Sabtu, 12 Maret 2016

NAEK KATUMU

Para ahli bahasa Melayu Kupang mungkin bisa membantu menjelaskan, kenapa orang Kupang selalu pakai huruf 'e' menggantikan huruf 'i.' Kain disebut kaen, lain disebut laen, main menjadi maen, kawin jadi kawen, kemarin jadi kamaren, dan seterusnya. Tidak terkecuali kata 'naik' menjadi 'naek.' Kenapa diftong ai menjadi ae itu urusan bapak ibu ahli bahasa. Kita sepakat, ya? Mari kita fokus pada frasa "naek katumu." Frasa ini kira-kira berarti 'baru menemui." Kira-kira begitu. :) Jadi contohnya, kalau saya belum pernah makan udang, tiba-tiba di undang makan udang, wah, saya senang sekali, dan akan makan dengan semangat, lahap, bahkan mengunyah dengan bunyi kecapan yang membuat orang lain melirik. Jika ada orang lain yang sudah makan tiap hari dengan lauk udang melihat anda, dia akan bergumam "baru naek katumu, na." Contoh kedua, kalau seorang anak kecil tidak pernah naik kereta api, lalu tiba-tiba, anda membawa dia naik kereta api, lalu dia "gumunan," kagetan, lalu dia kelihatan senang sekali dan setelah itu bercerita pada orang lain tentang bagaimana kereta api, apa hebatnya kereta api, luar biasanya kereta api dan apa-apa tentang kereta api. Anda, yang sejak lahir tinggal di samping rel kereta api, waktu kecil sudah dibawa wira-wiri dengan kereta api, bahkan mungkin pernah jadi penumpang gelap kereta api, akan melihat ke anak kecil tadi sambil bergumam, "baru naek katumu, na." Contoh ketiga, Kalau anda punya telepon genggam sejak kecil, sekarang umur anda 47, dan telepon genggam yang anda pernah pakai sudah gonta-ganti merk dan tipe, lalu tiba-tiba anda duduk di ruang tunggu bandara bersebelahan dengan lima orang TKW yang baru pulang dari Malaysia karena dideportasi. Mereka memainkan telepon pintar mereka sambil sedikit pamer dan sesekali memandang merendahkan ke anda, maka anda dapat bergumam dalam hati "baru naek katumu, na." Contoh terakhir, (kiranya tidak bosan :p ). Kalau anda sudah lama bekerja sebagai tukang batu. Sebut saja Anda termasuk tukang batu senior, tiba-tiba ada tukang batu amatiran yang sok tahu dan baru dua hari memukul batu, itu pun anda yang ajari, bercerita tentang profesi tukang batu dan seluk beluknya, bahkan menggurui anda, maka mungkin anda menerimanya sambil bergumam dalam hati "baru naek katumu, na." Cenderung negatif, memang. Tapi begitulah kira-kira makna frasa 'naek katumu.' Frasa naek katumu ini dalam istilah (kalau tidak salah) Sunan Kalijaga, salah satu dari antara wali songo menyebutkan 'ojo gumunan, ojo kagetan, ojo aleman.' Hemat saya, makna dari ungkapan ini adalah jangan heran, jangan kaget dengan apapun yang baru. Saya pikir, jauh sebelum bahasa Melayu Kupang ada dan sebelum Walisongo menebar ajaran di Demak dan Jawa umumnya, seseorang yang menyebut diri Qohelet, diduga bernama Salomo menulis "adakah sesuatu yang dapat dikatakan, "lihatlah, ini baru?" itu sudah ada dulu." Jadi, pengalaman mungkin kita punya. Tapi mengendalikan diri untuk menceritakan apa-apa tentang diri kita secara berlebihan, apalagi kalau substansi masalah yang kita latahkan itu masih belum kita fahami sebaiknya kita kekang diri. Ya, perlu juga satu dua kali kita omong sebagai auto-promosi. :p Tapi ingat, mungkin masih banyak yang lebih faham dari kita. Jangan sampai orang lain akan bergumam "Baru Naek Katumu, Na." [Hanya menulis saja biar tidak gampang pikun atau malah terserang Alzeimer] Hahahaha. . . .

Tidak ada komentar: