Kamis, 23 Oktober 2008

Ibadah di 'Pak Laru'



Melayani Tuhan memang memerlukan strategi. Kadangkala strategi-startegi itu ada di luar pelajaran yang pernah didapat di bangu kuliah. Jika mau menghitung, saya menghabiskan waktu delapan tahun untuk belajar melayani Tuhan. Delapan tahun dimaksud bukan untuk dua strata, tetapi hanya S1. Delapan tahun hanya untuk mendapat s1? Iya. Ini fakta dan mungkin jarang terjadi. Saya pernah mendengar cerita bahwa ada orang yang bahkan sampai tahun ke-13 hanya untuk menyelesaikan studi sarjananya. Mengenai ini, saya tidak perlu berbangga karena lebih awal enam tahun sebelum ke-13.

Sebenarnya syarat lulus Sarjana bagi seorang yang kuliah di Theologia ada tiga. Kemampuan akademis harus mumpuni, ketelatenan melayani harus teruji, dan pembuktian tentag kehidupan moral harus terasah. Dalam enam tahun dan berpindah dari Doulus ke STII sebagaimana kisahku di bagian lain blog ini, aku bersyukur karena kemampuan akademisku dianggap lumayan. Kesan ini saya dapat dari beberapa orang dosen dan teman sekelasku. Kemuliaan bagi Tuhan untuk itu. Mengenai masalah kelakuan dan tindakan, aku bersyukur aku belajar untuk mendisiplin diri dan puji Tuhan bisa mendapat penilaian yang cukup dari pihak sekolah. Tentu saja penilaian ini tidak sempurna. Menurut saya yang berhak menilaikita layak adalah Tuhan. Syukurlah, standar minimal sekolahku untuk moral aku bisa lewati. Aku juga bersyukur karena standar minimal ketrampilan pelayanan dapat aku lewati di sebuah desa di pinggiran Jogjakarta. Dari sana manfaat gandanya dapat saya nikmati sekarang dengan mengerti bahasa Jawa. Minimal "ngoko."

Mengasah diri dalam ketrampilan pelayanan masih terus saya lakukan. Maklumlah, konteks studi lapangan di Jawa berbeda dengan konteks pelayanan saya sekarang di GMIT di tengah-tengah orang suku Sabu dan Rote. Malamminggu yang lalu, aku mendapat sebuah ilmu ketrampilan melayani dari seorang muda gereja. Pemuda ini bernama Yap. Sejak beberapa tahun lalu ia dipercaya sebagai pemimpin umat di rayonnya. Walaupun Ia masih muda, ia diminta melayani sebagai penatua. Dalam perjalanan kami menuju sebuah rumah du kampung sebelah, dia bercerita tentang pengalamannya melayani. Ceritanya begini. Suatu hari ia mendapat kesempatan memimpin ibadah rumahtangga di sebuah rumah yang sekaligus dipakai sebagai tempat menjual minuman keras. Orang Kupang menyebutnya "Pak Laru." Setelah mempersiapkan diri, ia datang dengan membawa Alkitab dan buku nyanyian Kidung Jemaat. Setibanya di rumah itu, lampu kebetulan sedang padam. Oleh tuan rumah dia dipersilakan masuk dan duduk. Sampai beberapa menit lampu itu juga tidak kunjung menyala lagi. Tumben, rumah itu sepi, pikirnya. Karena biasanya tempat itu ramai dikunjungi penjaja minuman keras yang bernama laru. Dia masih terus menunggu dan menunggu, kapan kira-kira aggota jemaat yang lain akan datang untuk memulai ibadah. Ditengah-tengah menunggu, tiba-tiba suara ramai-ramai orang dari kejauhan terdengar. Ternyata mereka adalah orang-orang yang ingin minum malam itu. Sebagian mereka tidak berbaju alias bertelanjang dada. Mereka mungkin tidak tahu kalau malam itu jadwal ibadah di rumah itu. Mereka juga adalah anggota jemaat di gereja. Dengan santai mereka masuk dan meminta minum. Betapa kagetnya saat mereka duduk, sementara suasana ruangan gelap, mereka melihat Alkitab di meja dan pelayan juga sudah siap untuk memimpin ibadah. Dengn malu-malu mereka mulai duduk. Dan karena pemilik rumah adalah simpatisan sebuah partai yang memiliki banyak kaos partai, maka kaos itu dibagikan kepada para pengunjung pak laru yang kecele itu. Ibadahpun segera dimulai dengan peserta yang kebanyakan berseragam partai.

Ini ibadah yang jemaatnya kecele, ketakutan dan berpakaian partai. Ini ibadah atau kampanye?

Tapi saya bersyukur dan bangga dengan strategi pemuda ini. Syukurlah, malam itu aku mendapat ilmu baru. Ilmu itu adalah ilmu ibadah di Pak Laru. Sabar, tunggu mereka datang, berimereka pakaian yang sopan dan sesudah itu ajak mereka berdoa. [MT]

Tidak ada komentar: