Sabtu, 04 Oktober 2008

WONG TIMOR NJAWANI?


Aku lahir dan besar di pedalaman pulau Timor. Tepatnya di sebuah kampung tradisonal bernama Bisnaen, Desa Ajaobaki, Kec. Mollo Utara, TTS, NTT. Menjangkau kampung tempat aku dilahirkan dari Kupang berjarak 132 Km. Sesudah turun dari alat transportasi modern, kita harus menuruni jalan setapak sekitar dua kilometer, menyusuri sungai dan baru kemudian tiba. Bisa disebut aku produk asli Timor dan tidak akan bermimpi disentuh oleh teknologi dan budaya lain. Boleh juga disebut sebagai tradisonal. Tapi sejak berangkat ke Jawa untuk studiku, apalagi sejak tinggal di Jogja sejak 1999 aku mulai bersosialisasi dengan orang dari suku yang menurutku kebiasaannya sangat beda dengan sukuku. Suku itu adalah Jawa. Aku kemudian mulai belajar cara hidup mereka, maklum aku tinggal di pinggiran pada awal-awalnya. Syukurlah, aku dapat belajar banyak hal dari tempat-tempat yang aku sambangi. Adapun tempat-tempat yang pernah aku sambangi adalah Dukuh Krajan, Desa Dlingo, Mojosongo, Boyolali. Di sana aku mengabdi bersama seniorku Pdt. Edizon Dakkabesi di sebuah jemaat kecil. Aku tinggal di rumah masyarakat di sana. Nama yang layak disebut adalah Keluarga Winoto. Komunikasi mereka sehari-hari menggunakan bahasa Jawa. Syukurlah, Mas Mul anaknya menjadi teman yang baik selama aku tinggal bersama mereka.

Aku juga pernah tinggal di dukuh Mutihan di sebelah selatan kantor Kecamatan Kalasan. Di sana aku hidup seperti orang dusun Jawa pada umumnya. Aku menginap di rumah keluarga Asmodimedjo. Masakan tradisonal Jawa hasil masakan Mbah Asmo putri adalah menu andalan kami setiap hari. Dalam tahun-tahun kesulitanku menyelesaikan skripsi, keluarga Pak Sugianto dan Ibu Handayani di Cupuwatu II Kalasan menjadi tempat aku bernanung. (Bagian ini aku tuliskan saat Once Dewa menyanyi di Radio yang sedang aku dengar, .....manusia bisa mengambil hikmah.....). Memang aku pernah tinggal di sebuah kampung bernama Nambangan bersama sebuah keluarga Manado, tapi pergaulannya sangat Jawa. Disinilah aku kenal dengan Mbah Roto, yang cucu perempuanya pernah "singgah di hatiku" selama lima tahun terakhir.

Tempat yang paling lama aku sambangi dan tinggal di sana adalah Dukuh Belang, Terbah, Patuk, Gunung Kidul. Keluarga-keluarga di sana yang 'menghidupkan' bahasa Jawaku adalah Mbok Karjo, Pak Karjo Suwito. Bahkan Mbok Karjo sudah kuanggap mbokku dewe. Selain itu keluarga Pak Panut, Pak Mulyono dan Pak Yatno juga Yanto Ragil adalah yang mengambil bagian di dalam menumbuhkan dan membesarkan bahasa Jawaku. Tidak lupa juga aku sebutkan, nama seorang kakek yang ibadah pemakamannya didaulatkan kepadaku. Almarhum Mbah Sumo. Pergaulanku dengan muda-mudi 'mBelang' membuatku semakin enjoy bahasa Jawa. Mas Sugeng Susilo, Mbak Roy, Mbak Pur, Mas Kris dan Mas Gunarso. Juga anak-anak kecil yang aku bimbing "memaksaku" untuk mau tidak mau berbahasa Jawa. Perkenalanku terhadap keluarga-keluarga ini atas jasa Panjenenganipun Pendeta Peter Suryadi, S.Th. Memang harus kuakui, selama bersama mereka, komunikasiku adalah Bahasa Jawa ala wong Kupang. Tapi syukurlah aku dpat bertumbuh dalam bahasa juga selama membantu mengabdi kepada Gusti di Gunung Kidul.

Dasar dari semua ini bermula dari Daniel Kris Maryanto dan Dwi Kuncoroyatno, dua konco lawasku di tingkat satu STII Yogyakarta. Nama yang kusebutkan belakangan akhirnya pindah ke UKSW di Salatiga. Tapi sebelum pindah, dia pernah membawa aku untuk mampir dan menginap di Kauman Salatiga, tempat ibunya yang seorang janda tinggal. Selain nama-nama di atas, orang yang juga turut berpengaruh dalam membuat aku senang dengan budaya Jawa adalah pak Paringono. Nama ini di Jawa berarti Berilah. Semacam permintaan untuk dikasihani. Mungkin karena dia mengasihani aku untuk tidak merasa asing saat di pelayanan di Gunungkidul, jadi Pak Paring - demikian kami memanggilnya- selalu memutar wayang dari radio kesayangannya GCD FM setiap malam jumat. Kesenangannya akan wayang ini juga yang akhirnya membuat aku, teman sekamarnya dulu di Asrama Simson di dukuh Juwangen lama-lama suka dengan wayang. Paling tidak sebagai pengantar tidur. Karena bahasanya sangat membingungkan. Segmen yang paling kugemari adalah goro-goro.

Selama berada di Jawa, aku juga sering terlibat dalam kebiasaan masyarakat desa. Aku bahkan pernah diundang datang ke Kenduren yang hampir semua yang hadir adalah Muslim. Aku malah dipercaya duduk di sebelah pembaca do'anya (pak Mudin). Selain itu menonton wayang di balai desa semalam suntuk (di desa Terbah), menonton campursari dan ikut gotong-royong serta rapat dukuh pernah aku ikuti. Syukur sekali lagi, semua itu menolong aku bertumbuh dalam budaya dan bahasa. Walaupun bahasa Jawaku sampai sekarang masih belum sempurna tapi paling tidak aku dapat menjawab orang yang berbicara denganku dalam bahasa Jawa.

Semua ini kuceritakan karena sejak dua tahun terakhir ini, radio Suara Kupang, tempatku mengabdi meminta aku untuk mengasuh program lagu dan informasi tentang Jawa bagi komunitas Jawa di Kupang. Nama programnya "Mozaik Nusantara," dengan lagu-lagu Jawa. Sampai sekarang program ini masih terus berjalan. Aku masih mengasuhnya dan aku berterimakasih, karena pengalamanku tinggal di desa di Jawa menolong sekali untuk karierku.

Jika tidak berlebihan, satu hal yang ingin aku ambil hikmahnya, hal-hal kecil di dalam hidup yang kita belum lihat manfaatnya sekarang, jika ditekuni, suatu saat nanti akan bermanfaat. Hikmat akan mengenakan karangan bunga yang indah di kepalamu, dan mahkota yang indah akan dikaruniakan kepadamu... Bila engkau berjalan, langkahmu tidak akan terhambat, bila engkau berlari engkau tidak akan tersandung. (Amsal 4:9,12). [MT]

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Syalom, Saya Willas Littik di Jakarta. Saya senang skali dengan isi blog mu yg tdk sengaja saya temukan waktu searching topik ULTAH GMIT. Banyak hikmat yg saya petik di dlm nya. Trimakasih utk tulisan2mu yg bbrp sungguh menguatkan saya juga agar lebih kuat & sungguh dlm percaya dan melayani TUHAN.
Slamat berjuang mewartakan Kabar Baik demi Hormat dan Kebesaran NamaNYA. God Bless U