Kamis, 09 Oktober 2008

Hikmat di Jalanan


Mencari hikmat. Mungkin kata-kata ini terlalu abstrak untuk dipahami. Pertanyaannya adalah, di mana hikmat harus dicari? Mungkin ada yang berkata, dengan menyelesaikan S1,S2 dan S3, seseorang telah memperoleh hikmat. Aku ingat temanku namanya pak Yanto dan Pak Iwan Tarigan. Dua-duanya adalah mahasiswa Pasca Sarjana yang tinggal seasrama dengan kami mahasiswa S1. Mereka sering bersendagurau. Salah satu candaan mereka adalah, "masa orang S2 pikirannya kayak SD?" Kamipun beramai-ramai tertawa. Dari candaan ini, sesuatu yang menarik dapat dipetik, hikmat tidak bisa hanya diperoleh dengan gelar yang dimiliki. Trus dimana hikmat dapat ditemukan?

Hikmat berseru kepada kita di manapun dan kapanpun. Bahkan dari tempat yang kita tidak duga-duga. Kitab Amsal menyebutkan bahwa hikmat berseru di jalan-jalan, di lapangan-lapangan, di atas-atas tembok (Ams. 1:20-21). Tafsiran apapun mungkin akan diberikan terhadap jalan, lapangan atau tembok. Tapi bagiku, penulis kitab Amsal ingin mengatakan bahwa dari tempat manapun, seseorang dapat memperoleh hikmat. Bahkan di tempat-tempat yang tidak dapat disangka ada hikmat yang dapat dipelajari di sana. Di desa yang terpencil, di bawah sinar lampu minyak tanah, di rumah gubuk yang ada di tepian sungai, bahkan di kampus juga aku belajar mengenal hikmat. Hikmat ada di tengah-tengah jemaat Rote dan Sabu di Pariti, di mahasiswa STII tingkat satu (aku banyak belajar dari mereka) dan bahkan anak-anak sekolah mingguku. Tolong aku Tuhan untuk terus melihat hikmat yang bersembunyi di mana-mana, tetapi juga yang dengan suara nyaring berseru kepadaku. Dimanapun dan kapanpun ajar aku belajar menemukan hikmat yang Kau selipkan bagiku agar aku tidak lalim suatu saat nanti. [MT]

Tidak ada komentar: