kadang sakit karena tiupan itu.

Meniup nafiri, pernah menyimpannya di rumah karena meminjam pernah dilakukan oleh papa saya bahkan saya pernah mencobanya saat kecil dulu; tetapi memiliki nafiri sendiri belum pernah dimiliki oleh papa saya sebagai pelayan Tuhan (penatua). Suatu hari, ada giliran memimpin ibadah di rumah seorang kakek. Istri dari kakek ini adalah kakak kandung nenek saya dari ibu. Kakek ini sudah tidak mampu berjalan jauh. Matanya sudah tidak dapat melihat. Namun mendengar papa saya datang, kakek yang pernah melayani Tuhan dengan tindakan yang sama untuk memanggil jemaat beribadah ini bangun. Menurut cerita papa saya dulu, dengan suara yang lantang kakek ini (kami memanggilnya Ba'i Banfatin) menyuruh papa saya masuk. Setelah masuk, ia mengambil nafiri kebanggaannya dan menyerahkannya kepada Papa saya sambil berpesan agar papa saya melanjutkan tanggungjawabnya memegang nafiri ini. Kalau aku tidak salah ingat, ia pernah berkata "Ini adalah nafiri milikku, aku serahkan kepadamu, sekarang setelah nafiri ini ada di tanganmu, kamu harus melanjutkan tugas pemberitaan Injil ini." Isyarat ini membuat papaku yakin bahwa dia harus terus melayani Tuhan karena sekarang nafiri itu telah menjadi miliknya. Setelah nafiri itu diserahkan, papa tetap melanjutkan tugas sebagai majelis. Beberapa tahun setelah jabatan tertinggi pelayaana majelis (penaggungjawab gereja) diemban, papa kemudian berhenti. Tetapi tidak lama sesudah itu saya lulus sarjana Theologia. Mungkin ini isyarat juga bahwa tugas ini harus saya lanjutkan. Tetapi setelah saya lulus, pulang dan melayani di Kupang walaupun tidak sebagai pendeta, beberapa tahun kemudian, papa dilantik kembali menjadi majelis.

Kini saya rasa papa cukup bangga dan menikmati pelayanannya sebagai majelis. Sya juga bahagia ternyata mendapat "cipratan" pemegangan nafiri itu. Saya walaupun tidak sebagai pendeta namun tugas mengajarkan Injil dan memberitakannya kepada orang lain masih terus saya lakukan hingga saat ini.

Tuhan, kuatkan kami untuk tetap memegang nafiri ini dalam keluarga kami. Sekarang saya tidak menganggap nafiri tanduk rusa itu sebagai jimat atau keramat, tapi saya senang, kebanyakan dari anggota keluarga kami adlaah pelayan dan setia dalam satu pekerjaan untuk kemuliaan Tuhan. Papaku majelis dan tua-tua jemaat. Mamaku anggota persekutuan do'a. Saya anak pertamanya tamat studi dari STII Yogyakarta dengan gelar S.Th. Sekarang melayani di STII Kupang sebagai pengajar dan pembawa program rohani di Radio Suara Kupang. Adiku bernama Elfi dan Erni yang sementara kuliah di UKRIM Yogyakarta setia menjadi tim Altar gereja di salah satu gereja desa di pinggiran Prambanan,Jogja . Inche adikku yang terakhir manjadi anggota Vocal Group Gereja. Wellem adikku di Surabaya pernah bekerja di rumah ret-reat di Malang. Puji Tuhan. Majelis gereja di kampung halamanku juga didominasi oleh saudara-saudara Papaku. Tuhan, kuatkan kami dalam ladang-Mu. [MT]

Tidak ada komentar: