Kamis, 26 November 2009
MENJADI GURU
Di kalangan mahasiswa akta IV Undana 2009, istilah "menjadi guru pada akhirnya," bukanlah ungkapan yang asing. Ungkapan ini saya dengar pertama dari seorang guru besar. Ada dua jenis guru katanya. Mereka yang "guru asli" yaitu mereka yang sejak awal sudah memutuskan untuk kuliah FKIP. Kelompok ini katanya sudah memiliki panggilan untuk menjadi guru.Mereka adalah orng-orang terpilih yang mengetahui seluk beluk menjadi guru karena dididik secara khusus. Kelompok yang kedua adalah "guru pada akhirnya." Guru-guru jenis ini adalah mereka yang tidak dari latar belakang FKIP. Mereka adalah orang-orang yang pada awal kuliah memutuskan untuk mengambil jurusan ilmu pendidikan. FKIP bukan fakultas yang mereka pilih. Setelah menyelesaikan study mereka di fakultas non kependidikan, mereka bekerja. Tapi nasib baik nampaknya tidak kunjung juga menyambangi mereka. Setelah melanglangbuana ke sana kemari mencari pekerjaan, tidak satu pekerjaanpun yang memiliki penghasilan yang bagus. Setelah melihat bahwa sertifikasi guru dan dosen diadakan, maka bergegaslah orang-orang ini masuk ke FKIP dan menganggap akta mengajar sebagai tumpuan hidup untuk mendapat jaminan gaji. Guru-guru yang terpaksa. Ini gambaran dari pendapat singkat beberapaorang terhadap mereka yang mengambil kuliah AKTA IV.
Sungguh sebuah dikotomi yang menyakitkan. Menyakitkan bagi mahasiswa AKTA IV -paling tidak saya. Lebih menyakitkan lagi karena pembedaan ini menyebabkan sebutan 'guru yang terpanggil," dan "guru yang terpaksa." Hemat saya, ungkapan ini agak berlebihan. Pasalnya, tidak semua orang yang non-FKIP yang memutuskan menjadi guru punya motivasi untuk memperoleh gaji tinggi karena sertifikasi guru. Arogansi terhadap mahasiswa AKTA sebaiknya tidak dilakukan.
Pengalaman pribadi saya, sejak kecil -saat sekolah di sebuah SD di desa Ajaobaki kecamatan Mollo Utara di pedalaman Timor Tengah Selatan-NTT- saya punya cita-cita untuk menjadi guru. Ini spontan keluar dari bibir saat ditanya mau jadi apa nantinya. Angan-angan ini masih terus ada saat SMP bahkan sampai SMA. Tahun 2006, saya duduk di SMA Negeri 1 SoE di TTS. Waktu itu hanya ada satu tujuan, menjadi guru bahasa Indonesia. Kebetulan subjek ini menarik bagi saya. Kendati demikian, kesanggupan pembiayaan untuk kuliah tidak saya miliki. Maklum, orangtua saya hanyalah petani miskin di desa di pedalaman pulau Timor. Setamat SMA, teman-teman saya mendaftar di FKIP. Belakangan saya mendengar dan bertemu dengan mereka secara langsung maupun di dunia maya dengan kecanggihan facebook, dan mendengar kabar mereka tentang kesuksesan mereka menjadi guru bahasa dan dosen bahasa. Ada yang bahkan menjadi guru bahasa Ibrani. Gelar-gelar pun dicantelkan di belakang nama mereka. Ada yang S.Pd, ada yang M.Pd, ada yang menjelang Ph.D di luar negeri. Mereka saya golongkan sebagai "guru yang sukses."
Setamat SMA, tawaran untuk bersekolah di Jawa dengan jurusan non kependidikan mematahkan niat saya untuk kuliah di Undana FKIP Bahasa Indonesia. Maklum, sekolah yang saya tuju di Jawa menjanjikan keringanan biaya, bahkan pembebasan biaya. Walaupun demikian, selama study di Lembang dan di Jogja, kegiatan saya tidak jauh-jauh dari mengajar. Bahkan mulai dari jenjang yang paling rendah. Saya bahkan pernah mengajar Taman Kanak-kanak. Sebuah jenjang yang kontras dengan tabiat saya. Seorang "guru terpanggil" mungkin akan terpanggil hanya untuk jenjangnya saja. Setelah tamat study, saya bahkan diminta untuk mengajar di sebuah Sekolah Tinggi. Dari Taman Kanak-kanak ke Skolah Tinggi. Memang tertunda menjadi guru. Jadi jika teman-teman saya menjadi "guru yang sukses," maka saya menyebut diri saya sebagai "guru yang tertunda." Bedanya saya dengan mereka adalah mereka mengetahui seluk beluk pendidikan, seluk beluk menjadi guru dan seluk beluk perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran bahkan evaluasi pembelajaran. Saya, mempraktekannya namun belum mengetahinya secara pasti. Beruntunglah, saya melanjutkan S2 saya di bidang pendidikan Kristen dan memiliki gambaran. Sayangnya S2nya belum wisuda-wisuda karena kendala biaya. (hehehehe).Dan sekarang saya mewujudkan impian itu untuk memahami sedikit tentang pendidikan dengan mengasah diri saya di FKIP Undana.
Jadi kalau orang non-FKIP dicap sebagai "guru yang tidak terpanggil" tapi "guru yang terpaksa," saya protes. Protes karena pengalaman juga mengajari kita untuk menjadi guru. Maka, saya menyimpulkan bahwa kurang bijak kalau meng-"gebyah uyah" semua mahasiswa AKTA IV sebagai mereka yang sudah pontang-panting mencari pekerjaan dan tidak menemukan kemudian mengincar lapangan alumni FKIP. Mungkin ada juga benarnya, tetapi sebaiknya lebih bijak mengatakannya.
Ada seorang dosen tua yang tidak menawan dan tidak cakap mengajar menurut beberapa teman saya. Orangnya tidak rupawan dan ungkapannya tidak terlalu jelas untuk ditangkap. Beliau asli FKIP. Tapi pernah selalu membela orang-orang non FKIP. Tidaksemua guru yang alumni FKIP juga awalnya terpanggil. Keterpanggilan itu pasca prose di LPTK. Ah.... pagi yang penuh dikotomi. Lebih baik saya menikmati lagu "anak Pantai"-nya Imanez sambil minum dulu, mumpung liburan Idhul Adha 1430K. Selamat menjadi guru.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar