Sabtu, 22 Oktober 2011
MENGHITUNG DALAM BAHASA IBRANI
Untuk pemula seperti saya, belajar bahasa Ibrani itu sangat menyenangkan. Mungkin berbeda dengan mereka yang sudah dalam tahap advance, calon doktor spesialis Bahasa Ibrani yang menggumuli dan belajar dan atau bahkan mengajar bahasa Ibrani. Cara sederhana saya untuk menghafal angka satu sampai 10 dalam bahasa Ibrani adalah dengan mengasosiasikan angka 1-5 dengan nama-nama hari, dan menghafal 6-10 dengan kata “sisi setia. “
Mari kita mulai. Sebenarnya menurut hasil tanya saya ke beberapa orang, “apa hari pertama dalam satu minggu?” rata-rata mereka menjawab “hari senin.” Kalau anda termasuk orang yang punya jawaban bahwa hari pertama dalam satu minggu adalah ‘senin,’ lupakan itu, dan anda sekarang bisa menghitung dalam bahasa Ibrani angka 1-10. Anggap saja bahwa hari pertama dalam minggu itu adalah minggu. Ini didasarkan pada literatur Kristen tua bernama “Alkitab.” Menurut Alkitab, Markus 16:2 dan Lukas 24:1, Yesus bangkit pada “hari pertama minggu itu” yaitu Minggu. Nama lain minggu adalah ahad. Ahad adalah hari pertama minggu. Dan karena itu Ehad adalah angka satu dalam bahasa Ibrani. Hari kedua adalah Senin, dan Senayim adalah angka dua dalam bahasa Ibrani. Selasa adalah hari ke tiga dan Selosah adalah angka tiga. Rabu adalah hari ke empat, dan arba’ah adalah angka empat dalam bahasa Ibrani. Kamis adalah hari ke lima dan Khamisah adalah angka lima. Ringkasannya adalah sebagai berikut
Ahad Ehad 1
Senin Senayim 2
Selasa Selosah 3
Rabu Arba’ah 4
Kamis Khamisah 5
Maka kita sudah bisa menguasai angka satu sampai lima dalam bahasa Ibrani, hanya dengan menghitung nama-nama hari dimulai dari ahad.
Terus, bagaimana kita bisa menghafal angka enam sampai sepuluh? Saya menghafalnya dengan kata “sisi setia” Ini singkatan nama depan dari huruf-huruf itu. Si = enam ; Si = tujuh; Se = Delapan; Ti=Sembilan; A = Sepuluh.
Si Sisah 6
Si Sib’ah 7
Se Semonah 8
Ti Tis’ah 9
A Asyarah 10
Sekarang, mari kita hafalkan senin sampai jumat dan “sisi setia” dan kita sudah berhasil menghafal angka 1-10 dalam bahasa Ibrani.
Selain itu, dalam bahasa Ibrani, setiap huruf mewakili satu angka. Untuk belajar itu, ada baiknya kita ikuti training singkat bahasa Ibrani. Selamat mencoba angka 1 dan 10 dengan mengingat ahad sampai kamis dan sisi setia.
Minggu, 24 Juli 2011
MEMBUNUH KAMBING HITAM BERNAMA "AKTA MENGAJAR"
Ketika musim penerimaan siswa baru sudah datang, sekolah-sekolah mulai berdandan dengan spanduk-spanduk selamat datang untuk siswa-siswi baru. Tidak terkecuali, guru-gurupun mulai berbenah karena masa liburan rupanya tidak lama lagi akan berakhir. Angka kelulusan tahun 2011 ini cukup memacu semangat para guru untuk berjuang dan terus berjuang lagi. Seandainya angka kelulusan 2011 tidak seperti tahun ini, akan ada banyak komentar. Syukurlah, tahun ini nyaris tidak ada komentar dan kambing hitam karena angka kelulusan NTT memuaskan. Bila tidak, akan banyak komentar yang ditemui. Bisa jadi, komentar-komentar itu menyangkut kegagalan sekolah mempersiapkan siswa-siswanya menuju Ujian Nasional, tingkat kesukaran soal ujian Nasional, sampai masalah alokasi anggaran untuk pendidikan. Ini alasan-alasan yang cukup rasional. Alasan lain yang tidak kalah rasionalnya adalah karena faktor guru. Kualitas guru yang mempersiapkan siswa di sekolah acapkali divonis sebagai faktor penentu keberhasilan. Akan banyak kebahagiaan jika seluruh siswanya naik kelas dan lulus Ujian Nasional. Namun, tidak sedikit yang merasa kecewa, marah dan bahkan berusaha melempar kesalahan jika pencapaian target kelulusan Ujian Nasional tidak seperti yang ditargetkan. Siswa yang dinilai kurang mempersiapkan diri, orangtua yang tidak mendorong anak belajar, bahkan faktor geografis dan gizi juga adalah faktor-faktor yang kerap mendapat dakwaan yang sama. Terus terang, tidak ada seorang guru pun yang mau dianggap sebagai penyebab merosotnya mutu pendidikan di sekolah. Guru honor sekalipun.
Mendengarkan percakapan di antara para guru bab keberhasilan siswa atau saat diskusi-diskusi tentang mutu guru dalam seminar-seminar pendidikan yang belakangan menjamur, menghasilkan beragam tanggapan. Di antara tanggapan-tanggapan itu, satu yang menarik adalah usaha untuk berspekulasi dan menyelamatkan diri dan bahkan cenderung mencari “kambing hitam.” Salah satu di antara “kambing hitam” itu adalah mereka yang mengajar dengan bermodalkan ijazah akta mengajar. Tudingan terhadap sarjana-sarjana non-kependidikan yang banting stir ke arah pendidikan ini rata-rata dibangun atas beberapa alasan.
Pertama, mereka tidak memiliki latar belakang kependidikan. Sarjana non-kependidikan yang memilih menjadi guru mungkin saja menyelesaikan studinya selama empat tahun atau lima tahun. Sepintar-pintarnya seorang calon sarjana non-kependidikan, ia pasti akan lulus minimal tiga tahun setengah ke atas. Walaupun demikian, landasan ilmu yang dimilikinya bukan tentang pendidikan. Para sarjana pendidikan, juga menyelesaikan kuliah mereka dalam kurun waktu yang relatif sama dengan mereka yang non-kependidikan. Tetapi karena sejak mulai kuliah mereka telah belajar tentang pendidikan, maka mereka memahami teori tentang pendidikan, dan bahkan setidak-tidaknya memiliki kesempatan enam bulan untuk melakukan Program Pengalaman Lapangan (PPL), walaupun seringkali tidak betul-betul utuh enam bulan persis. Dalam hal ini, perlu diakui bahwa landasan teori dan ilmu-ilmu pendidikan para sarjana kependidikan adalah bekal yang cukup besar untuk terjun dalam pekerjaan mereka sebagai guru. Kendatipun tidak dapat dipungkiri kerapkali ada juga sarjana pendidikan yang tidak memilih guru sebagai pekerjaan yang perlu ditekuninya.
Kedua, mereka hanya orang-orang yang bimbang. Ini adalah tudingan yang paling banyak dialamatkan kepada para sarjana non kependidkan. Diduga, mereka sudah “tidak laku” dengan gelar dan latarbelakang ilmu yang dimilikinya. Pasca menamatkan sarjana non-kependidikan, mereka mereka telah berusaha mencari pekerjaan kesana- kemari. Sayangnya, mungkin saja mereka tidak diterima dimana-mana. Namun saat melihat bahwa pekerjaan guru adalah pekerjaan yang menjanjikan secara finansial akhir-akhir ini, maka merekapun ramai-ramai ingin menjadi guru. Padahal dulu, cita-cita menjadi guru yang dimiliki oleh teman-teman mereka ditertawakan dan dihina. FKIP dulu katanya kurang diminati. Tetapi tidak untuk akhir-akhir ini. Bahkan bagian sarana prasarana di FKIP di kampus-kampus swasta pun terpaksa harus menambah budget untuk kursi dan ruangan serta fasilitas-fasilitas tambahan untuk calon-calon guru itu. Demikian pula, yayasan-yayasan yang dulunya membangun Sekolah Tinggi non-kependidikan, sekarang secara sadar telah membaca pasaran itu dan mulai merintis Sekolah Tinggi Ilmu Kependidikan. Di mana sarjana-sarjana non-kependidikan itu saat dulu orang lain berusaha untuk kuliah di FKIP? Kalau seandainya mereka memang berniat menjadi guru sejak awalnya, mengapa mereka tidak memilih FKIP sejak semula? Mengapa mereka malah memilih Pertanian, Peternakan, Hukum, Sains, Tehnik, Sosial, Agama atau yang lainnya? Mengapa mereka baru ramai-ramai menyerbu LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan) saat sertifikasi guru begitu menggiurkan, saat kesra guru mulai diperhitungkan, saat dana BOS mulai digulirkan, dan saat tunjangan untuk daerah terpencil dan perbatasan untuk para guru digiatkan? Kalau sekarang sarjana-sarjana non-kependidikan itu mengambil akta, maka tudingan kepada mereka adalah tepat jika disebut bahwa merekalah orang-orang bimbang yang tidak konsisten dengan pilihan studi mereka sejak semula. Bahkan kalau benar dugaan bahwa para sarjana non-kependidikan ini adalah orang yang mau menjadi guru karena tertarik dana sertifikasi, kesra, BOS, dan tunjangan-tunjangan, maka tidak salah kalau mereka dituduh sebagai orang yang hanya mau mencari uang tanpa memikirkan tentang proses pembelajaran yang diajarkan pada para calon guru.
Dua landasan ini setidaknya membuka pemikiran terhadap output dari hasil pendidikan jika dibina oleh orang-orang yang non-kependidikan dan hanya ingin mencari akta mengajar. Karena itu semakin tegas tuduhan kepada sarjana non-kependidikan yang menjadi guru yang dapat dikristalkan dengan beberapa pernyataan berikut. Sarjana non-kependidikan yang mengajar dengan modal akta akan menghasilkan siswa-siswa yang tidak menguasai materi dengan baik. Mereka tidak mengerti kurikulum, tidak memahami silabus, tidak bisa menyusun prota dan promes, apalagi menulis RPP dan memberikan evaluasi yang bermutu. Sesudah evaluasi, mereka tidak mengerti bagaimana melakukan analisa butir tes. Mereka bahkan buta dengan SKL. Bahkan terhadap MBS mereka harus bertanya, apa itu? Kalau saja di sekolah ada orang-orang model ini, bagaimana outputnya. Toh mereka hanya mengharapkan sampai waktunya mereka memperoleh gaji dua kali lipat gaji pokok, tunjangan karena kondisi geografis tertentu atau dana BOS cair. Stigmatisasi model ini telah diterima oleh sarjana-sarjana non-kependidikan yang menjadi guru. Bahkan kuping panas, muka yang memerah dan detak jantung yang berdenyut kencang menahan emosi saat menerima stigma itu terpaksa harus dilakukan.
Mengapa stigma terhadap sarjana non-kependidikan dengan akta mengajar di tangan mereka begitu negatif? Publik bisa saja melakukan stigmatisasi pada para guru dengan latarbelakang non-kependidikan dengan akta mengajar. Bahkan sesama guru di sekolah dengan friksi non-kependidikan dan kependidikan sah-sah saja saling menjatuhkan. Namun, rasionalitas harus diutamakan. Bukankah logika harus dipakai untuk menemukan sebuah solusi dan bukannya menuduh membabi buta?
Sarjana non-Kependidikan dangan akta mengajar di tangannya seringkali menerima citra negatif atas diri mereka. Setidaknya hal pertama adalah ternodanya citra akta mengajar oleh ulah oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Mereka hanya menginginkan akta mengajar demi alasan mencari dan mendapatkan pekerjaan. Mereka ingin memperoleh akta mengajar bukan karena motivasi mendapatkan SIM (Surat Izin Mengajar) tapi karena motivasi ingin mendapat pekerjaan semata. Padahal pada LPTK yang betul-betul mengutamakan mutu, calon penerima ijazah akta mengajar adalah mereka yang betul-betul telah bekerja sebagai pengajar namun secara legalitas belum dimiliki. Kecuali, LPTK yang hanya menginginkan uang dari calon penerima ijazah akta yang tanpa tedeng aling-aling menerima serampangan mahasiswa tanpa seleski apakah ada rekomendasi bahwa calon mahasiswa itu telah bekerja sebagai guru atau tidak. Jika hal ini terjadi, outputnya adalah kualitas pendidikan di sekolah akan semakin memburuk. Stigma akan semakin jelek diberi kepada mereka karena mereka ternyata sama sekali tidak mengerti tentang bagaimana mempersiapkan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran.
Selain itu, organisasi tertentu yang mengeluarkan akta mengajar turut menodai citra guru sarjana non-kependidikan yang berakta. Seharusnya, akta mengajar hanya diberikan oleh LPTK. Lebih baik lagi LPTK yang terakreditasi dan resmi serta berproses jelas dan bukan semata berorientasi hasil (Ijazah akta) di tangan. Tetapi, rupanya ada ijazah akta yang bisa didapat dengan cara instan dan murah, cenderung juga murahan. Bahkan dalam waktu empat belas hari, satu bulan, atau tiga bulan, seseorang sudah memiliki ijazah akta mengajar di tangannya. Bahkan ada yang hanya membayar dan mendapat ijazah akta tanpa tatap muka sama sekali. Kalau ini terjadi, hanya Tuhan, Setan dan penerima akta model itu saja yang akan tahu, siapa dirinya sesungguhnya. Organisasi-organisasi ini telah turut membuat pelecehan dan bahkan perkosaan terhadap martabat profesi guru yang mulia. Bahkan mereka telah turut menodai niat luhur orang-orang yang dengan tulus mengabdikan dirinya untuk pendidikan. Organisasi-organisasi ini bahkan tidak tahu atau mungkin pura-pura tutup telinga bahwa akta mengajar sudah tidak dibuka lagi. Mereka masih saja gencar mempromosikan diri dan bahkan mengiklankan pemberian akta mengajar di iklan-iklan baris surat kabar. Bagaimana publik mau menghargai para penerima akta mengajar kalau masih ada kesan bahwa akta mengajar itu dapat diperoleh dengan cara murahan dan tanpa membekali penerimanya sedikitpun dengan ilmu-ilmu kependidikan.
Hemat saya, dualisme antara guru yang sarjana non-kependidikan dan sarjana kependidikan sebaiknya dihilangkan. Paling tidak dengan alasan yang lebih manusiawi. Bukankah kebutuhan guru hingga saat ini masih cukup besar. Dibukanya banyak sekolah hingga ke desa-desa membutuhkan tambahan tenaga guru. Jika motivasi utama seorang guru sarjana kependidikan sama dengan seorang guru sarjana non-kependidikan yakni melibatkan diri untuk mengajar, mendidik dan membimbing, apa yang dapat dipersoalkan? Adalah setali tiga uang, jika guru yang sarjana pendidikan memiliki motivasi semata-mata demi sertifikasi, tunjangan, atau insentif lain dan tidak mempersiapkan diri dengan baik untuk mengajar. Mereka tidak dapat dibedakan dengan guru non-kependidikan yang bermotivasi mendapat bayaran semata. Ini memang persoalan pelik.
Guru sarjana non-kependidikan yang secara serius mengambil akta mengajar di LPTK terakreditasi mendapat perlakuan yang mirip dengan mereka yang sarjana kependidikan. Mereka harus memasuki kelas-kelas regular selama satu setengah tahun, mengikuti tatap muka hingga minimal 13 kali, mengikuti Program Pengalaman Lapangan (PPL) dan menulis laporan. Memang, jika diakui, ini tidak sampai sama persis dengan sarjana non Kependidikan yang menyelesaikan empat tahun untuk S.Pd mereka. Sangat na’if jika mereka dilecehkan sama dengan mereka yang hanya berakta ‘ecek-ecek.’ Di satu sisi, seorang guru dengan latar belakang sarjana non-kependidikan akan menjadi sangat sombong bahkan cenderung tidak tahu diri jika ia berhenti belajar dan menganggap diri bahwa ia sudah mengetahui segalanya “hanya” karena ia telah mengantongi akta mengajar. Panggilan itu kerapkali berproses. Ada panggilan yang disadari saat dijalani. Karena itu berhenti mencari kambing hitam adalah tindakan bijak. Keistimewaan seorang guru toh tidak terletak semata pada ijazahnya, tapi sejauhmana ia menjalani dan menghidupi kompetensinya sebagai guru.
Sabtu, 04 Juni 2011
BUPATI DAN KEPALA DINAS BERHATI HAMBA
Saya dapat cerita tentang dua orang ini dari sumber yang bisa dipercaya. Yang pertama, sang Bupati. Informasinya saya dapat dari buku otobiografi sang bupati. Buku itu diberikan secara langsung ke saya dalam sebuah pertemuan pribadi dengan beliau di rumah pribadinya di bilangan Tuak Daun Merah,Kupang. Dari buku itu saya dapat cerita sang bupati tentang kebiasaannya yang dilakukan sejak muda. Sang Bupati adalah aktivis pelayan Sekolah Minggu yang di lingkungan Gereja Masehi Injili di Timor dikenal dengan sebutan PAR (Pelayanan Anak dan Remaja), sekarang. Dulunya bernama KAKR (Kebaktian anak dan Kebaktian Remaja). Hal yang luar biasa saya dapatkan, Sang bupati, yang sekarang telah memantan itu adalah seorang pelayan Sekolah Minggu. Rela mengorbankan waktu dan tenaganya untuk bersama pemuda-pemudi yang lain menghamba kepada Tuhan dengan melayani anak-anak. Dan hamba itu adalah seorang Bupati yang sekarang sudah mantan. Orang besar seperti beliau kok mau menghamba melayani anak-anak yah? Dan dia adalah Ir. Ansgerius Takalapeta. Mantan Bupati Alor
Orang kedua ini benar-benar adalah orang besar. Badannya besar dan jabatnnya juga besar. Beliau punya postur yang tidak sama dengan orang kebanyakan, dan menduduki jabatan kepala Dinas pula. Cerita yang membuat saya menyimpulkan bahwa beliau ini adalah pemimpin berhati hamba saya dapatkan langsung dari mulutnya sendiri. Beberapa kali saya mengikuti seminar yang mana beliau pembicaranya. Kata-katanya selalu "berbau" rohani dan pengalaman-pengalamannya luar biasa. Ia bercerita, ia dari desa di Alor(sama dengan Pak Ans-sang Bupati) dan karena kemurahan Tuhan bisa kuliah di Kupang, pernah mengajar di Kupang dan menjadi Kepala sekolah negeri unggulan, bahkan akhirnya menjadi kepala dinas PPO. Tapi sejak muda, sampai menjadi kepala dinas, beliau setia menjadi guru sekolah Minggu. Beliau juga tetap menjadi pemimpin paduan suara atau koor di gereja, dan majelis gereja sampai berperiode-periode. Dia adalah Drs. Maxwel Halundaka. Pribadi yang luar biasa.
Koq mau ya? Dua orang ini terus melayani dan setia dengan pendidikan pada anak-anak sampai mereka tua? Apa tidak malu, kepala dinas masih mimpin koor dan jadi guru Sekolah Minggu? Jawaban pak Max sederhana, Kenapa harus Malu, saya di gereja bukan kepala Dinas. Di gereja tidak ada kepala dinas. Ada anak Tuhan.
Beribu tanya seolah berjuang di dalam kepala saya? Kenapa mereka mau? Bagaimana tanggapan bawahan mereka saat melihat mereka terus melayani anak-anak? Apa metode mereka? Kenapa harus dua-duanya orang desa? Kenapa dua-duanya ini orang Alor? Dan ribuan pertanyaan lain.
Satu kesimpulan yang sederhana dan pelajaran saya peroleh hari ini. Mereka orang-orang yang berhati hamba. Orang besar yang demikian yang dicari gereja. Trimakasih Pak Ans dan Pak Max.
Sabtu, 26 Maret 2011
PELETERKAH......?
Mataku tidak berkedip, sementara pikiranku menimbang-nimbang penuh penilaian dan berusaha menebak-nebak apa isi kepala si peleter itu. Kisah kehebatannya dalam pekerjaan di kantor sudah mengalir deras dari mulutnya ibarat tumpahan air kotor ke selokan. Kini dia begitu fasih menguraikan kehebatannya di tengah-tengah keluarga dan teman-temannya. Hanya "ya" dan "hmmmm" yang keluar dari mulutku sebagai bentuk penghargaan kepadanya. Mungkin demikianlah orang-orang tertentu yang kita temui. Mereka sangat menikmati, menjadi orang-orang yang dipuji oleh karena cerita-cerita mereka. Mulai dari kefasihan mereka sampai kepada kebohongan mereka yang terbalut dalam satu kisah yang bertema "kebenaran." Memang, tipe orang-orang demikian tidak luput dari hidup kita. Mereka ada di sekeliling kita.
Yang saya maksud adalah demikian. Ada orang yang begitu bangga dan bercerita kepada sesamanya tentang dirinya, keluarganya, pekerjaannya, sampai kucing dan tissuenya saja diceritakannya sebagai kebanggaan kepada orang lain.
Yang saya maksud adalah demikian. Ada orang yang begitu bangga dan bercerita kepada sesamanya tentang dirinya, keluarganya, pekerjaannya, sampai kucing dan tissuenya saja diceritakannya sebagai kebanggaan kepada orang lain.
Senin, 07 Maret 2011
2X WISUDA, 2 KAMPUS, 2 JURUSAN BEDA = 1 GELAR
Gelar dan wisuda adalah identik. Orang yang sudah diwisuda biasa akan ditanya, gelar apa yang diperolehnya. S.Pd, S.Sos, SH, S.Si, S.Pt, SP, ST, S.Kom, S.Ag, S.Th atau es-es yang lain. Jika ia satu kali wisuda. Ini anggapan bahwa sekarang diploma tidak diwisuda lagi di Universitas. Jika dua kali wisuda dia akan menambah gelar di belakangnya satu lagi, entah itu satu S lagi atau bahkan M.
Sedikit berbagi pengalaman. Tahun 2005 menyelesaikan studi di Yogyakarta dengan mendapat gelar es di belakang nama saya. Lalu mulai mengabdi di Kupang di bidang pendidikan, suatu bidang yang berbeda dengan gelar S yang saya terima. Empat tahun mengabdi di bidang pendidikan sebagai pengajar, lalu tertarik untuk mendalami tentang pendidikan. Syukur-syukur nanti akan mendapat pekerjaan tetap dan terjamin untuk jalur pendidikan. Hitung-hitung itu bonusnya. Lalu, di satu-satunya Universitas Negeri di Nusa Tenggara Timur saya memutuskan untuk kuliah akta lagi kendatipun sedang mendalami juga pendidikan Kristen di jenjang di atas es untuk mendapat gelar yang kedua. Tapi kuliah kali ini di Undana bukan untuk sebuah gelar. Untuk sebuah kertas bernama ijazah yang bertuliskan Akta Mengajar IV. Di kampus lain atau organisasi lain mungkin mendapatkan akta bisa hanya tiga, enam atau sembilan dan duabelas bulan tapi di UNDANA demi kemantapan satu tahun setengah untuk mendapatkan akta mengajar IV.
Tanggal 26 Februari 2011 adalah hari wisuda kedua saya di UNDANA. Hari wisuda untuk sebuah kertas bernama akta. Ya dua kali wisuda di dua kampus yang berbeda dengan dua jurusan yang berbeda tanpa gelar tambahan dengan bonus rasa syukur segudang. Trimakasih Tuhan. Mudah-mudahan wisuda ke tiga dan seterusnya ada tambahan gelar. Tuhan Tolonglah.
Sedikit berbagi pengalaman. Tahun 2005 menyelesaikan studi di Yogyakarta dengan mendapat gelar es di belakang nama saya. Lalu mulai mengabdi di Kupang di bidang pendidikan, suatu bidang yang berbeda dengan gelar S yang saya terima. Empat tahun mengabdi di bidang pendidikan sebagai pengajar, lalu tertarik untuk mendalami tentang pendidikan. Syukur-syukur nanti akan mendapat pekerjaan tetap dan terjamin untuk jalur pendidikan. Hitung-hitung itu bonusnya. Lalu, di satu-satunya Universitas Negeri di Nusa Tenggara Timur saya memutuskan untuk kuliah akta lagi kendatipun sedang mendalami juga pendidikan Kristen di jenjang di atas es untuk mendapat gelar yang kedua. Tapi kuliah kali ini di Undana bukan untuk sebuah gelar. Untuk sebuah kertas bernama ijazah yang bertuliskan Akta Mengajar IV. Di kampus lain atau organisasi lain mungkin mendapatkan akta bisa hanya tiga, enam atau sembilan dan duabelas bulan tapi di UNDANA demi kemantapan satu tahun setengah untuk mendapatkan akta mengajar IV.
Tanggal 26 Februari 2011 adalah hari wisuda kedua saya di UNDANA. Hari wisuda untuk sebuah kertas bernama akta. Ya dua kali wisuda di dua kampus yang berbeda dengan dua jurusan yang berbeda tanpa gelar tambahan dengan bonus rasa syukur segudang. Trimakasih Tuhan. Mudah-mudahan wisuda ke tiga dan seterusnya ada tambahan gelar. Tuhan Tolonglah.
PENYIAR JUGA MANUSIA
Pasanglah telinga anda pada satu station radio, dan anda tidak hanya akan mendengarkan lagu-lagu, iklan-iklan spot, ad-libs dan jingle station, tapi juga suara orang yang bercuap-cuap di sana. Ya, penyiar radio. Kalau saja seorang penyiar membawakan sebuah acara secara baik dan sudah menjadi ikon dari sebuah program, sang penyiar bisa menuai banyak hal. Ia bisa menuai decak kagum dari pendengarnya. Ia bisa memanen banyak pendengar, menerima banyak SMS atau telfon dari pendengarnya, menuai kunjungan dari para fans, bahkan beberapa pendengar tidak tanggung-tanggung mengirimkan makanan atau bahkan ada sedikit uang untuk sang penyiar. Kalau mau, dia juga bisa memiliki selingkuhan lebih dari satu karena fans-fansnya.
Penyiar radio memang sebuah profesi yang menarik. Di mata pendengar, penyiar radio adalah orang yang pintar, karena ada banyak hal yang dibicarakannya Nampaknya ia menguasai banyak topik. Baru saja jam sebelumnya ia bicara tentang ekonomi, sejam kemudian sudah beralih topik ke teknologi, sebentar lagi ke kesehatan dan sesekali bicara politik. Penyiar radio adalah orang yang menyenangkan karena ada humor-humor segar yang seringkali renyah untuk kuping pendengar. Bahkan kadang romantis karena mendramatisir sesuatu dan berbicara di sela-sela iringan lagu. Wanita-wanita mengaguminya. Entah muda entah yang sudah tua dan bersuami. Pria-pria menyenanginya karena pembawaannya. Dia bisa menjadi teman mengobrol yang baik di telfon dan santun sekali dalam berkata-kata. Cenderung ia ramah.
Tapi para pendengar tidak menyadari bahwa penyiar juga adalah manusia biasa. Tuntutan peran sebenarnyalah yang membuat dia menjadi romantis, pintar, humoris, kebapakan atau keibuan, intelek, hangat dan akrab. Memang penyiar kadang dituntut untuk tidak menjadi dirinya sendiri. Jangan kaget kalau menemui bang Anu, penyiar di radio A yang suaranya romantis, akrab dan hangat itu ternyata tidak sebanding dengan wajahnya yang amburadul, atau bahkan cacat. Atau mbak Ani di radio B yang lemah lembut di radio ternyata tempramental, pemarah, berpakaian ala kadarnya. Atau Mas Anu di radio C yang selalu membawakan acara dengan lagu-lagu oldies dengan suara bass yang bagus ternyata adalah seorang pemuda duapuluhan tahun. Atau mbak Rini di acara talk-show politik itu tidak tamat SMA. Cuma karena dia banyak membaca, jadilah dia host.
Kalau saja ada lagu berjudul “Rocker juga manusia,” maka penyiar juga sesungguhnya manusia. Manusia biasa yang punya banyak masalah dan sering menangis. Tetapi smiling voice-nya harus tetap terdengar di kuping pendengarnya. Entah setelah suara tidak on-air lagi dia harus menangis lagi karena teguran keras dari Station Manajer (SM) atau Program Directornya (PiDi) atau Music Director (eMDi), dia harus tetap tegar dan berpura-pura tidak ada masalah saat DJ Talk berikut karena tuntutan peran. Dia juga bisa saja siaran dengan belum mandi tapi dia menyarankan pendengarnya untuk mandi karena kesehatan kulit itu penting. Ini biasanya terjadi dengan penyiar subuh. Kalau ini pengalaman pribadi. Hehehee.
Penyiar akan minimal kena tegur kalau kebanyakan ngomong kalimat yang basa-basi tapi basi sekali. Terlalu banyak pake “filler” yang kurang penting seperti “yang namanya,” “ya,” “nah,” dan lain-lain. Dia juga akan ditegur kalo kebanyakan ngomong daripada lagunya. Dia juga akan jatuh point kalo hanya mengandalkan sms dari pendengar tanpa tau arah siaran utamanya. Dia juga tidak boleh pilih kasih saat terima telfon. Buanyak sekali tuntutan penyiar. Dan jangan cepat marah kalau kebetulan seorang penyiar salah ucap. Maklum di depannya ada dua komputer, satu mixer, mike dan hybrid telfon juga sms yang harus di baca juga sejumlah ad-libs. Jadi kerjaannya banyak sehingga kalau seolah ngelantur berarti ada yang bermasalah. Entah itu komputernya atau telfonnya atau mixernya atau yang lain. Belum lagi penganggu-pengganggu yang masuk keluar studio saat siaran on air tanpa tahu bahwa penyiar bisa terganggu.
Lain kali kalau anda dengar radio, saran saya ingatlah bahwa penyiar juga manusia. Jangan sampai mengaguminya berlebihan. Ngefans-lah dengan dia. Bangunlah keakraban dengan dia. Tapi jangan sampai anda membayangkan dia tinggi, cakep, dan kenyataan saat ketemua dia kurus dan sederhana. Cantik dan menawan, kenyataan setelah ketemua ia memang cantik tapi buta dan gemuk sekali. Kenyataan, penyiar juga manusia.
TIMOR KO'UK?
Rasanya akan menjadi sebuah bahan tertawaan bahkan olok-olokan kalau seseorang berdiri di suatu forum di Kupang dan dengan logat Timornya memperkenalkan diri bahwa dia adalah orang Timor dari pedalaman SoE. Orang akan tertawa lepas, atau senyum sinis sambil dari dalam hatinya berucap, “Dasar Timor Ko'uk.” Ini sebuah ungkapan negatif untuk menyebut orang Timor.
Memahami kata Ko'uk, saya teringat cerita seorang rohaniawan yang sekarang sudah menjadi anggota dewan provinsi NTT. Beliau adalah orang Timor. Kenapa orang Timor disebut Ko'uk digambarkan dalam cerita berikut. Alkisah katanya, suatu hari ada seorang bapak orang Timor yang tinggal di Baun sebuah tempat yang agak jauh dari Kupang jika ditempuh dengan jalan kaki. Hari itu ia memutuskan untuk memetik kelapa muda miliknya dan memikul duapuluh buah dan berjalan kaki menuju pasar Inpres Naikoten di Kupang untuk dijualnya. Panas matahari pagi yang mulai meninggi tidak menghalangi niatnya untuk berjualan kelapa muda. Sesudah menempuh perjalanan panjangnya, sampailah dia di pasar dengan peluh yang memenuhi sekujur tubuhnya. Baru saja duduk dan menjajakan dagangan kelapa mudanya, tiba-tiba sebuah mobil mewah berdiri tepat di depannya. Pemilik mobil turun dan bertanya kepadanya, “bapak, berapa harga satu butir kelapa.” (tentu dalam logat Kupang.) Lalu bapak ini menjawab “duaribu.” Dan pemilik mobil itu meminta untuk membeli semua kelapa muda itu. Dupuluh buah yang dibawanya dibeli semuanya. Tapi si bapak menolak dan berkata, “Pak, saya baru datang. Nanti kalau bapak beli semua, saya jualan apa hari ini?” Bodoh sekali bapak ini. Dia tidak bisa berpikir bahwa dengan terbelinya duapuluh buah kelapanya, berarti dia tidak harus bersusah-susah lagi menunggu pembeli. Logikanya kurang main. Bahkan kalau dibilang jongkok. Otaknya ada pada dengkulnya, begitu istilah yang tepat untuk bapak ini. Dan istilah yang tepat untuk dia adalah, dia adalah si Timor Ko'uk. Si Timor yang Bodoh.
Sebuah stigma bagi orang Timor selalu adalah bahwa orang Timor itu Ko'uk. Bodoh. Apa betul stigma itu masih melekat sampai sekarang? Kalau iya, lihatlah kenyataan. Banyak orang dari suku Timor yang saya dengar dan bahkan saya kenal menyelesaikan studi Doktoralnya di luar negeri dan bangga bahwa dia adalah orang Timor. Banyak orang dari suku Timor yang duduk di bangku-bangku kuliah di pulau Jawa, bahkan pulau-pulau lain. Universitas-universitas di Kupang juga masih diisi dengan orang-orang yang bermarga Timor.
Sayangnya, tidak semua orang Timor bangga menjadi orang Timor. Mereka lebih bangga kalau berbicara dalam logat Jawa, malu kalau menggunakan bahasa daerah mereka sendiri, dan bahkan malu memperkenalkan diri sebagai orang Timor dari soE. Apalagi dari Kolbano. Hemat saya, orang Timor sama saja dengan orang dari suku-suku lain. Jangan berpikir, orang-orang di Jawa semuanya bisa berbahasa Indonesia. Sama dengan orang di pedalaman Nuapin di Mollo Utara atau di pedalaman Oinlasi. Hanya, orang-orang Jawa di pedalaman seperti di dukuh Belang di kecamatan Patuk Gunung Kidul Yogyakarta atau di dukuh Krajan di Mojosongo Boyolali tempat saya pernah mengabdi bangga menjadi orang Jawa. Jati diri orang akan semakin terbangun kalau ia bangga akan itu. Asal saja ia tidak sombong dan menganggap sukunya lebih unggul dari suku lain, merendahkan suku lain dan membangun opini negatif untuk suku itu.
Hemat saya, supaya tidak disebut Timor Ko'uk, belajarlah. Isilah otak dengan banyak ilmu. Carilah pengalaman. Tapi sadarlah sesadar sadarnya bahwa saya tetap orang Timor. Saya bangga menjadi orang Timor. Suku saya tidak lebih jelek dari suku lain dan bukan suku yang paling hebat dari suku lain. Saya harus tetap menggunakan bahasa Timor dan tidak menganggap bahwa saya orang terhebat di kampung. Meminjam istilah Pak Ans Takalapeta, mantan Bupati Alor, salah satu tokoh idola saya: “orang yang kehilangan jati diri sebenarnya sudah mati sebelum kematian sesungguhnya datang menjemput.”
Biarkanlah stigma Timor Ko'uk ada. Asal ada fakta bahwa si Timor itu tidak Ko'uk lagi.
SEBUT AKU “KRISTEN”
Menyebut diri sebagai “Kristen” bukannya tanpa konsekuensi. Bukan saja pada akhir-akhir ini saat toleransi adalah sebuah keniscayaan di bumi Indonesia, tetapi sejak lama, menyebut diri sebagai Kristen mengandung banyak resiko. Di zaman penjajahan Roma, orang-orang yang disebut “Kristen” banyak menerima tuduhan. Tuduhan-tuduhan itu antaranya adalah tuduhan bahwa orang Kristen adalah kanibal, praktisi free sex, dan tidak taat kepada pemerintah. Ini lantaran orang Kristen masa itu tidak mendapat tempat untuk beribadah di permukaan tanah, sehingga katakombe-lah yang menjadi tempat bagi mereka untuk beribadah. Tuduhan kanibal datang kepada orang Kristen setelah ada spionase yang memberi informasi bahwa orang Kristen yang beribadah di katakombe selalu mengucapkan “inilah tubuhku, terimalah dan makanlah, inilah darahku, terimalah dan minumlah.” Setelah mereka keluar dari katakombe, tempat yang seharusnya ada duka di sana, orang-orang Kristen justru kelihatan bersukacita. Lalu, muncullah dugaan, jangan-jangan ada praktek free sex yang dilakukan di tempat makam bawah tanah itu. Daripada memilih menyebut kaisar kurios mereka lebih senang untuk menyebut Kristos Kurios yang karenanya mereka dituduh tidak taat kepada pemerintah yang dikepalai kaisar.
Di Indonesia sekarang, menyebut diri sebagai Kristen adalah sebuah resiko. Resikonya selain dijauhi dan tidak diberi pekerjaan oleh orang lain, juga dilarang berbakti di negara, kota, desa tempat mereka dilahirkan. Sebuah ironi. Teman saya pernah bercerita, betapa beratnya mengaku Kristen di satu tempat di bagian barat negara ini. Selain dibenci, tidak mendapat pekerjaan yang katanya hanya untuk orang-orang dari agama tertentu, tidak jarang dia dihina. Orang Kristen adalah polytheis. Orang Kristen haram karena suka makan daging babi, dan tuduhan-tuduhan lain kepada orang Kristen. Sedikit catatatan bagi kawan-kawan yang pernah mengalaminya, ini bukan hal baru. Biarkan mereka mengatakan semuanya itu. Orang Kristen dalam sejarahnya telah mengalami semua sindiran, olokan, fitnahan dan makian yang bahkan lebih kasar dari itu. Bahkan kadang-kadang kematian harus dihadapi mereka. Bukankah GURU mereka juga mengalami hal yang sama?
Sebutan “Kristen” pertama kali diterima oleh orang-orang Antiokhia. Untuk pertama kalinya mereka disebut Kristen. Menyebut sebagai Kristen berarti bahwa orang tersebut adalah umat Kristus. Bagi orang non-Yahudi, Kristus hanyalah nama orang. Sederhanya, mungkin menyebut diri sebagai Kristen adalah sedang berusaha mengatakan: “saya adalah pengikut Kristus.” Implikasinya adalah, saya bersedia seperti Tuhan saya. Bersedia dihina, bersedia menderita, bahkan mungkin mati. Heroik benar orang yang menyebut diri mereka Kristen. Bagi mereka, kalaupun kematian harus mereka alami, itu jalan yang harus mereka terima.
Identitas Kristen adalah sebuah kebanggan. Kristen, adalah orang-orang yang berjalan di belakang seorang tokoh luar biasa bernama Kristus. Tokoh terbesar sepanjang masa. Tokoh yang adalah Juruselamat. Kristen adalah sebuah resiko karena merekalah pengikut tokoh yang pernah dihina, difitnah, diolok, dipukul, dicaci, diludahi, didera, dicambuk, ditangkap, diadili, digiring seperti penjahat, ditertawakan, disangkal, disuruh memikul salibNya sendiri, dipaku tangan-Nya, diberi minum anggur asam saat di salib, diolok oleh orang hukuman, ditusuk lambung-Nya dengan tombak, mati sebagai orang hukuman. Kristen juga adalah sebuah kebanggaan karena mereka adalah pengikut tokoh yang sudah ada sejak kekal, seorang pensehat ajaib (Wonderful Conselor), Allah yang Perkasa (Mighty God), Bapa yang Kekal (Everlasting Father), Raja Damai (Prince of Peace). Tokoh yang kelahiran-Nya dirayakan oleh malaikat di Sorga, yang digelisahi oleh raja dunia, disembah oleh ilmuwan-ilmuwan dari Timur, dikagumi dalam diskusi dengan Ahli kitab saat berumur duabelas tahun, dinyatakan sebagai “Anak-Ku yang Kukasihi” oleh suara dari langit, menang terhadap godaan di padang gurun, dimuliakan di atas gunung, bangkit dari kematian, naik ke sorga dengan iringan awan kemuliaan. Seorang tokoh yang tidak tanggung-tanggung menjanjikan sorga bagi pengikut-Nya. Tokoh yang akan datang kembali, menghakimi isi dunia, dan membawa pengikut-Nya ke sorga. Yang terakhir ini pasti.
Maka, berbanggalah dengan nama KRISTEN. Kami adalah pengikut-pengikut Kristus, yang tidak akan membalas karena meyakini kebenaran bahwa pembalasan adalah hak Tuhan. Yang walaupun dihambat namun kami akan tetap merambat. Yang tidak mau membakar rumah ibadah agama lain karena kami tahu bahwa api neraka lebih panas dari api untuk membakar rumah ibadah orang lain. Yang tidak mengatasnamakan nama Tuhan kami untuk melakukan tindakan anarkis. Yang dengan diam-diam berdoa bahkan menitikkan air mata kami untuk saudara-saudara kami yang teraniaya. Dan yang meneladani Tuhan kami sampai akhir hidup kami. Kamilah KRISTEN.
Sabtu, 05 Maret 2011
WINISUDA......WISUDA......
"Wisuda," mungkin menjadi acara yang membanggakan, menyibukkan dan menggembirakan banyak orang. Kebanggaan mungkin merupakan jatah orangtua. Sibuk mempersiapkan pakaian, kelengkapan dan bagi para wanita biasanya dandanan adalah tanggungan yang diwisuda dan kegembiraan adalah bagian dari teman, sahabat kenalan, kolega atau orang-orang dekat. Tapi tidak bagi sebagian orang. Wisuda tidak lebih dari pemborosan, kesibukan dan bahkan narsis-narsisan. Paling tidak ini kesimpulan sebagian orang yang tidak bisa di-"gebyah-uyahkan"-kan kepada semua orang.
Dari segi biaya, Wisuda memang memakan biaya yang cukup besar. Hanya untuk membeli, bahkan kadang-kadang hanya menyewa toga dengan bahan murah saja, uang dalam jumlah ratusan ribu bahkan berbunyi juta harus dikeluarkan. Syukur-syukur kalau isi dus konsumsinya bukan makanan ringan dan permen tapi makan siang. Kalau hanya dua buah roti murahan dan satu gelas air mineral, maka kemanakah uang wisuda itu? Hitung-hitung bisa untuk biaya dan lain-lain dan lain-lain kalau bukan untuk ceremony bernama wisuda. Pengeluaran ternyata bukan hanya untuk acara wisudanya. Untuk biaya transportasi menuju acara wisuda, orang tidak tanggung-tanggung merogoh koceknya untuk menyewa mobil untuk mengangkut dan mengantar kembali wisudawan ke rumah. Bahkan sesudah acara wisuda, malamnya biasanya diadakan pesta kecil-kecilan berbungkuskan nama "syukuran." Berapa lagi uang dikeluarkan untuk acara itu. Padahal, rata-rata sang winisuda belum mendapat pekerjaan.
Dari segi acaranya, inti wisuda ternyata ada pada kucir. Acara yang dijalani dengan ber-sumuk-sumuk ria dalam toga itu ternyata hanyalah pada pemindahan kucir. Sesudah itu mendengarkan orasi yang sebenarnya adalah basa-basi dan mudah-mudahan tidak basi-basi amat. Selanjutnya adalah acara narsis-narsisan dan petantang-petenteng dengan toga yang kalau di dalamnya puanasnya minta ampun.
Namun demikian, kalau dipikirkan dari segi orangtua, acara wisuda adalah sebuah kebanggaan. Betapa tidak, anak mereka yang kadang menelfon bahkan datang dengan tengah malam ke kampung halaman untuk meminta uang dan membuat mereka pusing tujuh keliling itu akhirnya bisa kelihatan gagah dengan toga dan dipindah tali kucirnya. Kendati dia belum punya kerja tetap alias menganggur pasca wisuda, yang penting satu langkah telah dilaluinya.
Wisuda, memang pemborosan di satu sisi tapi dia sekaligus sebuah perayaan. Dan nilai sebuah perayaan terletak pada momentnya. Tidak ada moment yang terulang persis seperti waktu wisuda, kendatipun wisuda bisa diulang sampai dua, tiga, atau mungkin lebih. Moment wisuda adalah moment krusial yang menandai sebuah pencapaian.
Sampai berkepala tiga ini, Puji Tuhan saya berkesempatan menikmati dua kali moment wisuda. Sayangnya, orangtua yang susah payah dengan saya tidak menyaksikan moment ini. Bukan karena mereka telah tiada, namun karena alasan tempat tinggal. Wisuda pertama di Jawa kami tandai dengan waktu yang berkesan, kala kami berlutut di depan altar dengan toga kami dan menyanyikan kidung "Ya Yesus ku berjanji setia pada-Mu" dan wisuda kedua di Kupang tanggal 26 Februari 2011 yang lalu juga sangat berarti. Dari semua acara, saya memfavoritkan bagian nyanyain oleh paduan suara saat menyanyikan lagu berjudul "doa seorang anak." Kelopak mata saya seolah tak bisa menahan cairan bening yang mendesak untuk mengalir. Mata saya memandang ke langit-langit dan seolah menembus plafon Aula Undana yang tinggi itu sambil hati saya berucap "Trimakasih Tuhan, Kau tolong hamba-Mu ini dan menyelesaikan satu tahun setengah lagi pasca S1." Kendatipun masih satu gelar, dua kali wisuda, namun suatu saat saya akan menyejarahkan moment ini bagi mereka yang mau mendengarnya.
Langganan:
Postingan (Atom)