Sabtu, 12 Maret 2016
SHOW IBADAH / IBADAH SHOW
Selamat memasuki minggu ke V pra paskah. Kehadiran dalam ibadah-ibadah
minggu di gereja sudah mulai ramai kembali. Keramaian yang sama biasanya
terjadi juga pada masa-masa Advent hingga Natal. Tentu kita berbahagia
karena perayaan-perayaan ini menggugah kita untuk beribadah. Seiring
padatnya pengunjung ibadah, pengisi-pengisi acara dalam ibadah-ibadah
pun mulai bermunculan bak jamur di musim hujan. Entah Solois dadakan,
duet dorong-dorong, trio terpaksa, kwartet asal nama, vocal group anak
alakadar, vocal group remaja taro-taro, paduan suara kaum ibu naek kana,
hingga paduan suara timbul tenggelam. Semuanya ingin menyanyi dan
semuanya ingin mengisi acara dalam ibadah. Di satu sisi, partisipasi
mereka perlu diapresiasi.
Di sisi lain, muncul pertanyaan, mengapa kemunculan banyak solois, duet,
trio, kuartet, vocal group dan paduan suara ini terjadi periodik dan
temporer? Apa motivasi yang mendorong mereka menyanyi?
Entah ada berapa aspek yang pasti dalam ibadah, tapi bagi ibadah
kristiani, nyanyian memang merupakan satu aspek penting yang tidak bisa
ditiadakan. Nyanyian bisa dilakukan bersama-sama dalam jemaat, bisa
dilakukan secara partial oleh sekelompok jemaat dan bisa juga oleh
penyanyi tunggal. Dari nyanyian-nyanyian ini, jemaat bisa mendapatkan
'khotbah' yang diiramakan. Memang betul, variasi ini menghindari
kebosanan karena monotonnya ibadah.
Namun jika solo, vocal group, koor musik, paduan suara dilakukan dengan
maksud 'show' maka esensi nyanyian itu akan hilang. Kita harus jujur,
beberapa solois, trio, kwartet, vocal group atau paduan suara secara
tidak sengaja menunjukkan gejala ini. Kenapa beberapa solois hanya ingin
tampil saat jemaat berjubel di gereja? Kenapa beberapa vocal group
ketika menyanyi harus berdiri di depan, membelakangi mimbar yang dalam
tradisi Protestan adalah pusat perhatian dalam ibadah, dan karena itu
diletakkan di tengah depan? Apresiasi kita harus berikan kepada para
arsitek gereja zaman dahulu yang selalu membuat balkon kecil di belakang
atas ruang ibadah yang dikhususkan untuk paduan suara sehingga saat
mereka menyanyi, mereka tidak kelihatan namun syair-syair lagu yang
dilantunkan terdengar dengan jelas dan keras. Kita tidak dapat melihat
baju apa yang mereka pakai, lengkap atau tidak anggota tubuh mereka,
makan sirih atau bergincu merah, bersepatu, sandal, atau bahkan tanpa
alas kaki. Kita juga tidak melihat ekspresi mereka dan karena itu,
kalaupun mereka berekspresi, ekspresi mereka bukan untuk dilihat jemaat.
Kalaupun tidak ada balkon, biarkanlah paduan suara itu berbaur di
tengah-tengah jemaat, hingga puji-pujiannya seolah mewakili dan berasal
dari tengah-tengah jemaat. Kita dapat bertanya juga, kenapa ada paduan
suara yang hobynya berkeliling dan menyanyi di mana-mana? Jika
motivasinya lurus untuk memuji Tuhan, Halleluyah (Terpujilah TUHAN).
Namun jika untuk pamer kemampuan nyanyi, pamer gaya berpakaian dan
potongan rambut terkini, atau karena pamer diri dan kualitasnya, tidak
ada bedanya dengan show di televisi-televisi. Untuk apa orang nyanyi di
tivi? Supaya dapat uang, popularitas, sebagai propaganda gaya, atau
mungkin motivasi lain. Kalau solo, duet, trio, kwartet, vocal group,
koor musik, paduan suara dan yang lainnya hanya masih menyanyi di gereja
untuk show, maka lebih menarik kita nonton TV. Kenapa? Karena show di
TV lebih berkualitas, tertata, terstruktur dan peka dengan kemauan
pemirsa. Beda dengan "show" dalam ibadah yang kadang kualitasnya
merayap, tidak tertata dan cenderung mencari pujian insani.
Benarlah ayat 'buku hitam' yang menyebut "biarlah segala yang bernafas
memuji Tuhan" tetapi betul juga nasehat yang menyatakan "apa yang engkau
lakukan dengan hati, akan menyentuh hati." Biarlah segala kemuliaan
hanya bagi Tuhan. Bersololah dengan rutin. Menyanyi paduan suara atau
vocal grouplah secara berkala. Tempatkanlah diri sebagai bagian dari
puji-pujian dalam ibadah. Luruskanlah motivasi bernyanyi. Niat yang sama
juga harusnya dimiliki oleh para pengatur ibadah agar ibadah-ibadah
kita tidak terkesan hanya show. Pusat ibadah kita adalah mendengar
firman. Kalau waktu untuk firman hanya 15 menit, dan 'show'
nyanyian-nyanyian ada 4 solois, 2 duet, 5 trio, 3 koor musik kaum
bapak, 8 vocal group remaja, dan 1 kuartet serta ditutup dengan nyanyian
persembahan seluruh ayat, maka kita kehilangan rasa gemetar menghadap
Dia. Jika demikian, kejenuhan untuk beribadah akan segera muncul. Jika
dibiasakan, dia akan membekas dan akan menjadi rutinitas tanpa makna.
[coret-coret sa - bunuh waktu]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar