Jumat, 31 Oktober 2008

SELAMAT ULANG TAHUN GMIT




Hari ini 31 Oktober 2008. Terhitung sudah tiga tahun tiga bulan empat hari sudah, saya menyelesaikan studi saya di Sekolah Tinggi Theologia Injili Indonesia (STII) Yogyakarta. Sekolah ini adalah sekolah yang 'interdenominasi.' Artinya, denominasi apa saja bisa studi di sana dan setelah selesai studi, diharapkan kembali ke gerejanya dan menjadi berkat bagi gereja asalnya. Di Gereja Masehi Injili di Timor, STII dan sekolah Ijili lainnya dianggap tidak seasas sehingga tidak bisa melayani sebagai pendeta, kecuali kuliah ulang di Fakultas Theologi yang seasas dengan GMIT. Penyesuaian ini memakan waktu dua tahun minimal. Adapun sekolah yang alumninya diterima untuk divikariskan adalah STT Jakarta, Duta Wacana, Satya Wacana, STT INTIM dan Fak Teologi UKAW.

Oleh karena berbagai kendAla, sampai saat ini saya tidak mengikuti penyesuaian itu. Namun bukan berarti saya harus menyangkali gereja asalku dan mencari gereja lain sebagai tempat saya bernaung. Mungkin kelihatannya saya terlalu sok loyal dengan GMIT. Tapi saya tidak dapat menyangkali itu. Saya memang percaya bahwa gereja secara universal adalah tubuh kristus dengan berbagai denominasi yang ada. Tapi saya juga percaya bahwa gereja lokal penting artinya bagi saya. Karena itu walaupun saya pernah beribadah dan bahkan melayani di banyak gereja yang tidak seasas dengan GMIT misalnya GPdI, Gereja Siloam Injili, Gereja Baptis, namun dalam diri saya tetap merasa bahwa saya adalah anggota GMIT. Maklum, sejak kecil papa saya adalah seorang majelis di GMIT yang membiasakan kami untuk akrab dengan berbagai pelayana di GMIT.

Kini setelah tiga tahun lebih saya tamat dari sekolah teologi, saya masih belum menjadi pendeta, apalagi pendeta GMIT. Tetapi saya tidak mau menjadi pengecut. Pengecut yang hanya demi alasan mendapat jabatan pendeta baru mau melayani di GMIT. Walaupun sampai sekarang saya hanya melayani sebagai pelayan katekesasi di GMIT atas komunikasi dengan pendeta dan majelis jemaat lokal, tetapi saya tetap bangga menjadi warga GMIT.

Karena itu dengan bangga saya mau mengatakan kepada gereja asalku. Selamat Ulangtahun GMIT. Semoga pelayan-pelayanmu tetap loyal dengan Kristus kepala gereja. Semoga saya juga. Amin. [MT]

BHINEKA TUNGGAL IKA




Sore ini seperti biasa aku membuka acaraku "Mozaik Nusantara lagu Jawa" dengan senyuman yang tertahan. Maklum, kondisi tubuhku kurang sehat pasca pemulihan 'pusatku' yang terinfeksi. Mungkin karena pengaruh obat, saya merasa kondisiku kurang fit. Setelah DJ Talk opening, sebentar saya meninggalkan lagu berjalan di raduga sambil sekedar saya minum dan menarik napas sejenak. Oh.. Perutku terasa kosong. Maklum, saat selesai mengajar saya belum sempat makan siang. Sambil telingaku terus memonitor beberapa iklan yang terus jalan, saya mengisi perut dengan makanan yang tersedia di meja makan yang memang disediakan di studio. Siang ini lumayan istimewa karena ada beberapa potong daging yang belum disentuh teman lain. Sambil makan, pikiranku menuntun untuk segera menghabiskan nasi di piring dan masuk karena lagu pasca iklan sudah mulai berjalan.

Ini rutinitas saya setiap hari Jumat. Di studio, kami menyebutnya hari jumat sebagai hari paling melelahkan. Saya juga heran, karena beberapa waktu terakhir ini saya seolah menjadi bukan diriku sendiri. Paling tidak setiap hari Jumat jam 15.00-17.00. Tiba-tiba saya harus berbahasa Jawa di program ini. Beberapa pendengar pernah menelepon dan bertanya, dari Jawa mana asal saya? Mereka bahkan kadang protes karena saat membaca berita, marga saya Tanesib, sering saya sebutkan. Pada akhirnya toh mereka tahu bahwa saya asli Timor. Karena tidak mungkin ada orang Jawa yang bermarga Tanesib.

Hari terakhir di bulan Oktober ini, saya disadarkan oleh seorang penelepon. Ibu Eko dari Jogjakarta yang bersuami Timor dan sudah lama tinggal di Timor. Ketika bercakap-cakap tentang makanan kesenangannya, Apakah Jadah Tempe khas Kaliurang, Ibu Eko menjawab, ia lebih suka menikmati jagung bose makanan khas Timor. Apakah dia suka menggunakan jarig khas Jawa, ia menjawab ia lebih suka mengenakan kain khas timor. Ia justru heran dengan anak-anak muda di Timor sekarang yang selalu dengan busana "bertali satu" datang ke pesta.

Budaya yang diwakili oleh pakaian, makanan, dan bahasa dalam pengalaman hidup saya hari ini membuat saya merenung. Saya seorang Timor dari Bisnaen, sebuah kampung kecil di pertemuan dua sungai kecil di pedalaman Timor. Tapi puji Tuhan, saya sedikit mengenal bahasa dan makanan Jawa. Saya kemudian berpikir, betapa sulitnya memperjuangkan sesuatu yang namanya perbedaan dan menjadikannya satu. Betapa beratnya mereka yang merumuskan "Bhineka Tunggal Ika." Hari ini saya semakin menyadari bahwa perbedaan itu adalah sebuah seni. Untuk memahami orang lain diperlukan pengorbanan.

Semoga Mozaik Jawa ini menolong saya memulai memahami perbedaan sebagai sebuah seni hidup. [MT]

KUAT DALAM KELEMAHAN




Kelemahan sudah menjadi bagian hidup dari semua manusia. Hampir dapat dipastikan bahwa semua makhluk yang bernama manusia pasti pernah mengalami kelemahan. Jika tidak dalam bentuk fisik, kelemahan itu bisa saja datang dalam bentuk emosi, intelek atau rohani. Kekuatan dalam satu segi misalnya dalam hal intelek tidak selalu menjamin ketidaklemahan di sisi lain. Paulus seorang pelayan Tuhan yang luar biasa itu menyebut kelemahan dalam tubuhnya sebagai "duri di dalam daging."

Orang bisa saja menyimpulkan apa yang dimaksud dengan Paulus dengan "duri dalam daging." Misalnya saja dengan mengatakan bahwa duri dalam daging, yang dimaksud Paulus dapat menunjuk masa lalu Paulus. Mengapa masa lalu Paulus menjadi “duri dalam daging” baginya? Firman Tuhan dalam I Timotius 1:13 berkata,”aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihaniNya, karena semuanya itu telah kulakukan tanpa pengetahuan yaitu di luar iman.” Hal ini berkaitan dengan apa yang pernah dilakukan Paulus sebelum bertobat yaitu menganiaya orang Kristen (Kisah 8:1-3). Masa lalu itu begitu menghantui Paulus, sehingga ia merasa bahwa masa lalu itu seperti duri dalam dagingnya.

Ada juga yang mengatakan Duri dalam daging dapat juga berarti masalah kesehatan pada matanya. Ini merupakan tafsiran beberapa teolog yang menyatakan bahwa kesehatan pada mata Paulus yang tidak baik, sehingga sangat menggangu pelayanannya.

Hal lain yang duikatakan orang mengenai Duri dalam daging dapat juga berarti bahwa di dalam pelayanan Paulus, ada orang-orang yang tidak senang terhadap dia. Dan orang-orang ini selalu menentang dan berusaha menjatuhkan Paulus dalam pelayanannya.

Apapun pendapat orang terhadap duri dalam daging sebagaimana kata Paulus, tapi dalam refleksi pribadiku malam ini 30 Oktober 2008 aku merasa bahwa ada "duri dalam dagingku." Duri itu adalah peringatan dari dokter beberapa hari yang lalu bahwa aku kemungkinan harus menjalani operasi. Operasi? Sebenarnya kata itu saja telah membuat aku cukup merinding. Maklum aku sangat trauma dengan beberapa teman yang pernah operasi dan aku sempat menjaga mereka di rumahsakit. Pemicu dari kata dokter sebenarnya adalah pusarku. Orang Jawa menyebutnya "udhel." Betapa kagetnya aku karena di puserku ada rasa sakit dan setelah aku mencoba melihatnya, keluar nanah yang membuat aku sendiri minder dengan aromanya. Tidak terlalu banyak sih... Cuma membuat aku takut. Setelah diperiksa dokter memintaku meminum antibiotik yang diresepi oleh dokter dan kata dokter akan berakibat dioperasi jika dalam tiga hari tidak kering atau sembuh. Membayangkan operasi membuat bulu kudukku merinding meskipun dokter menghiburku dengan mengatakan biusnya adalah bius lokal. Moso gara-gara udhel kok operasi to, dok? Medheni tenan. Syukurlah, aku sekarang merasa sedikit nyaman dengan meminum obat itu. Imanku meyakinkan aku bahwa aku tidak harus dioperasi.

"Duri" ini bukanlah satu-satunya duri yang pernah kualami. Sebelumnya aku punya banyak keluhan dengan masalah kesehatan. Misalnya dengan masalah flu berkepanjangan, masalah sariawan yang muncul dua minggu sekali dan kondisi fisik yang rawan de el el de el el. Tetapi aku tetap melayani. Setiap pagi jam 05.00 pagi aku sudah harus mulai bercuap-cup di depan mikrofon radio, jam 08.00 sudah harus berada dengan sejumlah materi yang harus disajikan di depan mahasiswaku sampai jam 2 siang. Sesudah itu dalam kondisi kelelahan aku pulang, mempersiapkan makan siangku sendiri, beristirahat dan jam 7 malam aku sudah harus kembali ada di studio untuk bersiap-siap bercuap di mikrofon radio sampai jam 12 malam. Setiap sabtu, aku harus menempuh perjalanan berkilo-kilo dengan berganti tiga kali angkutan umum untuk menjangkau orang-orang yang harus kulayani di desa. Semua kulakukan untuk Tuhan karena program yang aku asuh di radio juga adalah program rohani. Bersama dengan Paulus, malam ini aku berkata ada 'duri dalam dagingku.'

Aku pernah bertanya kepada Tuhan, mengapa hal ini musti terjadi denganku? Kenapa masih ada kelemahan fisik yang aku alami. Aku khan sudah melayani Tuhan. Kenapa aku tidak diberi kesehatan terus. Tapi pertanyaan bodohku ini dijawab:


Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ”Cukuplah kasih karuniaKu bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasaKu menjadi sempurna."
[MT]

Kamis, 23 Oktober 2008

Ibadah di 'Pak Laru'



Melayani Tuhan memang memerlukan strategi. Kadangkala strategi-startegi itu ada di luar pelajaran yang pernah didapat di bangu kuliah. Jika mau menghitung, saya menghabiskan waktu delapan tahun untuk belajar melayani Tuhan. Delapan tahun dimaksud bukan untuk dua strata, tetapi hanya S1. Delapan tahun hanya untuk mendapat s1? Iya. Ini fakta dan mungkin jarang terjadi. Saya pernah mendengar cerita bahwa ada orang yang bahkan sampai tahun ke-13 hanya untuk menyelesaikan studi sarjananya. Mengenai ini, saya tidak perlu berbangga karena lebih awal enam tahun sebelum ke-13.

Sebenarnya syarat lulus Sarjana bagi seorang yang kuliah di Theologia ada tiga. Kemampuan akademis harus mumpuni, ketelatenan melayani harus teruji, dan pembuktian tentag kehidupan moral harus terasah. Dalam enam tahun dan berpindah dari Doulus ke STII sebagaimana kisahku di bagian lain blog ini, aku bersyukur karena kemampuan akademisku dianggap lumayan. Kesan ini saya dapat dari beberapa orang dosen dan teman sekelasku. Kemuliaan bagi Tuhan untuk itu. Mengenai masalah kelakuan dan tindakan, aku bersyukur aku belajar untuk mendisiplin diri dan puji Tuhan bisa mendapat penilaian yang cukup dari pihak sekolah. Tentu saja penilaian ini tidak sempurna. Menurut saya yang berhak menilaikita layak adalah Tuhan. Syukurlah, standar minimal sekolahku untuk moral aku bisa lewati. Aku juga bersyukur karena standar minimal ketrampilan pelayanan dapat aku lewati di sebuah desa di pinggiran Jogjakarta. Dari sana manfaat gandanya dapat saya nikmati sekarang dengan mengerti bahasa Jawa. Minimal "ngoko."

Mengasah diri dalam ketrampilan pelayanan masih terus saya lakukan. Maklumlah, konteks studi lapangan di Jawa berbeda dengan konteks pelayanan saya sekarang di GMIT di tengah-tengah orang suku Sabu dan Rote. Malamminggu yang lalu, aku mendapat sebuah ilmu ketrampilan melayani dari seorang muda gereja. Pemuda ini bernama Yap. Sejak beberapa tahun lalu ia dipercaya sebagai pemimpin umat di rayonnya. Walaupun Ia masih muda, ia diminta melayani sebagai penatua. Dalam perjalanan kami menuju sebuah rumah du kampung sebelah, dia bercerita tentang pengalamannya melayani. Ceritanya begini. Suatu hari ia mendapat kesempatan memimpin ibadah rumahtangga di sebuah rumah yang sekaligus dipakai sebagai tempat menjual minuman keras. Orang Kupang menyebutnya "Pak Laru." Setelah mempersiapkan diri, ia datang dengan membawa Alkitab dan buku nyanyian Kidung Jemaat. Setibanya di rumah itu, lampu kebetulan sedang padam. Oleh tuan rumah dia dipersilakan masuk dan duduk. Sampai beberapa menit lampu itu juga tidak kunjung menyala lagi. Tumben, rumah itu sepi, pikirnya. Karena biasanya tempat itu ramai dikunjungi penjaja minuman keras yang bernama laru. Dia masih terus menunggu dan menunggu, kapan kira-kira aggota jemaat yang lain akan datang untuk memulai ibadah. Ditengah-tengah menunggu, tiba-tiba suara ramai-ramai orang dari kejauhan terdengar. Ternyata mereka adalah orang-orang yang ingin minum malam itu. Sebagian mereka tidak berbaju alias bertelanjang dada. Mereka mungkin tidak tahu kalau malam itu jadwal ibadah di rumah itu. Mereka juga adalah anggota jemaat di gereja. Dengan santai mereka masuk dan meminta minum. Betapa kagetnya saat mereka duduk, sementara suasana ruangan gelap, mereka melihat Alkitab di meja dan pelayan juga sudah siap untuk memimpin ibadah. Dengn malu-malu mereka mulai duduk. Dan karena pemilik rumah adalah simpatisan sebuah partai yang memiliki banyak kaos partai, maka kaos itu dibagikan kepada para pengunjung pak laru yang kecele itu. Ibadahpun segera dimulai dengan peserta yang kebanyakan berseragam partai.

Ini ibadah yang jemaatnya kecele, ketakutan dan berpakaian partai. Ini ibadah atau kampanye?

Tapi saya bersyukur dan bangga dengan strategi pemuda ini. Syukurlah, malam itu aku mendapat ilmu baru. Ilmu itu adalah ilmu ibadah di Pak Laru. Sabar, tunggu mereka datang, berimereka pakaian yang sopan dan sesudah itu ajak mereka berdoa. [MT]

Jumat, 10 Oktober 2008

Jalan pikiranku dan Arahan TUHAN


Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya. (Amsal 16:9)

Pemikiran tentang jalan hidup adalah pekerjaan setiap manusia. Terutama mereka yang sudah lulus kuliah dan mulai menapaki pekerjaan. Apalagi mereka yang sudah memasuki usia dewasa. Seorang temanku pernah secara terbuka jujur bahwa dia kebingungan dengan usianya yang sudah hampir kepala empat dan dia belum berkeluarga. Sama dengan temanku, semua orang pasti memikirkn tentang jalan hidup, walaupun tidak semata-mata berhubungan dengan menikah dan berkeluarga. Bagi orang-orang yang belum memiliki pekerjaan yang "mapan," memikirkan jalan hidup karier adalah sesuatu yang normal. Apalagi jika diperhadapkan dengan beberapa pilihan yang masing-masing pilihan belum tentu pasti.

Peristiwa memikirkan jalan hidup pernah juga menjadi bagian hidupku. Saat itu aku masih duduk di tingkat tiga di bangku kuliah. Ketika masalah pelayanan menimpaku, aku berpikir apakah aku akan menyelesaikan studiku dengan baik dan akan berhasil diwisuda. Saat itu tidak ada pikiran apapun yang jelas tentang jalan hidupku. Memasuki tahun kelima dan keenam studiku (seharusnya hanya empat tahun), aku kembali berpikir dalam kebingunganku, apakah aku akan diwisuda? Menjelang aku diwisuda, aku bertanya lagi, apakah pelayanan panti, kampus, sekolah atau gereja yang menjadi pilihanku? Banyak pikiran tentang jalan hidup yang terpikirkan.

Tapi hari ini aku melihat bahwa jalan yang aku pikirkan berbeda dengan cara Tuhan menuntunku. Dalam masa "kritisku" aku justru melihan arahan Tuhan. Aku dapat memiliki sebuah ketrampilan yang tidak kusangka hari ini berguna bagiku. Dulu saat aku berada dalam peristiwa itu, aku tidak menyadarinya. Hampir-hampir aku putus asa. Tapi aku terus berjalan dan maju, dan sekarang aku sadari, arahan Tuhan memang di luar dugaanku.

Trimakasih Tuhan, engkau mengarahkan aku dan memberi aku kekuatan untuk terus melihat jalan-Mu semakin jelas. [MT]

Kamis, 09 Oktober 2008

Hikmat di Jalanan


Mencari hikmat. Mungkin kata-kata ini terlalu abstrak untuk dipahami. Pertanyaannya adalah, di mana hikmat harus dicari? Mungkin ada yang berkata, dengan menyelesaikan S1,S2 dan S3, seseorang telah memperoleh hikmat. Aku ingat temanku namanya pak Yanto dan Pak Iwan Tarigan. Dua-duanya adalah mahasiswa Pasca Sarjana yang tinggal seasrama dengan kami mahasiswa S1. Mereka sering bersendagurau. Salah satu candaan mereka adalah, "masa orang S2 pikirannya kayak SD?" Kamipun beramai-ramai tertawa. Dari candaan ini, sesuatu yang menarik dapat dipetik, hikmat tidak bisa hanya diperoleh dengan gelar yang dimiliki. Trus dimana hikmat dapat ditemukan?

Hikmat berseru kepada kita di manapun dan kapanpun. Bahkan dari tempat yang kita tidak duga-duga. Kitab Amsal menyebutkan bahwa hikmat berseru di jalan-jalan, di lapangan-lapangan, di atas-atas tembok (Ams. 1:20-21). Tafsiran apapun mungkin akan diberikan terhadap jalan, lapangan atau tembok. Tapi bagiku, penulis kitab Amsal ingin mengatakan bahwa dari tempat manapun, seseorang dapat memperoleh hikmat. Bahkan di tempat-tempat yang tidak dapat disangka ada hikmat yang dapat dipelajari di sana. Di desa yang terpencil, di bawah sinar lampu minyak tanah, di rumah gubuk yang ada di tepian sungai, bahkan di kampus juga aku belajar mengenal hikmat. Hikmat ada di tengah-tengah jemaat Rote dan Sabu di Pariti, di mahasiswa STII tingkat satu (aku banyak belajar dari mereka) dan bahkan anak-anak sekolah mingguku. Tolong aku Tuhan untuk terus melihat hikmat yang bersembunyi di mana-mana, tetapi juga yang dengan suara nyaring berseru kepadaku. Dimanapun dan kapanpun ajar aku belajar menemukan hikmat yang Kau selipkan bagiku agar aku tidak lalim suatu saat nanti. [MT]

Rabu, 08 Oktober 2008

Bertemu Pak Ans Takalapeta (Bupati Alor)


Sidang Sinode GMIT XXXI di Alor adalah awal aku mengenal Pak Ans Takalapeta. Aku bukan peserta sidang itu. Aku hanya setia mengikuti sidang itu dari Radio. RRI Kupang tepatnya. Aku berusaha menjadi pendengar setia saat itu. Semua siarannya berhubungan dengan sisi sidang Sinode aku dengarkan. Maklum, aku adalah warga GMIT yang harus tahu sedikit tentang hasil sidang sinode. Dalam siaran itu, sesi yang membuat aku cukup terpaku adalah pidato Bupati Alor, pak Ans Takalapeta. Aku tertantang untuk semakin melayani giat, justru dari pidato pak Ans. Aku lupa kata-katanya persis, tapi waktu itu aku seolah-olah dibakar untuk giat melayani di manapun. Yang aku ingat persis dan aku catat adalah nomor(HP) beliau. Itupun karena disebutkan dalam pidatonya waktu itu. Beberapa waktu kemudian, SMS-SMS-an pun dimulai. Awalnya hanya kata-kata ucapan selamat hari minggu dari beliau.


Suatu saat aku membaca buku Pdt. Dr. Eben Nuban Timo yang dalam sidang sinode terpilih menjadi ketua Sinode. Judulbuku itu “Sidik Jari Allah dalam Budaya.” Dalam salah satu halamannya ada yang diambil dari tulisan Pak Ans Takalapeta. Keinginanku untuk membaca buku Pak Ans dan mengenal secara jelas beliau dan ide-idenya mulai muncul. Aku kemudian menyampaikan maksudku kepada beliau. Aku bersyukur. Pak Ans adalah seorang Bupati yang rendah hati. Mau membalas SMSku dan bahkan meminta alamat pengiriman buku. Aku mengirimkan alamat itu ke beliau. Tapi aku tidak banyak berharap karena aku tahu, seorang Bupati adalah orang yang cukup sibuk hanya untuk orang seperti aku. Sebulan lebih kemudian aku tidak mengingatnya lagi. Tapi aku tetap punya keinginan membaca buku Pak Ans.Aku kemudian punya niat untuk mulai kembali mengingatkan beliau. Gayung bersambut. Minggu pagi, pasca aku diundang untuk berkhotbah di salah satu gereja, beliau memintaku datang ke rumahnya di Kupang. Kebetulan beliau transit karena baru pulang dari Jakarta. Setelah ibadah aku kemudian ke rumahnya. Beberapa kali nyasar, tapi kemudian aku SMS ke beliau n beliau dengan rendah hatinya mau menelpon dan memberitahu alamat rumah yang sebenarnya. Aku jadi semakin "pakewuh" dengan beliau. Tiba di rumah beliau, ada seorang gadis hitam manis (aku perkirakan umurnya 20-an) keluar dan menanyakan maksud kedatanganku. Sesudah dipersilakan masuk ia kemudian mengetuk pintu dan memanggil, "Papa! Ada yang cari." "Ohhh... itu anaknya," bathinku. Aku menatap beberapa foto di temboknya. Beliau mengenakan pakaian kebesaran bupati bersma istrinya. Aku teringat kalo ada temanku yang pernah bilang, "istri pak Ans itu Pendeta." Selama menanti beliau keluar dari kamar, pikiranku kemudian menjawab sendiri, "Pantas aja, beliau rendah hati sekali." Lamunanku dikagetkan dengan bunyi pintu kamar dan Pak Ans keluar. Dengan peci khas dan berbatik lengan pendek beliau keluar dan menyalamiku dengan penuh keramahan. Di tangannya ada tiga buku yang sudah ditandatangani. Buku-buku itu diserahkan ke aku. Kira-kira 15 menit kami mengobrol, beliau menguatkan aku untuk tetap melayani. Kemudian aku pamit karena nampaknya beberapa anggota keluarganya berdatangan. Aku tidak mau mengganggu beliau. Aku pulang dengan tiga buku di tangan.

Semua buku itu sudah selesai aku baca. Aku baru tahu tentang latar belakang dan semua yang menjadi pemacu beliau bersemangat. Di antaranya yang memotivasiku adalah beliau pernah menjadi guru Sekolah Minggu, pernah juga jadi "Doktor" alias Mondok di Kantor. Beliau juga pernah mengurus hewan peliharaan keluarga mereka. Aku sering mengalami hal yang sama. Mama Dina, istri beliau yang pendeta juga membuat aku untuk bersemangat melayani masyarakat karena pelayan yang sesungguhnya adalah yang berguna bagi masyarakat. Satu yang terus memacuku, "Orang yang ingin besar memulainya dari hal-hal kecil." Itu kesimpulanku. [MT]

"Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara- perkara besar.

Selasa, 07 Oktober 2008

Farisikah Aku?

Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begii: "Ya Allah aku mengucapsyukur kepada-Mu karena aku tidak sama sperti orang lain... aku berpuasa, aku memberikan sepersepuluhan ... (Lukas 18:11-12)


Dalam perumpamaan ini, dikisahkan tentang dua orang yang memasuki Bait Allah untuk berdoa. Yang satu adalah orang Farisi. Seperi Farisi pada umumnya orang ini terkenal dengan kesalehannya, ibadah dan ketaatan melaksanakan hukum Taurat dan segala aturan tambahannya. Yang satu lagi adalah seorang pemungut cukai. Golongan ini dinilai orang yang munafik dan pendosa. Munafik karena mereka menjadi kaki tangan penjajah untuk memeras orang dari bangsanya sendiri. Karena itu anggapan bahwa mereka adalah sampah masyarakat, orang-orang berdosa, orang-orng yang tidak jujur selalu dijatuhkan kepada mereka.

Orang Farisi berdoa. Doanya adalah doa yang cukup egois. Seluruh isi doanya bersumber pada dirinya sendiri. Terima kasih Allahku, aku tidak seperti orang lain, perampok, orang lalim, pezinah dan terutama tidak seperti pemungut cukai itu. Dan tentunya, aku berpuasa dua kali seminggu walau sebenarnya cukup sekali seminggu. Lagipula aku memberi persembahan persepuluhan. Seandainya ini bukan sebuah perumpamaan, dan akulah sipemungut cukai itu, mungkin aku akan lebih tertuduh lagi.

Si pemungut cukai sebaliknya tidak berani masuk ke dalam pelataran Bait Allah dan bahkan takut menengadah ke langit. Ia memukuli dada tanda menyesal, dan mohon ampun. Doanya adalah permohonan agar Tuhan mengasihani dan mengampuninya. Sungguh sebuah doa yang jujur kepada Allah.

Untung kisah ini hanyalah sebuah perumpamaan. Yesus menujukannya bagi mereka menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain (ayat 9). Mereka yang oleh karena pelayanan kepada Tuhan kemudian menganggap manusia lain sebagai sampah termasuk dalam golongan ini.

Saat membaca dan merenung bagian ini, aku teringat pengalamanku berjemaat dan melayani. Berapa banyak pemuda GMIT yang adalah anggota Vocal Group, tetapi malam minggu, beberapa jam sebelum tampil menyanyi, begadang sambil mabuk. Berapa banyak majelis yang tidak menghadiri ibadah minggu karena alasan semalam mabuk. Aku teringat ibadah pemuda sbtu lalu, pengurus pemuda kami tidak hadir karena alasan teler. Ya Tuhan Farisikah aku? Tapi tidak. Aku memang bukan orang yang paling suci di antara mereka. Tetapi kewajiban untuk mengingatkan perlu dilakukan. Tuhan tolong aku.

Sabtu, 04 Oktober 2008

WONG TIMOR NJAWANI?


Aku lahir dan besar di pedalaman pulau Timor. Tepatnya di sebuah kampung tradisonal bernama Bisnaen, Desa Ajaobaki, Kec. Mollo Utara, TTS, NTT. Menjangkau kampung tempat aku dilahirkan dari Kupang berjarak 132 Km. Sesudah turun dari alat transportasi modern, kita harus menuruni jalan setapak sekitar dua kilometer, menyusuri sungai dan baru kemudian tiba. Bisa disebut aku produk asli Timor dan tidak akan bermimpi disentuh oleh teknologi dan budaya lain. Boleh juga disebut sebagai tradisonal. Tapi sejak berangkat ke Jawa untuk studiku, apalagi sejak tinggal di Jogja sejak 1999 aku mulai bersosialisasi dengan orang dari suku yang menurutku kebiasaannya sangat beda dengan sukuku. Suku itu adalah Jawa. Aku kemudian mulai belajar cara hidup mereka, maklum aku tinggal di pinggiran pada awal-awalnya. Syukurlah, aku dapat belajar banyak hal dari tempat-tempat yang aku sambangi. Adapun tempat-tempat yang pernah aku sambangi adalah Dukuh Krajan, Desa Dlingo, Mojosongo, Boyolali. Di sana aku mengabdi bersama seniorku Pdt. Edizon Dakkabesi di sebuah jemaat kecil. Aku tinggal di rumah masyarakat di sana. Nama yang layak disebut adalah Keluarga Winoto. Komunikasi mereka sehari-hari menggunakan bahasa Jawa. Syukurlah, Mas Mul anaknya menjadi teman yang baik selama aku tinggal bersama mereka.

Aku juga pernah tinggal di dukuh Mutihan di sebelah selatan kantor Kecamatan Kalasan. Di sana aku hidup seperti orang dusun Jawa pada umumnya. Aku menginap di rumah keluarga Asmodimedjo. Masakan tradisonal Jawa hasil masakan Mbah Asmo putri adalah menu andalan kami setiap hari. Dalam tahun-tahun kesulitanku menyelesaikan skripsi, keluarga Pak Sugianto dan Ibu Handayani di Cupuwatu II Kalasan menjadi tempat aku bernanung. (Bagian ini aku tuliskan saat Once Dewa menyanyi di Radio yang sedang aku dengar, .....manusia bisa mengambil hikmah.....). Memang aku pernah tinggal di sebuah kampung bernama Nambangan bersama sebuah keluarga Manado, tapi pergaulannya sangat Jawa. Disinilah aku kenal dengan Mbah Roto, yang cucu perempuanya pernah "singgah di hatiku" selama lima tahun terakhir.

Tempat yang paling lama aku sambangi dan tinggal di sana adalah Dukuh Belang, Terbah, Patuk, Gunung Kidul. Keluarga-keluarga di sana yang 'menghidupkan' bahasa Jawaku adalah Mbok Karjo, Pak Karjo Suwito. Bahkan Mbok Karjo sudah kuanggap mbokku dewe. Selain itu keluarga Pak Panut, Pak Mulyono dan Pak Yatno juga Yanto Ragil adalah yang mengambil bagian di dalam menumbuhkan dan membesarkan bahasa Jawaku. Tidak lupa juga aku sebutkan, nama seorang kakek yang ibadah pemakamannya didaulatkan kepadaku. Almarhum Mbah Sumo. Pergaulanku dengan muda-mudi 'mBelang' membuatku semakin enjoy bahasa Jawa. Mas Sugeng Susilo, Mbak Roy, Mbak Pur, Mas Kris dan Mas Gunarso. Juga anak-anak kecil yang aku bimbing "memaksaku" untuk mau tidak mau berbahasa Jawa. Perkenalanku terhadap keluarga-keluarga ini atas jasa Panjenenganipun Pendeta Peter Suryadi, S.Th. Memang harus kuakui, selama bersama mereka, komunikasiku adalah Bahasa Jawa ala wong Kupang. Tapi syukurlah aku dpat bertumbuh dalam bahasa juga selama membantu mengabdi kepada Gusti di Gunung Kidul.

Dasar dari semua ini bermula dari Daniel Kris Maryanto dan Dwi Kuncoroyatno, dua konco lawasku di tingkat satu STII Yogyakarta. Nama yang kusebutkan belakangan akhirnya pindah ke UKSW di Salatiga. Tapi sebelum pindah, dia pernah membawa aku untuk mampir dan menginap di Kauman Salatiga, tempat ibunya yang seorang janda tinggal. Selain nama-nama di atas, orang yang juga turut berpengaruh dalam membuat aku senang dengan budaya Jawa adalah pak Paringono. Nama ini di Jawa berarti Berilah. Semacam permintaan untuk dikasihani. Mungkin karena dia mengasihani aku untuk tidak merasa asing saat di pelayanan di Gunungkidul, jadi Pak Paring - demikian kami memanggilnya- selalu memutar wayang dari radio kesayangannya GCD FM setiap malam jumat. Kesenangannya akan wayang ini juga yang akhirnya membuat aku, teman sekamarnya dulu di Asrama Simson di dukuh Juwangen lama-lama suka dengan wayang. Paling tidak sebagai pengantar tidur. Karena bahasanya sangat membingungkan. Segmen yang paling kugemari adalah goro-goro.

Selama berada di Jawa, aku juga sering terlibat dalam kebiasaan masyarakat desa. Aku bahkan pernah diundang datang ke Kenduren yang hampir semua yang hadir adalah Muslim. Aku malah dipercaya duduk di sebelah pembaca do'anya (pak Mudin). Selain itu menonton wayang di balai desa semalam suntuk (di desa Terbah), menonton campursari dan ikut gotong-royong serta rapat dukuh pernah aku ikuti. Syukur sekali lagi, semua itu menolong aku bertumbuh dalam budaya dan bahasa. Walaupun bahasa Jawaku sampai sekarang masih belum sempurna tapi paling tidak aku dapat menjawab orang yang berbicara denganku dalam bahasa Jawa.

Semua ini kuceritakan karena sejak dua tahun terakhir ini, radio Suara Kupang, tempatku mengabdi meminta aku untuk mengasuh program lagu dan informasi tentang Jawa bagi komunitas Jawa di Kupang. Nama programnya "Mozaik Nusantara," dengan lagu-lagu Jawa. Sampai sekarang program ini masih terus berjalan. Aku masih mengasuhnya dan aku berterimakasih, karena pengalamanku tinggal di desa di Jawa menolong sekali untuk karierku.

Jika tidak berlebihan, satu hal yang ingin aku ambil hikmahnya, hal-hal kecil di dalam hidup yang kita belum lihat manfaatnya sekarang, jika ditekuni, suatu saat nanti akan bermanfaat. Hikmat akan mengenakan karangan bunga yang indah di kepalamu, dan mahkota yang indah akan dikaruniakan kepadamu... Bila engkau berjalan, langkahmu tidak akan terhambat, bila engkau berlari engkau tidak akan tersandung. (Amsal 4:9,12). [MT]

Jumat, 03 Oktober 2008

Namaku Medison - Nama Pemberian Orangtuaku


Medison. Itu Namaku. Aku tidak pernah menanyakan arti namaku itu sebelum menyelesaikan S1-ku di STII Yogyakarta. Saat aku kembali ke kampung halaman di desa Ajaobaki, aku bertanya kepada ayahku, kenapa nama itu diberikan kepadaku? Tanpa menjawab pertanyaanku, ayah balik bertanya: "Apakah nama itu jelek?" Aku tidak mau mengatakan kepadanya apa yang aku pikirkan, karena aku tidak ingin beliau tersinggung. Sebenarnya apa yang mendorong aku untuk bertanya tentang arti namaku kepada Papa?

Awalnya waktu aku SD. Saat mengikuti lomba bidang studi SD tingkat kecamatan Mollo Utara, teman-teman dari SD lain bertanya, "Namamu siapa?" Aku menjawab dengan PeDe, "Medison." Mereka menertawakan aku dengan nama itu. Apa salahku, pikirku. Tapi aku tidak pernah memikirkan itu lagi. Saat aku duduk di SMA 1 SoE, aku baru tahu kalau arti nama itu adalah merek sepatu. Dan saat studi di STII Jogjakarta juga aku semakin kaget karena Medison adalah obat penumbuh Rambut Botak. Astagaaaaaaaa....Sedemikian terpurukkah aku?

Kontras dari itu semua saat aku nonton tinju. Katanya acara itu disiarkan dari stadion Madison. Itukah sebenarnya namaku? Seorang teman kemudian memberitahu aku bahwa nama itu adalah nama salah seorang mantan Presiden Amrika serikat. Aku sudah bangga dengan namaku. Bukan karena itu sebenarnya dasar kebanggaanku. Apapun namaku, nama itu sudah aku pikul selama 28 Tahun sampai 2008 ini. Aku bangga dengan namaku. Salah satu kebangganku karena namaku unik. Selama SD-Kuliah, tidak ada satu orangpun yang bernama sama dengan aku. Apapun namaku, yang aku tahu, papaku yang "wong ndeso" ternyata bisa memberi nama "Wong Londo" itu kepadaku.

Hari ini aku bangga memperkenalkan namaku. Medison Tanesib. Nama belakangku itu adalah karena aku lahir dari sebuah keluarga Timor. Aku bangga dengan namaku. Dan bangga menjadi orang Timor. Tidak selamanya orang Timor "ndablek." Paling tidak karena Papaku memberi nama itu.

Karena itu sobat, kenalkan... Namaku Medison