Sabtu, 05 Maret 2011
WINISUDA......WISUDA......
"Wisuda," mungkin menjadi acara yang membanggakan, menyibukkan dan menggembirakan banyak orang. Kebanggaan mungkin merupakan jatah orangtua. Sibuk mempersiapkan pakaian, kelengkapan dan bagi para wanita biasanya dandanan adalah tanggungan yang diwisuda dan kegembiraan adalah bagian dari teman, sahabat kenalan, kolega atau orang-orang dekat. Tapi tidak bagi sebagian orang. Wisuda tidak lebih dari pemborosan, kesibukan dan bahkan narsis-narsisan. Paling tidak ini kesimpulan sebagian orang yang tidak bisa di-"gebyah-uyahkan"-kan kepada semua orang.
Dari segi biaya, Wisuda memang memakan biaya yang cukup besar. Hanya untuk membeli, bahkan kadang-kadang hanya menyewa toga dengan bahan murah saja, uang dalam jumlah ratusan ribu bahkan berbunyi juta harus dikeluarkan. Syukur-syukur kalau isi dus konsumsinya bukan makanan ringan dan permen tapi makan siang. Kalau hanya dua buah roti murahan dan satu gelas air mineral, maka kemanakah uang wisuda itu? Hitung-hitung bisa untuk biaya dan lain-lain dan lain-lain kalau bukan untuk ceremony bernama wisuda. Pengeluaran ternyata bukan hanya untuk acara wisudanya. Untuk biaya transportasi menuju acara wisuda, orang tidak tanggung-tanggung merogoh koceknya untuk menyewa mobil untuk mengangkut dan mengantar kembali wisudawan ke rumah. Bahkan sesudah acara wisuda, malamnya biasanya diadakan pesta kecil-kecilan berbungkuskan nama "syukuran." Berapa lagi uang dikeluarkan untuk acara itu. Padahal, rata-rata sang winisuda belum mendapat pekerjaan.
Dari segi acaranya, inti wisuda ternyata ada pada kucir. Acara yang dijalani dengan ber-sumuk-sumuk ria dalam toga itu ternyata hanyalah pada pemindahan kucir. Sesudah itu mendengarkan orasi yang sebenarnya adalah basa-basi dan mudah-mudahan tidak basi-basi amat. Selanjutnya adalah acara narsis-narsisan dan petantang-petenteng dengan toga yang kalau di dalamnya puanasnya minta ampun.
Namun demikian, kalau dipikirkan dari segi orangtua, acara wisuda adalah sebuah kebanggaan. Betapa tidak, anak mereka yang kadang menelfon bahkan datang dengan tengah malam ke kampung halaman untuk meminta uang dan membuat mereka pusing tujuh keliling itu akhirnya bisa kelihatan gagah dengan toga dan dipindah tali kucirnya. Kendati dia belum punya kerja tetap alias menganggur pasca wisuda, yang penting satu langkah telah dilaluinya.
Wisuda, memang pemborosan di satu sisi tapi dia sekaligus sebuah perayaan. Dan nilai sebuah perayaan terletak pada momentnya. Tidak ada moment yang terulang persis seperti waktu wisuda, kendatipun wisuda bisa diulang sampai dua, tiga, atau mungkin lebih. Moment wisuda adalah moment krusial yang menandai sebuah pencapaian.
Sampai berkepala tiga ini, Puji Tuhan saya berkesempatan menikmati dua kali moment wisuda. Sayangnya, orangtua yang susah payah dengan saya tidak menyaksikan moment ini. Bukan karena mereka telah tiada, namun karena alasan tempat tinggal. Wisuda pertama di Jawa kami tandai dengan waktu yang berkesan, kala kami berlutut di depan altar dengan toga kami dan menyanyikan kidung "Ya Yesus ku berjanji setia pada-Mu" dan wisuda kedua di Kupang tanggal 26 Februari 2011 yang lalu juga sangat berarti. Dari semua acara, saya memfavoritkan bagian nyanyain oleh paduan suara saat menyanyikan lagu berjudul "doa seorang anak." Kelopak mata saya seolah tak bisa menahan cairan bening yang mendesak untuk mengalir. Mata saya memandang ke langit-langit dan seolah menembus plafon Aula Undana yang tinggi itu sambil hati saya berucap "Trimakasih Tuhan, Kau tolong hamba-Mu ini dan menyelesaikan satu tahun setengah lagi pasca S1." Kendatipun masih satu gelar, dua kali wisuda, namun suatu saat saya akan menyejarahkan moment ini bagi mereka yang mau mendengarnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar