Jumat, 31 Oktober 2008

BHINEKA TUNGGAL IKA




Sore ini seperti biasa aku membuka acaraku "Mozaik Nusantara lagu Jawa" dengan senyuman yang tertahan. Maklum, kondisi tubuhku kurang sehat pasca pemulihan 'pusatku' yang terinfeksi. Mungkin karena pengaruh obat, saya merasa kondisiku kurang fit. Setelah DJ Talk opening, sebentar saya meninggalkan lagu berjalan di raduga sambil sekedar saya minum dan menarik napas sejenak. Oh.. Perutku terasa kosong. Maklum, saat selesai mengajar saya belum sempat makan siang. Sambil telingaku terus memonitor beberapa iklan yang terus jalan, saya mengisi perut dengan makanan yang tersedia di meja makan yang memang disediakan di studio. Siang ini lumayan istimewa karena ada beberapa potong daging yang belum disentuh teman lain. Sambil makan, pikiranku menuntun untuk segera menghabiskan nasi di piring dan masuk karena lagu pasca iklan sudah mulai berjalan.

Ini rutinitas saya setiap hari Jumat. Di studio, kami menyebutnya hari jumat sebagai hari paling melelahkan. Saya juga heran, karena beberapa waktu terakhir ini saya seolah menjadi bukan diriku sendiri. Paling tidak setiap hari Jumat jam 15.00-17.00. Tiba-tiba saya harus berbahasa Jawa di program ini. Beberapa pendengar pernah menelepon dan bertanya, dari Jawa mana asal saya? Mereka bahkan kadang protes karena saat membaca berita, marga saya Tanesib, sering saya sebutkan. Pada akhirnya toh mereka tahu bahwa saya asli Timor. Karena tidak mungkin ada orang Jawa yang bermarga Tanesib.

Hari terakhir di bulan Oktober ini, saya disadarkan oleh seorang penelepon. Ibu Eko dari Jogjakarta yang bersuami Timor dan sudah lama tinggal di Timor. Ketika bercakap-cakap tentang makanan kesenangannya, Apakah Jadah Tempe khas Kaliurang, Ibu Eko menjawab, ia lebih suka menikmati jagung bose makanan khas Timor. Apakah dia suka menggunakan jarig khas Jawa, ia menjawab ia lebih suka mengenakan kain khas timor. Ia justru heran dengan anak-anak muda di Timor sekarang yang selalu dengan busana "bertali satu" datang ke pesta.

Budaya yang diwakili oleh pakaian, makanan, dan bahasa dalam pengalaman hidup saya hari ini membuat saya merenung. Saya seorang Timor dari Bisnaen, sebuah kampung kecil di pertemuan dua sungai kecil di pedalaman Timor. Tapi puji Tuhan, saya sedikit mengenal bahasa dan makanan Jawa. Saya kemudian berpikir, betapa sulitnya memperjuangkan sesuatu yang namanya perbedaan dan menjadikannya satu. Betapa beratnya mereka yang merumuskan "Bhineka Tunggal Ika." Hari ini saya semakin menyadari bahwa perbedaan itu adalah sebuah seni. Untuk memahami orang lain diperlukan pengorbanan.

Semoga Mozaik Jawa ini menolong saya memulai memahami perbedaan sebagai sebuah seni hidup. [MT]

Tidak ada komentar: