Hingar-bingar perayaan tahun baru 2014 sudah berlalu. Saat tulisan ini diturunkan, sudah minggu kedua dua 2014. Tidak ada lagi petasan yang berbunyi, tidak ada lagi lampu kerlap-kerlip dan pesta kembang api, musik hingar bingar di sepanjang jalan dan bunyi sepeda motor yang knalpotnya racing sudah terhenti. Kantor-kantor dan sekolah-sekolah sudah mulai beraktifitas seperti biasa setelah melewati masa libur tahun baru. Aktivitas manusia menjadi normal kembali. Mana tahun yang disebut baru? Apanya yang baru? Pertanyaan ini cocok dengan ayat Alkitab “Adakah sesuatu yang dapat dikatakan: “Lihatlah, ini baru?” (Pkh. 1:10).
Ayat Alkitab dalam Pengkhotbah 1:9-11 membahas tentang makna sesuatu yang baru. Ayat ini di dalam satu perikop sebagai pendahuluan dalam kitab Pengkhotbah. Secara garis besar, sosok teks kita terdiri dari tiga bagian besar. Yang pertama adalah identitas kitab, yaitu Pengkhotbah , atau pengajar atau penyelidik , anak Daud, Raja Yerusalem (1:1). Sebagai bagian awal dari kitab ini, perikop pertama ini memulai dengan ajaran tentang kesia-siaan yang ditetapkan. Dalam pasal 1:2 disebutkan Segala Sesuatu sia-sia. Ini adalah ajaran utama dari bagian ini. Lalu dilanjutkan dengan Penjelasan tentang yang sia-sia (1:3). Ayat 4-11 merupakan bukti dari ajaran kesia-siaan. Penulis kitab Pengkhotbah memberi beberapa bukti untuk mempertegas pernyataannya dalam doktrin yang diajarkan bahwa segala sesuatu sia-sia. Bukti yang dinyatakan adalah: Ada kelahiran dan ada kematian (1:4); Perubahan dan Perputaran yang terjadi terus menerus di alam seperti matahari terbit dan terbenam, angin bertiup ke selatan lalu berputar ke utara, sungai mengalir ke laut tapi laut tidak pernah penuh. Bukti lain adalah kerja keras manusia yang tidak pernah puas (7-8), dan kembali terulangnya hal yang sama (Tidak ada yang Baru).
Saat kita memasuki awal tahun baru ini, kita merasa seolah-olah hal yang sama pernah kita lakukan pada tahun yang lalu. Kita mengharapkan sebuah perubahan di awal tahun, tetapi saat hal yang sama terulang kembali di tahun yang baru ini, lalu kita akan merasa bahwa segala sesuatu sia-sia.
Mengacu pada struktur ini, saya memilih ayat 9-11 yang untuk direnungkan. Ayat yang kita baca ini sebenarnya merupakan sebuah bukti dari ajaran utama dalam perikop ini yaitu kesia-siaan. Salah satu alasan yang meneguhkan keyakinan bahwa segala sesuatu sia-sia adalah karena berulangnya hal yang sama. Karena itu judul yang saya pilih adalah : “tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.”
Hingar-bingar perayaan Tahun Baru sudah berlalu. Lalu apa sekarang. Kita kembali kepada pada aktivitas dan rutinitas kita setiap hari. Bagi kita ayat ini mungkin tepat: “Adakah sesuatu yang dapat dikatakan: “Lihatlah, ini baru?” Matahari masih bersinar seperti biasa. Kita masih merasakan suasana kota seperti tahun yang lalu. Janji kita untuk semakin sabar di tahun yang baru kita mulai sedikit demi sedikit kita lupakan. Dan semua berulang seperti biasanya. Kita lalu secara heran berkata “Adakah sesuatu yang dikatakan “lihatlah, ini baru?”
Untuk memahami maksud teks ini, baiklah kita memahami siapa sebenarnya penulis kitab Pengkhotbah ini. Penulis kelihatannya pesimis dengan hidup. Pasrah, mengalah dan tidak mau berusaha untuk hidup? Berdasarkan pasal 1:1 kita membaca “Inilah perkataan Pengkhotbah, anak Daud, raja di Yerusalem (Pkh. 1:1)”
Melihat dari identitasnya bahwa dia adalah Anak Daud yang menjadi Raja dan memiliki hikmat, maka dia tentu adalah Salomo. Bagaimana mungkin Salomo yang terkenal berhikmat itu bisa begitu “putus asa” sampai-sampai dia berkata bahwa segala sesuatu itu adalah sia-sia? Jangan-jangan dia bukan Salomo. Mari kita lihat buktinya, apakah betul salomo?
Pertama, Penulis menyebut dirinya sebagai anak Daud Raja di Yerusalem ( Pkh 1:1, 12). Anak Daud, entah dari Istri atau dari gundik punya nama-nama sebagai berikut, Syamua, Sobab, Natan, Salomo, Yibhar, Elisua, Elpelet, Nogah, Nefeg, Yafia, Elisama, Beelyada, dan Elifelet (1Taw. 14:4-6). Dari nama-nama ini, yang pernah menjadi Raja dan dikenal dengan baik adalah Salomo. Salomo adalah anak Daud yang menjadi Raja di Yerusalem.
Kedua, Penulis menyebut dirinya pemimpin yang paling bijaksana dari umat Allah (Pkh. 1:16). Ini cocok dengan gambaran alkitab mengenai Salomo. Dalam 1 Raja-raja 2:9 “Sekarang, Janganlah bebaskan dia dari hukuman, sebab engkau seorang yang bijaksana dan tahu apa yang harus kau lakukan kepadanya. 1Raj. 3:12 : “maka Sesungguhnya aku melakukan sesuai dengan permintaanmu itu, sesungguhnya aku memberikan kepadamu hati yang penuh hikmat dan pengertian, sehingga sebelum engkau tidak ada seorangpun seperti engkau dan sesudah engkau takkan bangkit seorangpun seperti engkau. 1Raj. 5:12a : “dan TUHAN memberikan hikmat kepada Salomo seperti yang dijanjikan-Nya kepadanya.
Ketiga, Ia menyebut dirinya penggubah banyak Amsal (Pkh. 12:32). Ia menggubah tigaribu amsal, dan nyanyian ada seribu lima. Keempat, Kerajaannya dikenal karena kekayaan dan kemuliaan yang berlimpah-limpah (Pkh. 2:4-9). Ayat Alkitab yang menunjukkan bukti itu adalah 1Raj 10:1-8. Kunjungan Ratu negeri Syeba untuk melihat hikmat salomo dan mengujinya dengan teka-teki.
Kita sudah melihat kecocokan antara penulis kitab ini dengan identitas Salomo. Hal ini penting agar dan dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa Salomo adalah Penulis kitab ini. Jika demikian maka kita akan mendaftarkan kitab-kitab yang ditulis Salomo. Kitab Amsal berisi Kata-kata Hikmat dan Nasehat-nasehat tentang kehidupan. Kitab Kidung Agung berisi kisah cinta yang sangat romantis.
Lalu, bagaimana mungkin seorang Raja yang dipakai oleh Allah, memiliki orang tua bangsawan, pintar, kaya, romantis, berani menulis sebuah kitab yaitu pengkhotbah yang berisi ajaran utama tentang kesia-siaan hidup?
Menurut tradisi Yahudi, Salomo menulis kitab Kidung Agung ketika masih berusia muda, Amsal pada usia setengah tua, dan Pengkhotbah pada tahun-tahun akhir hidupnya. Sebuah tulisan dari Pengantar Alkitab Full Life menyebutkan: “Pengaruh yang bertumpuk dari kemerosotan rohani, penyembahan berhala dan hidup memuaskan dirinya pada akhirnya membuat Salomo kecewa dengan kesenangan dan materialisme sebagai cara untuk mencapai kebahagiaan. Ia telah mengalami kekayaan, kuasa, kehormatan, ketenaran dan kesenangan sensual, namun semuanya itu akhirnya merupakan kehampaan dan kekecewaannya saja sehingga ia berkata “Kesia-siaan belaka! Kesia-siaan belaka, segala sesuatu sia-sia.”
Jika Salomo seolah-olah sudah telat untuk akhirnya berpikir pada akhir hidupnya tentang segala sesuatu di bawah matahari yang dianggap sia-sia, kita lebih bersyukur karena diingatkan salomo lewat ayat kitab suci dalam pengkhotbah ini. Jangan sampai setelah mendekati ajal, kita baru merasa bahwa segala sesuatu yang kita lakukan, ternyata sia-sia.
Untuk maksud itu, mari kita untuk pikirkan firman Tuhan ini dalam dua bagian utama. Bagian Pertama adalah TIDAK ADA YANG BARU. Kita membaca ayat Alkitab seperti ini: Apa yang pernah ada akan ada lagi dan Apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Adakah sesuatu yang dapat dikatakan: lihatlah, ini baru? Tetapi itu sudah ada dulu, lama sebelum kita ada. Kenang-kenangan dari masa lampau tidak ada. Dan dari masa depan yang masih akan datangpun tidak akan ada kenangan-kenangan pada mereka yang hidup sesudahnya.
Dalam ayat 9 dan 10 , terdapat penegasan hal yang sama bahwa tidak ada sesuatu yang baru dalam bentuk pernyataan, dan pada ayat 10, dengan bentuk pertanyaan. Dari ayat 9 dinyatakan bahwa persoalan tentang yang baru dalam bagian ini berhubungan dengan dua hal yakni, perihal keberadaan yang baru, dan perihal tindakan yang baru.
Pertama, hal yang disangkal sebagai bukan baru adalah perihal keberadaan yang baru. Dalam ayat ini disebutkan “apa yang pernah ada akan ada lagi.” Saya meyakini, bahwa keberadaan yang baru di bawah matahari ini tidak ada. Allah telah menciptakan segala sesuatu sempurna adanya, dan manusia hanya memanfaatkan hal-hal yang sudah ada menjadi sesuatu yang baru. Kata ada punya arti tersendiri dalam bahasa aslinya. Hal pertama yang dapat diperhatikan dari teks ini yaitu kata “ada.” Dalam dimensi waktu yang berbeda kata ini diulang-ulang dalam ayat ini. Disebutkan “pernah ada” dan “sudah ada” yang menunjukan masa lampau, kata ada yang menyatakan keadaan sekarang dan kata “akan ada” atau “ada lagi” untuk menyatakan pengulangan pada masa yang akan datang. Pengulangan kata “ada” dalam kaitan dengan kata baru di sini, harus diperhatikan.
Dalam bahasa Ibrani, kata yang dipakai adalah kata hayah. Kata ini punya beberapa arti berikut yaitu Kenyataan, atau keadaan yang terjadi, muncul, tampak, eksis, berada dalam kenyataan. Khusus untuk ayat 9-10 dari bacaan ini menurut Kamus B-D-B, arti dari kata ada di sini adalah muncul, mengambil tempat, terjadi dan eksis. Menurut bagian ini, dapat dilihat bahwa persoalan baru dan tidak baru itu menyangkut keberadaan atau eksistesi. Kalau sesuatu yang baru muncul, sesuatu yang mengambil tempat atau sesuatu yang eksis kita akan sebut sebagai ada. Karena itu kita mengukur “ada” dan “tidak ada” itu berdasarkan eksistensi dari benda, hal atau orang itu. Jika sesuatu itu muncul maka dia ada; Jika sesuatu itu mengambil tempat maka dia ada; Jika sesuatu itu eksis maka dia ada.
Saking berpikirnya kita akan eksistensi, kita lupa akan esensi dari benda, hal, atau orang tertentu.
Karena itu Sekalipun sesuatu tidak muncul, esensinya belum tentu tidak ada. Sekalipun sesuatu tidak Nampak dan mengambil tempat, esensinya belum tentu tidak ada. Sekalipun sesuatu tidak eksis, esensinya tetap ada.
Biasanya, sesuatu yang baru selalu dikaitkan dengan hal itu ada, atau terjadi. Sulit untuk membayangkan sesuatu yang baru, kalau dia tidak ada sama sekali atau tidak terjadi. Ada beberapa ayat Alkitab yang sejajar dengan kata ada di bagian ini: Hizkia dan seluruh rakyat bersukacita akan apa yang telah ditetapkan Allah bagi bangsa itu, karena hal itu terjadi dengan tak disangka-sangka. (2Taw. 29:36). Di sini kata “ada” dapat juga berarti terjadi. Ayat lain adalah “Sesungguhnya dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi karena siapakah yang akan mengatakan kepadanya bagaimana itu akan terjadi?” (Pkh. 8:7). Kata ini juga diterjemahkan sebagai terjadi.
Dengan demikian, kata “ada” juga dapat didefinisikan sebagai terjadi. Jika ini kita kenakan terhadap teks kita, maka kita dapat membacanya demikian: Apa yang pernah TERJADI akan TERJADI lagi dan Apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; Tak TERJADI sesuatu yang baru di bawah matahari. Masalahnya, ada banyak peristiwa di dunia ini yang menurut kita adalah hal yang baru. apakah itu peristiwa yang baru? Lalu bagaimana dengan teknologi baru buatan manusia?
Philip Graham Rayken : ‘Dalam era informasi sekarang ini, hal ini benar. Setiap hari kita melihat sebuah proses gambaran visual yang tidak berakhir seperti Comcast, YouTube, Blackberry, Netflix. Kita dapat juga mendengar banyak suara dari iPod, iPhone, iTunes, Tivi, CD, dan MP3. Namun sesudah kita menonton dan mendengar telinga kita dan mata kita tidak akan puas. Kita ingin melihat dan mendengar lebih banyak lagi. Segera kita akan mencari untuk mendengar yang baru atau melihat yang baru setiap kali yang kita dengar telah berakhir. Kita tidak akan merasa cukup. Selalu ada satu hal lain lagi yang ingin kita lihat, satu game lagi untuk dimainkan, lagu berikut lagi untuk kita dengar.”
Dapatkah kita mengatakan bahwa “memang tidak ada sesuatu yang baru.” Kita harus dengan tegas menyatakan, Betul. Tidak ada sesuatu yang baru. Kenapa demikian? Karena segala hal yang diproduksi manusia, berasal dari bahan baku yang berasal dari dalam dunia di mana manusia hidup di dalamnya. Kendatipun manusia mencoba untuk menciptakan segala hal yang kelihatannya baru, bahan bakunya tetap berasal dari alam dan segala unsurnya yang Allah ciptakan. Manusia hanya akan menemukannya dan mengatakan bahwa hal itu baru.
Salomo benar saat dia mengatakan bahwa “Tidak ada yang baru.” Karena tidak ada bahan baku atau material yang baru, sumber energy yang baru, hukum-hukum alam yang baru yang ditemukan manusia. Mazmur 24:1 berkata: “TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya.” Wahyu 4:11 berkata “Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa; sebab engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan.”
Tidak ada yang baru dalam hal terbit dan terbenamnya matahari, dalam pola cuaca, dan dalam tahun-tahun yang kita jalani. Lalu apakah Tahun baru itu benar-benar ada? Secara eksistensi dia baru, Cuma dari segi esensinya dia berjalan seperti tahun-tahun yang lama? Lalu apa yang akan membuat tahun baru kita menjadi bermakna? Ingat baik-baik, semua yang terjadi di bawah matahari tidak ada yang baru. Bagian kedua berbicara tentang Karya, atau pekerjaan yang dulu akan terulang. Jika eksistensi yang baru itu tidak ada sama sekali di bawah matahari, maka esensinya seharusnya ada.
Lalu mengapa suatu hal dapat kita sebut sebagai baru? Jika kita membaca ayat 11, disampaikan alasannya yaitu karena masalah ingatan kita : Kenang-kenangan dari masa lampau tidak ada. Dan dari masa depan yang masih akan datangpun tidak akan ada kenangan-kenangan pada mereka yang hidup sesudahnya. Langit telah ada sejak lama, bumi juga telah ada sejak lama. Kekuatan alam dan hubungan sebab akibat diantara mereka secara alamiah masih sama sebagaimana pada saat diciptakan oleh Allah. Walaupun secara khusus ada hal-hal tertentu yang nampaknya belum pernah terjadi, namun secara umum hal yang sama masih terus berulang. Hati manusia, keinginan mereka, pengejaran mereka dan keluhan mereka masih sama seperti waktu yang lampau.
Hal-hal yang baru seringkali membuat kita manusia merasa bahwa kita telah menemukan hal baru sehingga kita berpuas diri dan cenderung tidak mengingat hal-hal yang secara fundamental dipegang.
Karena modernisasi dan penemuan-penemuan baru, manusia lupa ajaran-ajaran fundamental misalnya: Allah adalah pencipta langit dan bumi, Yesus Kristus adalah satu-satunya jalan keselamatan, Manusia telah jatuh di dalam dosa, Hanya ada satu cara penyelesaian dosa yaitu dengan percaya kepada Yesus Kristus dan bukannya melalui keselamatan dan bukan dengan perbuatan, Tidak ada Jalan keselamatn lain selain di dalam Yesus. Tidak jarang saat orang memiliki sesuatu hal yang baru dia cenderung untuk menganggap bahwa hal-hal lama yang sesungguhnya fundamental adalah tidak penting. Hal-hal baru juga seringkali membuat manusia mengharapkan kebahagiaan dan kepuasan dalam hal-hal yang baru itu dan bukan pada Allah.
Mathhew Henry berkata bahwa seharusnya hal-hal yang baru mempercapat manusia untuk mencari hal-hal spiritual. Karena di dunia tidak ada yang baru maka kita mencari hal yang baru yang dapat memberikan kepuasan. Hanya dengan percaya kepada Kristus maka Ia akan menjadikan kita ciptaan baru (2 Korintus 5:17) dan kita dapat melihat di langit yang baru. (Wahyu 21:5).
Bagian kedua adalah DI BAWAH MATAHARI. Ungkapan “di bawah matahari” ini muncul dalam kitab pengkhotbah sebanyak tidak kurang dari 20 kali. Secara logika sederhana, kita memahami bahwa jika mataharinya ada di atas bumi, maka berarti “di bawah matahari” yang dimaksudkan di sini adalah bumi.
Theologycal Wordbook of The Old Testament mengatakan bahwa kata-kata “di bawah matahari” ini berarti di bumi dan dapat disamakan dengan beberapa ayat alkitab seperti di bawah ini “ Sesungguhnya di bumi tidak ada orang yang saleh yang berbuat baik dan tak pernah berbuat dosa. (Pkh. 7:20) atau “Ketika aku memberi perhatianku untuk memahami hikmat dan melihat kegiatan yang dilakukan orang di dunia tanpa mengantuk siang malam, maka nyatalah kepadaku, bahwa manusia tidak dapat menyelami segala pekerjaan Allah, yang dilakukan-Nya di bawah matahari.” (Pkh. 8:16) Atau juga, “Berikanlah kebahagiaan kepada tujuh, bahkan kepada delapan orang, karena engkau tidak tahu malapetaka apa yang akan terjadi di atas bumi. (Pkh.11:2)
Jadi, kesimpulan sementara kita adalah, Hidup di bumi ini adalah hidup yang sia-sia. Kita menerima pendapat ini, tetapi harus berhati-hati dalam memahaminya agar kita tidak menjadi orang yang pesimis yang melihat dunia ini sebagai musuh untuk hidup. Jika kita menerima pendapat itu, kita tidak akan melakukan apa-apa di bumi dan kita akan berkata: Tidak usah Sekolah / Belajar, karena kepandaian itu adalah sia-sia (2:15-16). Tidak usah Bekerja, karena Hasil kerja orang yang rajin dan malas sama-sama akan punah (2:19-21). Tidak usah punya Rencana, Karena Rencana hanya ada di tangan manusia tapi keputusan ada di tangan Tuhan (2:26); Tidak usah berkompetisi, karena Kemajuan menimbulkan banyak iri hati daripada sukacita (4:4); Tidak usah Punya harta, karena harta menimbulkan ketamakan dan keserakahan (4:7); Tidak usah Terkenal / Masyur, karena Kemasyuran itu singkat, tidak pasti dan tidak kekal (4:16); Tidak usah Punya Uang, karena Uang tidak member kepuasan. Karena makin banyak uang hasilnya kepada orang lain juga (5:10); TidaK usah Punya keinginan, karena keinginan akan membawa pada kesengsaraan (6:9); Tidak usah Bersenang-senang, karena Kegirangan itu hanya untuk menutup kesusahan yang tak terhindari (7:6); Tidak usah punya pengharapan, karena pada akhirnya orang Fasik lebih dihargai daripada orang benar (8:10-11). (Sumber : 10 Macam kesia-siaan dalam Pengkhotbah , dari Buku Explore The Book-Ecclesiates).
Ungkapan “di bawah matahari rupanya adalah sebuah idiom dalam bahasa Ibrani yang secara figurative dapat berarti “ Hidup Tanpa Allah.” Hidup manusia yang tanpa Allah akan menemukan bahwa segala sesuatu yang dia lakukan adalah sia-sia. Ia tidak akan berusaha mencari hikmat, menemukan kebahagiaan, mengumpulkan kekayaan, belajar, karena pesismis bahwa segala sesuatu yang dilakukannya tentu tidak akan berguna. Tetapi saya mencatat pendapat lain yang mengatakan bahwa arti kata ‘di bawah matahari’ dapat diartikan sebagai “dunia fisik” yang kontras dengan “dunia spiritual.”
Seorang Rabi Yahudi menulis begini: Di dalam kitab Pengkhotbah, menulis bahwa “tidak ada yang baru di bawah matahari,” Yang dia maksudkan adalah Dalam dunia fisik, tidak ada yang diciptakan yang disebut baru, karena tidak ada sebuah penciptaan yang dapat disebut creation ex nihilo artinya diciptakan dari yang tidak ada. Semua itu hanyalah mentransfer energy dan mengumpulkan kembali bagian-bagian tertentu yang terpisah satu dengan yang lainnya ke dalam sebuah struktur yang berbeda. Segala bentuk hal modern seperti yang kita punya sekarang sudah eksis secara potensial. Dalam dunia spiritual di atas matahari, terdapat pembaharuan. Hanya pertobatan yang akan menjadikan segala hal menjadi diperbaharui.
Dari kutipan ini kita memahami bahwa di bawah matahari adalah dunia fisik juga. Jika demikian ketiga hal ini kita terima, bahwa di bawah matahari adalah dunia tempat kita tinggal yang hanya semnetara, kehidupan yang tanpa Allah, dan hal-hal fisik, maka sebaiknya kita tidak menaruh perhatian kita hanya kepada persoalan-persoalan fisik itu saja. Dengan merenungkan dua pernyataan ini, mari kita lihat kembali bahwa kepuasan diri yang sejati tidak akan pernah kita dapatkan di bawah matahari. Dunia fisik dan materi kita ini terus menerus memburu kepuasan, dan hal ini diuraikan dalam pasal 2. Apa yang akan membuat Orang tidak akan puas? Ada enam ‘W’. Wisdom : Orang tidak akan puas dengan mencari ilmu. Wine : Anggur / kemabukan pasal 2:3. “Aku menyelidiki diriku dengan menyegarkan tubuhku dengan anggur – sedang akal budiku tetap memimpin dengan hikmat – dan dengan memperoleh kebebalan sampai aku mengetahui apa yang baik bagi anak-anak manusia untuk dilakukan di bawah langit selama hidup mereka yang pendek itu.” Wall atau tembok atau rumah (2:4-6). Aku mengerjakan proyek yang besar / megah aku mengerjakan bagiku rumah-rumah yang dilengkapi dengan kebun-kebun, taman-taman dan kolam-kolam (NIV). Wealth / kekayaan(2:7-8). 1 Raja-raja 10:21 menyebutkan bahwa Salomo adalah orang yang “segala perkakas minumannya terbuat dari emas dan segala barang di gedung “Hutan Libanon” itu dari emas murni, tidak ada barang perak sebab perak tidak dianggap berguna pada zaman Salomo.” Belum lagi kereta kuda dan budak-budak yang dimilikinya. Tetapi toh itu membuatnya untuk menyelidiki harta ternyata tidak akan membawa kepuasan. Woman / Istri. Kita bandingkan 2:8. Aku mencari bagiku biduan-biduan dan biduanita-biduanita dan yang menyenangkan anak-anak manusia, yakni banyak gundik. Dan ini tidak tanggung-tanggung. Salomo punya 100 isteri. 1 Raja-raja 11:3. Ia mempunyai tujuh ratus isteri dari kaum bangsawan dan tigaratus gundik; Work, Pada zaman Salomolah Bait Allah yang termegah dibangun dan tidak ada yang lebih megah.
Pada bagian awal kita sudah melihat, Salomo seorang yang pada masa mudanya romantis, menasehati banyak orang dengan kata-kata hikmat, punya segalanya, tetapi pada masa tuanya dia menyesal. Apa artinya bagi kita sekarang di tahun yang baru? Hidup manusia akan terus berjalan tetapi Kepuasan hidup yang sejati dan hal-hal yang baru tidak akan kita dapatkan di bawah matahari. Tetapi Alkitab menyatakan dengan tegas kepada kita: Yesaya 65:17-18 ; “Sebab sesungguhnya, Aku menciptakan langit yang baru dan bumi yang baru; hal-hal yang dahulu tidak akan diingat lagi, dan tidak akan timbul lagi dalam hati, tetapi bergiranglah dan bersorak-sorak untuk selama-lamanya atas apa yang Kuciptakan.” Atau ayat ini, 2 Korintus 5:17 : “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru; yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.”
Di bawah matahari, tidak ada sesuatupun yang baru. Segala yang ada dan segala pekerjaan memiliki “bahan baku” yang sudah ada yakni yang diciptakan oleh Allah. Pembaharuan akan terjadi saat kita percaya kepada Allah. Perhatikan kata ‘baru’ yang dipakai dalam 2 Korintus 5:17 dalam bahasa yunani yang dipakai adalah kata “kainos” yang berarti baru dan tetap segar, tidak akan pernah layu atau luntur. Sedangkan kata lain dari baru yaitu kata “neos” yang berarti segera luntur. Hanya di dalam Allah saja kita akan merasakan baru yang sesungguhnya. Jangan hanya melihat tahun baru sebagai hanya eksistensinya. Jika kita melihatnya demikian, maka tahun 2014 akan eksis, tapi kita kehilangan esensi tahun baru ini. Itulah kenyataan di bawah matahari. Tapi esensi Tahun ini. Hakikatnya Tahun-tahun hidup kita itu apa. Bukan keberadaan Tahun-tahun kita itu apa, tapi keberadaan TUHAN di dalam TAHUN tahun kita. Hidup tanpa Kristus adalah hidup tanpa makna. Bukankah Tuhan Yesus mengingatkan kita, di luar aku Kamu tidak dapat berbuat apa-apa (Yoh. 15:5b). Hanya Allah yang akan menciptakan sesuatu yang benar-benar Baru. Tuhan memberkati. [MT]