Rabu, 08 Oktober 2008

Bertemu Pak Ans Takalapeta (Bupati Alor)


Sidang Sinode GMIT XXXI di Alor adalah awal aku mengenal Pak Ans Takalapeta. Aku bukan peserta sidang itu. Aku hanya setia mengikuti sidang itu dari Radio. RRI Kupang tepatnya. Aku berusaha menjadi pendengar setia saat itu. Semua siarannya berhubungan dengan sisi sidang Sinode aku dengarkan. Maklum, aku adalah warga GMIT yang harus tahu sedikit tentang hasil sidang sinode. Dalam siaran itu, sesi yang membuat aku cukup terpaku adalah pidato Bupati Alor, pak Ans Takalapeta. Aku tertantang untuk semakin melayani giat, justru dari pidato pak Ans. Aku lupa kata-katanya persis, tapi waktu itu aku seolah-olah dibakar untuk giat melayani di manapun. Yang aku ingat persis dan aku catat adalah nomor(HP) beliau. Itupun karena disebutkan dalam pidatonya waktu itu. Beberapa waktu kemudian, SMS-SMS-an pun dimulai. Awalnya hanya kata-kata ucapan selamat hari minggu dari beliau.


Suatu saat aku membaca buku Pdt. Dr. Eben Nuban Timo yang dalam sidang sinode terpilih menjadi ketua Sinode. Judulbuku itu “Sidik Jari Allah dalam Budaya.” Dalam salah satu halamannya ada yang diambil dari tulisan Pak Ans Takalapeta. Keinginanku untuk membaca buku Pak Ans dan mengenal secara jelas beliau dan ide-idenya mulai muncul. Aku kemudian menyampaikan maksudku kepada beliau. Aku bersyukur. Pak Ans adalah seorang Bupati yang rendah hati. Mau membalas SMSku dan bahkan meminta alamat pengiriman buku. Aku mengirimkan alamat itu ke beliau. Tapi aku tidak banyak berharap karena aku tahu, seorang Bupati adalah orang yang cukup sibuk hanya untuk orang seperti aku. Sebulan lebih kemudian aku tidak mengingatnya lagi. Tapi aku tetap punya keinginan membaca buku Pak Ans.Aku kemudian punya niat untuk mulai kembali mengingatkan beliau. Gayung bersambut. Minggu pagi, pasca aku diundang untuk berkhotbah di salah satu gereja, beliau memintaku datang ke rumahnya di Kupang. Kebetulan beliau transit karena baru pulang dari Jakarta. Setelah ibadah aku kemudian ke rumahnya. Beberapa kali nyasar, tapi kemudian aku SMS ke beliau n beliau dengan rendah hatinya mau menelpon dan memberitahu alamat rumah yang sebenarnya. Aku jadi semakin "pakewuh" dengan beliau. Tiba di rumah beliau, ada seorang gadis hitam manis (aku perkirakan umurnya 20-an) keluar dan menanyakan maksud kedatanganku. Sesudah dipersilakan masuk ia kemudian mengetuk pintu dan memanggil, "Papa! Ada yang cari." "Ohhh... itu anaknya," bathinku. Aku menatap beberapa foto di temboknya. Beliau mengenakan pakaian kebesaran bupati bersma istrinya. Aku teringat kalo ada temanku yang pernah bilang, "istri pak Ans itu Pendeta." Selama menanti beliau keluar dari kamar, pikiranku kemudian menjawab sendiri, "Pantas aja, beliau rendah hati sekali." Lamunanku dikagetkan dengan bunyi pintu kamar dan Pak Ans keluar. Dengan peci khas dan berbatik lengan pendek beliau keluar dan menyalamiku dengan penuh keramahan. Di tangannya ada tiga buku yang sudah ditandatangani. Buku-buku itu diserahkan ke aku. Kira-kira 15 menit kami mengobrol, beliau menguatkan aku untuk tetap melayani. Kemudian aku pamit karena nampaknya beberapa anggota keluarganya berdatangan. Aku tidak mau mengganggu beliau. Aku pulang dengan tiga buku di tangan.

Semua buku itu sudah selesai aku baca. Aku baru tahu tentang latar belakang dan semua yang menjadi pemacu beliau bersemangat. Di antaranya yang memotivasiku adalah beliau pernah menjadi guru Sekolah Minggu, pernah juga jadi "Doktor" alias Mondok di Kantor. Beliau juga pernah mengurus hewan peliharaan keluarga mereka. Aku sering mengalami hal yang sama. Mama Dina, istri beliau yang pendeta juga membuat aku untuk bersemangat melayani masyarakat karena pelayan yang sesungguhnya adalah yang berguna bagi masyarakat. Satu yang terus memacuku, "Orang yang ingin besar memulainya dari hal-hal kecil." Itu kesimpulanku. [MT]

"Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara- perkara besar.

Tidak ada komentar: