Sabtu, 12 Maret 2016
MEMORI GERHANA NAN MENCEKAM
Saya tidak ingat lagi tahun delapan puluh berapa saat itu, tapi yang saya ingat, dalam rumah kami baru ada papa, mama dan dua anak laki-laki. Saya dan adik laki-laki saya. Karena adik perempuan kami baru lahir tahun 1988, maka saya duga kejadiannya dibawah tahun 1986. Ingatan saya tiba-tiba jelas tentang gerhana matahari zaman itu. Mungkin karena 'dibantu' suara orang yang menyanyi di tempat duka yang mulai "pelo" dan tidak memberi ampun untuk telinga orang-orang yang butuh tidur. Tapi. . . . Sudahlah, kita cerita tentang gerhana saja. Entah kenapa, gerhana matahari pada tahun itu amat mencekam, bahkan bagi anak kampung seperti saya. Samar-samar saya ingat, hari-hari sebelum itu papa dan mama mengingatkan kami bahwa akan ada gerhana. Dan di hari gerhana itu, pintu dan jendela kami tertutup rapat. Papa dan mama juga hanya duduk di dalam rumah. Kami tidak boleh menangis. Saya ingat, rumah kami masih berdinding bambu. Rasa ingin tahu saya dan adik laki-laki saya cukup tinggi. Kami mengintip dari sela-sela bambu keluar. Tidak ada apa-apa. Tidak gelap sama sekali. Biasa saja. Kenapa kami dilarang bermain di luar rumah? Resiko mengintip sudah kami tahu, sapu lidi di tangan mama akan 'pook' di punggung kami. "Bodok mau mati, nanti kamu pu mata buta" begitu kata mama dalam bahasa Indonesia dengan dialek Timor kental sekali. Rupa-rupanya memang itu perintah dari kepala desa yang diumumkan di gereja bahwa pada hari gerhana, tidak boleh ada yang keluar rumah. Pintu dan jendela juga harus ditutup. Baru saja saya baca di situs liputan6, rupanya itu amanat dari presiden untuk tidak keluar rumah saat gerhana. Beda sekali dengan anak-anak sekarang. Mereka sudah siap keluar rumah dan melihat gerhana. Tiga anak tetangga bahkan minta dicarikan 'kacamata las' katanya untuk lihat langsung gerhana. Bahkan ada festival-festival menyambut gerhana. Gerhana bukan bencana yang mesti ditakuti. Ia fenomena alam yang langka, yang kami dan orangtua kami serta masyarakat tak berpendidikan lainnya di kampung kami melalukannya begitu saja. Di era ini, bencana sesungguhnya adalah jika telinga kita seolah hendak pecah dengan bunyi pengeras suara sampai subuh dari tempat duka yang penyanyi-penyanyinya bersuara rada-rada teler. (stengah empat subuh). Tidak. . . . .
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar